Rain

2.2K 235 4
                                    

“Ren, dipanggil Pak Jonatan ke ruangannya tuh,” kata Lisa.

Renata yang tengah menopang dagu terkejut dan sontak tangannya goyah hingga kepalanya membentur meja.

“Buat apa, Mbak?” tanyanya sembari mengusap jidat. Ia sudah membersihkan ruangan Jonathan tadi pagi, membuat minuman untuk Ayu juga.

“Nggak tahu,” Lisa mengangkat bahu. “Tapi buruan deh, jangan sampai kamu diomelin.”

Bahu Renata melemah, ia berjalan tertunduk ke arah Lift.

“Listriknya lagi bermasalah,” satpam mencegat Renata, “mau terkurung di dalam?”

Renata menepuk jidatnya lagi. “Kok aku sesial ini sih? Bener-benar dah tuh si Jonah! Kenapa Bu Ayu belum ngasih jawaban juga?” Di ujung tangga dia menarik napas mengambil ancang-ancang. Tangga menuju lantai dua tidak ada artinya, ke lantai tiga biasa saja, ke lantai empat lututnya mulai ngilu. Hingga sampai di lantai lima rasanya kedua sendi kakinya sudah terlepas. Maklum, baru kali ini setelah dua tahun lalu dia menggunakan tangga.

Di depan pintu ruangan Jonatan dia merapikan ujung rambut sekilas, lalu mengetuk pintu.

“Masuk!” perintah Jonatan.

Renata mendorong pintu perlahan, jantungnya dihantam guncangan seketika. Seorang wanita tengah duduk dengan manisnya di pangkuan Jonatan. Ia buru-buru menundukkan kepala saat mereka berdua berpaling ke arahnya.

“Cuman clening service, sayang!” kata wanita berbaju putih dan rok merah ketat memeluk tubuh. “Keluar sanah!”

Renata menatapnya sekilas. “Dia cantik banget, aku bisa apa?” bisik kepalanya, ia memutar kaki. “Shit! Mata aku kok menghangat begini!” Renata mengibas-ibas wajahnya.

“Aku yang manggil kamu ke sini!” ucap Jonathan, “tapi kok lelet kaya kodok pincang!”

“Maaf, Pak tadi ....”
“Tadi apa? Emang ada orang yang posisinya jauh lebih penting dari aku?”

Renata menggelengkan kepalanya.

“Kamu tuh kebiasaan sih! Aku ini bukan Ayah aku! udah berapa kali aku bilang sama kamu, hah?”

Renata menundukkan kepala. tangannya saling meremas. Kelap-kelip terbit di matanya.

“Jonatan, sayang. kamu manggil dia buat dimarahin doang? Pecat aja! Aku nggak mau kerutan muncul lebih awal di wajah tampan kamu.”

“Aku maunya gitu, tapi dia karyawan kesayangan Ayah.”

Bahu Renata terangkat mendengar pengakuan Jonatan barusan, bodohnya dia masih menyimpan kenangan masa lalu di kepala. Jonathan yang dulu seharusnya bisa dia lupakan. Renata berpaling, siap untuk keluar.

“Aku belum selesai ngomong main pergi aja! Budek apa gimana?” suara Jonathan meninggi.

Renata hanya bisa menahan napas, berharap tetes embun di pelupuk mata tidak tumpah. Kenapa dia tetap bilang, aku, aku, aku?

“Dalah, nggak jadi keluar sanah! Makin enek liat mukanya!”

Pipi Renata mengembung, jantungnya berdebar tidak menentu, ia tidak tahan lagi segera ia keluar menuju ruangan Ayu.

Ayu yang tengah menjambak rambut menatap layar laptop berbalik padanya.

“Loh, Nata de Coco, kamu kenapa?”

Renata meraih tangan Ayu, meremasnya erat. “Bu, saya mohon, gantiin posisi aku dengan karyawan lain!”

“Loh, kok tiba-tiba?”

“Pokoknya, aku nggak peduli kalau harus potong gaji asalkan saya nggak bekerja di lantai ini lagi. Aku ... aku nggak keberatan kalau harus ngebersihin toilet setiap hari.”

“Ren, kamu kenapa sih?”

“Bu, Pak Jonathan nggak suka kalau ngeliat aku, katanya dia muak! Dia benci!”

“Kok kaya jadi ADC dua sih!” komentar Ayu, dia menarik tangannya.  “Nggak bisa! Pokoknya, aku cuman mau kamu di ruangan aku.”

Renata menatap penuh permohonan pada Ayu.

“Enggak!” ucap Ayu tegas.

“Bu, aku mohon! Aku janji tetap buatin minum dan dengarin curhatan Ibu lewat telepon, please!”

Ayu menyilangkan lengan di dada, wajahnya menimbang.

Pintu ruangannya berderit, Jonathan masuk.

“Aku permisi!” Renata tidak ingin lagi melihat wajahnya hari ini, ia menundukkan kepala hingga lehernya tidak terlihat.  Cepat sekali dia berjalan keluar.

“Why you so, so , so stupid Renata!” makinya. Ia nyaris menyentuh tombol lift. “Bloody chiken!” ia mengubah arah menuju tangga.

Tiba di lantai satu, dia langsung menuju  ruangan personalia, meminta izin pulang.

Di depan kantor, ia menyalakan ponsel mencari nama Sam di daftar kontak.

“Sam, please! I need you!” ucapnya setengah terisak begitu panggilan terhubung.

“Kamu di mana?” tanya Sam tenang, namun terdengar bunyi benda-benda jatuh berhamburan.

“Di depan kantor.”

“Tungguin aku di situ, pokoknya jangan ke mana-mana!”

Renata mematikan ponsel lalu memasukkannya ke dalam tas. Ia mengusap bahu, jaketnya ketinggalan di dalam tapi dia terlalu malas untuk memutar tubuh kembali.
Sam tiba lima menit kemudian. Ia turun dari vespa buntutnya sembari melebarkan tangan.

“What’s going on?” tanya Sam pelan.

“Kamu benar! Kamu benar!” Renata menyeka air mata yang kembali lengser. “Kamu benar, harusnya aku lupain dia dari duluuuuuu banget! Aku ... aku bodoh percaya sama cinta. Cinta itu nggak ada Sam! Nggak ada!”

Sam menepuk-nepuk punggung sahabatnya pelan. “Aku anterin kamu pulang yah, soalnya aku harus balik ke rumah sakit.”

“Nggak apa-apa, aku bisa balik sendiri. maaf yah udah ngerepotin!”

“Everything for my mate.” Sam memeluk sahabatnya lagi. “Are sure, you will be ok?”

“In the name of the Morrons,” jawab Renata, ia menarik sudut bibirnya.

Sam segan untuk meninggalkannya, tapi ia tahu Renata bisa memegang kata-katanya.
Renata melambaikan tangan ke arah Sam, melepasnya pergi.

“Renata!” suara Jonthan kembali membuatnya bergidik. Perlahan ia menoleh. Pria jangkung itu berada di balik punggungnya.

“Kenapa kamu di sini?  Belum waktunya pulangkan?”

“Ojek!” Renata menahan motor yang lewat di depannya. Sudah lah, bodoh amet kalau pekerjaannya berakhir hari ini di sini.






𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang