32. H-1

3.8K 229 23
                                        

Ailen membuka matanya perlahan-lahan. Hanya ada satu hari lagi. Dan ini hari terakhir bagi Ailen. Ia harus bisa menyelesaikan semuanya. Wanita itu mendapati dirinya yang tergeletak lemah di gedung tua. Gedung yang sudah hampir keropos. Gedung yang memiliki lima lantai.

Ailen mencengkeram erat rambutnya, kepalanya terasa sangat sakit. Ia menggigit bibir bawahnya, hingga terluka, menahan rasa sakit yang ada. Ia merasakan perutnya begitu nyeri, seperti ditusuk-tusuk. Matanya mendelik saat melihat darah segar bercucuran di perutnya, hingga mengotori dress berwarna putih yang ia kenakan.

Ailen menyeka darah segar di perutnya dengan tangan. Wajahnya semakin pucat. Ia tidak tau apa yang terjadi padanya dan siapa yang telah melukai perutnya. Yang ia tahu, ia membunuh seseorang, yaitu Gisella. Gadis yang ia temui di kamar mandi apartemennya.

Ailen mencoba bangkit, kakinya bergetar, hingga membuatnya terjatuh kembali. Ia mengerang kesakitan. Ruangan tua itu tidak begitu terang, hanya diterangi oleh lampu remang-remang.

Ailen mendongak saat mendapati seseorang muncul begitu saja di hadapannya. Ia menatap malaikat maut yang ada di hadapannya.

"Kamu telah melukai dirimu sendiri," ucap Liam. "Kenapa?"

"A-aku ga tau," lirih Ailen bergetar. "Tiba-tiba saja perutku perih."

Liam menghela nafas kasar. "Waktumu hanya tinggal hitungan jam."

"T-tapi, gimana dengan Eric?"

"Dia sedang mencarimu. Dia khawatir padamu," jawab Liam.

"Aku ga bisa pergi tanpanya."

"Itu bakalan terjadi."

____Batas Hidup____

Liana dan Argas bergegas mengemasi barang-barangnya yang ada di rumah kediaman  Dion. Mereka berdua terlihat ketakutan, ia mengambil seluruh harta warisan milik Dion. Argas membantu Liana membawa koper ke ruang tengah.

"Semuanya jadi milik kita, Ma," ujar Argas.

Liana tersenyum puas. "Hahaha, si tua bangka itu akhirnya mati juga. Mama ga perlu susah-susah buat dapatin hartanya."

"Anaknya juga udah mati, haha," balas Argas puas. "Buruan Ma, pesawat kita berangkat dua jam lagi. Sebelum kita ketahuan."

"Tunggu!" ujar Liana. Ia mencoba menghubungi seseorang.

"Apalagi ma?" tanya Argas heran.

"Mama mau nelpon seseorang," jawab Liana lalu berbicara dengan telepon seberang, tanpa memperdulikan Argas.

"Gimana? Semuanya aman? Tidak ada polisikan?" tanya Liana.

"...."

"Kenzo?! Jawab?!" bentak Liana pada telepon seberang karena ucapannya tidak ada jawaban.

"Itu Ayah, Ma?" tanya Argas membuat Liana terdiam. "Mama masih berhubungan dengan pria bodoh itu?"

"B-bukan begitu," balas Liana.

"Jelas-jelas Mama nelpon tu orang. Mama tau seberapa besar luka yang ia berikan pada kita? Dia ga pantas jadi ayah!"

"Argas! Dia itu ayah kamu! Jaga bicara kamu! Kalau bukan karena dia, kita ga bakalan bisa ambil semua harta si tua bangka itu!" balas Liana dengan nada tinggi.

Liana mematikan teleponnya sepihak. Ia memegang tangan Argas lalu melangkah keluar. Raut wajah Argas terlihat malas sambil menyeret koper warna hitam yang ia bawa.

Saat Liana membuka pintu depan. Ia terkejut saat mendapati Eric tengah memegang telepon yang didekatkannya ke telinga. Liana melihat jelas kalau itu milik Kenzo.

"Hai?" sapa Eric. "Lama ga ketemu. Sekalinya ketemu langsung tahu siapa kalian."

"Dari dulu gue udah curiga. Kalian berdua cuman ada maunya. Pantasan kalian berusaha buat ngusir gue dari rumah. Haha," tawa Eric, ngeri.

"K-kenapa kamu-" ucap Liana terpotong.

"Apa?" sanggah Eric. "Kalian pikir gue mati, haha. Shit!"

"Ga! Lo ga boleh hidup!" ujar Argas. "Gue ga mau lihat Lo bahagia!"

"Pikiran Lo masih kek bocah!" sambar Eric. "Jelas-jelas Lo udah ambil semuanya dari gue! Sekarang Lo bakalan busuk di penjara!"

"Jangan bergerak!" seru seorang polisi yang tiba-tiba saja datang.

Mata Liana dan Argas membulat saat mendapati beberapa polisi tiba-tiba saja datang sambil menodongkan pistol ke arah mereka berdua. Di sana terlihat Kenzo yang diborgol sambil tertunduk. Ia mendongak, menatap Argas sendu. Argas hanya membalas tatapan pria tua itu malas.

"Ini semua gara-gara Lo!" tuduh Argas pada Kenzo.

"Argas!" Sanggah Liana. "Dia itu ayah kamu!"

"Argas ga punya ayah pembunuh-!"

"Kamu juga seorang pembunuh!" sambar Liana.

Dua orang polisi menghampiri Liana dan Argas lalu menyeret mereka ke mobil. Tapi, Argas seperti mengambil sesuatu dari saku celananya. Ternyata sebuah pisau, ia menatap benci ke arah Eric. Laki-laki yang tersenyum puas ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, Argas berlari menghampiri Eric lalu menusuk perut laki-laki itu dengan pisau yang ada di tangannya.

"Mati Lo! Gue ga bakal biarin Lo bahagia!" tekan Argas.

____Batas Hidup____

Bentar lagi end kok.

Udah satu tahun lebih nih cerita ga siap-siap haha.

Vote dan komen ya.

Spam next!!

See you next part!

Rabu, 6 April 2022



My Sweet PsikopatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang