Rena oh Renata

1.5K 128 4
                                    

Renata masih belum memasuki kamar dan duduk saja di balkon, udara sangat dingin dan dia hanya menggunakan batu kaus murahan bergambar wajah Scooby Doo besar di depannya. Aku jadi kawatir dan membawakan selimut, tanpa memberitahunya, aku menyelimuti dia. dia sedikit terkejut,  tapi tidak melakukan penolakan. Aku mengambil tempat di sisinya.

“Kenapa sih, Na? Tampang kok gitu banget?” aku melingkarkan tangan ke bahunya, saat ini aku ingin sekali memeluknya.

“Jo, lihat deh bintang di atas di sana!” tunjuknya ke arah langit, aneh malam ini langit benar-benar bersih. Aku menebak jalan pikirannya, dia pasti sedang memikirkan Reno lagi.

“Reno ....”

Dugaanku benar, Reno lagi yang mengambil alih pikirannya.

“Dia pasti salah satu yang bersinar paling terang di atas sana.”

Aku tidak ingin menanggapi ucapannya, biarkan saja dia berlabuh dengan pikirannya sendiri.

“Jo, kamu belum ngantuk?”

“Aku nungguin istri aku dong.”

“Tapi, kita tidurnya pisah kan?”

Aku menarik napas hingga dua bahuku menanjak naik, terkadang dia sangat menyebalkan. “Nggak mungkin pisah dong, emang kamu pengen aku tidur di lantai? Kalau beda kamarkan Mama sama Papah bisa curiga.”

“Curiga, curiga! Emang mereka tahu kita nikah atas kehendak kepala kamu itu.” jari Renata menunjuk kepalaku. “It’s ok! Kita udah nikah, nggak apa-apa satu ranjang asalkan, jangan macam-macam!” ancamnya.

“Nah, gitu kan aku makin sayang!”

Kami beranjak masuk ke dalam kamar. Renata lebih dahulu menaiki ranjang, aku menyusul dan membukankan selimut.

“Jo,” panggilnya lembut, aku tidak sadar bantal kami berdempetan dan dia makin dekat, tidak menyia-nyiakan kesempatan aku memindahkan kepala dari bantal ke bantalnya.

“Apaan sih, sanah!”

“Nggak mau! Aku pengen peluk kamu malam ini.”
“Jo, Matiin AC-nya, dong! Dingin!”

“Udah sini peluk papah Jo, aja!” kataku tersenyum usil, menatap wajahnya.

Sontak dia menarik selimut, semuanya menggulung tubuhnya tanpa memedulikanku lagi, untung saja aku menyimpan selimut cadangan di lemari.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

Aku menemani Ayah di kantor hari ini, memang sudah diwariskan padaku, hanya saja aku masih ingin lebih lama menghabiskan waktu bersama Renata, jadi aku meminta waktu selama tiga bulan saja pada Ayah untuk memenangkan hati istriku, Ayah mengerti dan memberikannya tanpa banyak kata.

“Bu Renata apa kabarnya, Pak Jonatan?” Ina tersenyum lebar padaku saat aku turun ke lobi, aku tahu dia teman dekat istriku dulu.

“Keadaannya baik. Pada mau makan siang di luar?”

“Iya, Pak. Kita mau makan di restoran seafood langganan, dulu biasa ke sana bareng Bu Rena.”

Aku tersenyum mendengar panggilan Ibu itu, aku mencoba membayangkan sendiri bagaimana rupa Renata dipanggil Ibu oleh temannya sendiri. Aku akan singgah di sana dan membelikan makanan olahan udang untuknya.

Aku mendekat ke arah pintu, bibirku mendadak tersenyum mengingatnya saat dia terpeleset di depan pintu. Jantungku nyaris berhenti berdetak melihatnya kesakitan, seharian kepalaku tidak tenang dibuatnya, sampai-sampai Damar harus menderita karena harus naik turun untuk menanyakan kabar Renata.

“Jonatan!” panggilan dari suara familier namun yang sudah lama sekali tidak aku dengarkan, aku berbalik dan menerka.

“Hey, Adam!” Benar sekali, teman kuliahku dulu.

“Bro, apa kabar?” tanyanya riang, dia masih gemuk dan berambut hitam model mangkok.

“Kabar baik.”

“Wih ada yang nikah nggak ngundang-ngundang,” omelnya.

“Siapa yang nggak ngundang, orang katanya kamu lagi sibuk sama cewe Rusia.”

“Ya, untungnya jadi sampai ke pelaminan, nah undangan pernikahan aku.”

“Aku mengamati udangan yang dia berikan dan melihat lokasinya. “Seriusan di pantai?”

“Iya, dong, Bro. Cewe aku eksotis. Jangan lupa ajak istri.”

“Pasti!”  Janjiku, aku harap dia tidak keberatan.
****____****

Reaksi Renata di luar dugaanku, dia bahkan melompat melihat undangan itu.

“Uuuh, pantai! Aku udah lama banget nggak ngeliat air laut.”

“Tapi, kayanya kita nggak bakalan hadir deh, soalnya aku sibuk ....” aku mengerlingkan mata, melihat perubahan raut wajahnya begitu cepat, jadi lusuh.

“Ya, udah. Jangan ditunjukin dong kalau nggak pergi! Nyebelin!” Renata melemparkan undangan padaku.

“Tunggu!” Aku dengan segera menyelipkan tangan ke pinganya, erat. “Kalau kita pergi, kamu harus janji satu hal sama aku.”

“Apa?”

“Janji dulu!”

“Mana bisa kaya gitu, nggak adil!”

“Ya udah, nggak usah. Aku bisa ngajak Sam, Jasmin, Dika atau Kak Sela ke pantai.”

“Nggak bakalan aku kasih izin, kamu keluar dari lingkungan rumah ini semuanya atas izin aku.”

“Jo, plase, jangan jadi suami possessiv! Dengarin aku, meski aku belum bisa mencintai  kamu seperti dulu, kita udah nikah, aku nggak bakalan menghianati janji yang udah aku ucapkan di depan Tuhan. I promise!”

“Nggak ada yang bisa ngubah aku!” Aku membalikkan tubuhnya, meraih dagunya, membuatnya terpaksa berjinjit.

“Ok! Terus kamu maunya apa?”

“Kita bulan madu.”

“Di mana. Ok aku mau tapi aku yang pilihin tempatnya, Bali.”

“Aku mau keluar negeri.”

“Kalau gitu New York!” Aku menatapnya serius.

“Nggak! Aku mau kita ke Swiss, negara yang selalu kamu omongin sewaktu kita pacaran, dan Reno nggak bakalan ngubah keputusan aku!”

Yuhuuu comenn 🤣

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang