Mengapa

1.4K 144 1
                                    

Dia duduk di tepi ranjang. Tangannya menggenggam erat dengan pria di sebelahnya, perasaan tulus tertangkap di pupil mata yang menyala. Renata kembali mengelus tangan Reno, berharap saat ini pria itu bisa membuka matanya, bercanda gurau dan kembali berbicara, tertawa dan berbagi keluh kesah seperti biasanya. Berjam-jam lamanya dia menunggu, tak jua pria itu terjaga. Dia sudah memohon pada Dika memberitahukan padanya penyakit apa yang diderita Reno, ia mantap menutup mulut.

Renata menarik tangan Reno perlahan, lalu menempelkan pada pipinya. Kehangatan yang dirindukan, saat ini bukan sekedar raga yang dia inginkan, melainkan jiwa, sedekat ini namun dalam keadaan ini rasanya sangat jauh.

"Wake up please! Open your eyes, i need you! I wish you call my name. Sudah cukup lama, kau menyimpan semuanya sendiri. Aku hanya peduli pada kebahagiaanku sendiri, aku lupa bahwa duka bukan hanya bisa jatuh pada diriku, tetapi semua orang. Aku malu pada diriku sendiri menganggap jika aku adalah makhluk yang paling menderita di dunia, ternyata duka yang dipanggul bahumu jauh lebih berat. Aku berjanji tidak akan terlihat menderita lagi di depanmu, seburuk apa pun duka seberapa hancur rasa akan aku tutupi agar kita sama-sama bahagia,” isak Renata pilu.

Butiran bening luruh di pipi Renata, ia ingin matanya tetap terjaga, tidak ingin detik saja Reno hilang dari pandangannya. Namun, lelah membuat kedua matanya menjadi berat. Perlahan kantuk menjerat kepalanya, netranya terkatup perlahan hingga semua menjadi gelap.

Sentuhan lembut membelai  pipi Renata. Gadis di tepi ranjang itu mengerjakan mata, kilauan cahaya menyerobot matanya, dia sampai menekan kedua matanya dengan tangan agar merasa lebih baik. Pegal merambah tubuhnya, wajar dia tidur dengan posisi tidak nyaman semalaman. Meski kepalanya bersumpah ia akan terjaga lebih pagi namun kondisi tubuhnya tidak dapat dibohongi.

Pemandangan pertama yang ditangkap matanya begitu penglihatannya berangsur pulih adalah senyuman manis dari pria yang begitu dirindukan. Meski kepucatan belum mengangkat dirinya, ia tetap terlihat seperti sosok yang bersamanya selama ini.

Getaran bahagia menimbulkan genderang aneh. Kembali pecah tangisnya. Cukup lama, kesunyian menaungi mereka, Reno seakan membiarkan kekasihnya menumpahkan semua unek-uneknya.


"Stop crying, you look so ugly," kata Reno serak akhirnya.

Kata seakan punah dalam pikirannya, seutuhnya menguasai diri hanya gelombang rasa yang tak mampu dia pahami, menanjak hantam dinding hati. Senyuman itu berubah menjadi luka, entah sampai kapan menutupi rasa, bagaimana cara membuatnya bicara, membuatnya mengakui kenyataan tentang isi hatinya. Buat apa senyuman palsu terpanjang di wajahnya sedang hatinya terus menangis setiap waktu.

"Lebih baik tangisku tertangkap mata, bukan hatiku yang terus habis menjadi kepingan perca," lirih Renata.

"What happened to your  mine? You sounds like a girl I never met," balas Reno.

"Aku tidak termasuk ikut campur tentang masalahmu, tentang keluarga yang tidak ingin kau bicarakan, tetapi aku tidak mau melihatmu bahagia namun hatimu menanggung beban yang banyak sekali."


"What do you mean my princess? A I'm always happy when I stand by your side."

Renata menatap Reno tajam, masih dengan iringan air mata.

"Berhenti membohongi dirimu sendiri! Jika kau ingin aku bahagia, mungkin dulu senyumanmu bisa menipu, tap saat ini hatiku telah diracuni oleh kebenaran. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, aku hanya tidak ingin menunda terlalu lama. Ini tentang kita tentang kamu dan aku, bukan hanya senyuman tersendiri."

"I know what is exactly you mean. But, can we talk about that later, right now I just, want to see your face, my big miracle!"

"Promise?" Renata sangsi.

"Cross my heart!" janji Reno.


                 ****

Tanya masih menghunjam kepala, Reno belum juga mengatakan sebenarnya penyakit apa yang diderita. Setiap kali Renata mengarahkan pembicaraan mereka padahal itu, dia mengalihkan pembicaraan padahal lain. Renata tidak ingin dianggap sebagai penindas yang memaksakan semua kehendak di kepalanya menjadi nyata. Dia memutuskan menjauh sejenak, membasuh wajahnya dengan air dingin, menekan semua tanya di kepala, menciptakan suasana nyaman untuk mereka berdua.

Setelah merasa ia cukup tenang untuk kembali bicara, dia kembali ke tempat Reno.

"Aku takut kau malah membenciku ketika tahu bahwa sikapku jauh lebih buruk dari apa yang kau kenal."

"Am I look like a good person for you?" canda Renata.

"Pure! Innocent!”

"Liar!” ejek Renata kesal.

"Ok. I will telling you everything! Dua tahun yang lalu, orang yang benar-benar aku percaya ternyata sedang bersandiwara, jarak memisahkan kami meski di bersedih setia pada ibu pada kenyataannya dia memiliki kisah sendiri selama 5 tahun ini. Aku berduka cukup lama, tetapi kau tahu, aku belajar satu hal sama ini kebencian tidak menghasilkan apa-apa hanya rasa sakit yang mendalam aku membuat keputusan untuk melupakan dia dan menganggap pengkhianatan adalah kematian. Atau hal yang seharusnya dianggap tidak pernah ada."

"I swear, I never talk about him anymore," janji Renata melihat air muka Reno berubah kelam.

"It’s okay. Kau berhak untuk tahu bukan masalah untukku karena kaulah bagian dari hidupku kini."

"Lantas kenapa kamu velum katakan kepadaku penyakit apa yang kau derita?"  kejar Renata.

"Kecuali hal itu," ucap Reno mengalihkan tatapannya dari Renata.

"Baik, setidaknya kau tetap nyaman di sisiku aku tidak keberatan."

"Always!"

🍀🍀🍀


Renata menutup pintu kamar Reno perlahan, dia tidak mau keributan kecil yang dia ciptakan malah membangunkan Reno yang baru terlelap. Dokter Dika menyarankan agar kekasihnya lebih banyak beristirahat.

Tubuh Renata bergidik karena terkejut, seorang wanita bertubuh pendek dan berwajah sendu menghadang jalannya.

“Kamu Renata kan?” tanya tiba-tiba.

Renata menganggukkan kepala.

“Kita harus bicara!”


𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang