Benar Itu Dia

2.6K 243 1
                                    

Hujan mengaduk bumi digandengkannya serta udara dingin menusuk tulang, apa lagi masih pagi. Renata menurunkan payungnya di depan kantor, ia tidak mau keduluan atau harus berpapasan lagi dengan Jonathan. Ia akan membersihkan ruangan sang Bos sepagi mungkin.

Payung biru di tangan Renata dia entakkan agar sisa air hujan tidak ikut dia bawa masuk hingga ke dapur. Dia juga melepaskan sepatu boat kuning di kakinya, mengatinya dengan sepatu kets. Setelah selesai memasukkan perkakasnya ke dalam tas, ia berbalik. Seretak rasa dingin merambah di bawah pinggang, cipratan air menghujaninya.

“Holly shit!” makinya kesal lalu berbalik. “In the name of  Peny wise ...."

“What?” Kepala Jonathan menempel di bahu Renata. Sontak ia memajukan diri, sayang ia malah tergelincir oleh tetesan air di atas lantai dari payungnya sendiri. Tubuh yang kehilangan kendali itu maju menghantam pintu, ia hanya bisa menyilangkan tangan di depan muka.

“Are you ok?” Mata Jonathan mengarah ke langit-langit, jelas sekali dia menggigit bibir menahan tawa.

“Good!” Renata  memegang pinganya, nyeri menjalar bak sengatan listrik di sana.

“Hei, aku serius,” kata Jonathan, dia mengulurkan tangan ke arah Renata.

“I’m not!” Renata buru-buru berdiri, mengambil payungnya masuk ke kantor. “Itu bukan Bos yang aku kenal! Niatnya pasti malu-maluin aku aja!”

Ia melangkah ke arah gudang mengambil peralatan pel, sebelumnya dia mengikat jaket ke pinggang menutupi pakaian basah yang terlalu kentara.

Jonathan tidak ada di ruangannya saat dia tiba guna bebersih. Ia mulai membuka tirai jendela, lalu melap meja kaca lalu memvakum lantai. Mulutnya sesekali bersenandung. Saat membungkuk, wajahnya menyerit, punggungnya sakit sekali. Langkah kaki Jonathan mendekat terdengar, ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya.

“Kamu serius nggak apa-apa? Kamu jatuh cukup keras loh,” kata Jonathan.

Renata menggelengkan kepala, ia lalu menduduk menarik vakum. “Ingat dia bilang apa sama kamu, Na. Aku nggak mau ngeliat dia selama aku kerja,” bisik suara di kepalanya.

Dia berpindah ke ruangan Ayu, ruangan tamu dan ruangan meeting.

Pekerjaan paginya selesai, dia juga sudah membuat minuman untuk Ayu.

Di dapur, dia menyalakan kompor, membalikkan badan, berharap celana jeans serta ujung bajunya kering dengan tangan melakukan pemijatan perlahan.

“Kamu nggak apa-apa, toh?” tanya Lisa dengan wajah gelisah.

“Loh, emang aku kenapa, Bu?” Renata pura-puar bodoh.

“Tadi, kata Gio, satpam depan kamu jatuh tergelincir di depan.”

Renata meringis. “Punggungku, Bu. Sakit!”

“Yowes, sinih! Aku pijitin.”

“Nggak apa-apa, bentaran lagi sembuh,” tolak Renata halus.

“Udah, kerjaan juga udah selesai. Wes, duduk! Tadi aku sudah minta Damar beliin minyak urut. Nah itu dia datang.”

Damar mengibas-ibas rambutnya saat ia meletakkan minyak di meja. “Nah, Bu. Kembaliannya bagaimana?”

“Yo, balikin!”

“Ok, ok. Aku tutup pintunya, sekalian jaga di luar biar nggak ada yang masuk dulu.”

Renata menatap nanar tidak bisa merangkai kata saking terharunya diperhatikan. Ia menerima pijatan lembut sang senior, rasanya jauh lebih baik.

Satu jam kemudian, mereka yang tengah duduk bergunjing ria dikejutkan oleh kemunculan Ayu.

“Oh My God!  Kamu baik –baik aja kan? Punggung kamu nggak patahkan? Gigi kamu nggak ada yang kabur kan?” serunya heboh.

“Tadinya nyaris ko it, Bu. Syukurnya ada Avatar bantu nyembuhin.”
Jemari Ayu mendorong kepala Renata cukup kuat, nyaris dia terjungkal.

“Bagus deh, kalau gitu kamu bisa nemanin aku belanja.”

“Lah, Bu!” Renata ingin mengajukan protes, tangan Ayu jauh lebih cepat menarik tangannya. Ini sudah biasa terjadi.

Akhirnya ia kalah. Mereka masuk ke dalam mobil menuju super market membeli bahan makanan. Mulai dari bumbu masakan, sayur juga daging.

“Mau ada acara di rumah?” tanya Renata, ia menyadari belanjaan menumpuk di tangan.

“Bukan di rumahku, tapi di rumah Herman. Jonah mau reunian sama teman-teman kuliahnya. Siti bakalan cape banget kalau harus belanja dan masak. Makanya tuh anak minta aku belanja.”

“Kok Ibu mau?”

“Sayang, dia itu Kakak buat Kenan, jadi ya seperti anakku sendiri.”

Obrolan berhenti di situ, mereka kembali ke mobil. Ayu sibuk meladeni telepon klien.

Setelah bekerja hampir lima tahun, pertama kalinya Renata menapaki kediaman sang majikan. Ia agak kesusahan berjalan dengan  barang belanjaan di tangan.

“Tungguin aku di lobi, mau ke toilet bentar,” pinta Ayu.

Renata meletakan barang belanjaan di meja dapur lalu berjalan perlahan ke depan sembari merenggangkan tangan.

Langkahnya terhenti, satu potret di dinding mengambil alih pikirannya.
“Jadi, itu benar dia!”




𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang