Terisak di sudut balkon rumah di tepi danau, Renata tertekan setelah kepergian Reno. Dia membuat janji dalam diri sendiri, dia akan bahagia layaknya pesan sang kekasih, tetapi mungkin belum waktunya dia masih terkekang duka mendalam.
Ibu Reno memberikannya kunci rumah itu, menurut pesan terakhir anaknya dia ingin Renata menjadikan tempat itu sebagai miliknya. Kesedihan membuat Renata tidak kuasa untuk masuk ke dalam sana, dari kemarin sore dia duduk terpekur di teras. Saat dia tersadar kemarin, dia ada di rumah, bersama keluarganya juga Ibu Reno, selain memberikannya kunci wanita itu memberikan peneguhan untuk Renata, mereka berdua sama-sama kehilangan.
Reno menjadi sosok malaikat dalam kehidupan Renata dan tempat setiap malaikat adalah surga.
“Renata!” panggilan kenang membuat Renata bergidik. Langkah kaki panjang terdengar sebelum sosok jangkung Jonatan muncul bersama Sam.
Renata menatap mereka berdua bergantian. “I’m ok! Kenapa kalian ke sini?”
“Ok?” teriak Jonatan, “wajah kamu pucat begitu!”
“Ayo pulang!” Sam menarik tangan Renata kasar. “Kamu nggak bisa terus-menerus duduk di sini, tubuh kamu panas begini!”
Renata tidak kuasa berkata-kata, kemarahan terpajang di wajah Sam dan Jonatan.
“Ayo Na, pulang!” Sam menarik tangan Renata lebih kuat.
“Aku mau di sini!” jerit Renata, suaranya sampai membuat burung-burung di danau terbang menjauh bersamaan. “Biarin aku di sini!”
“Na....”
“Tolong! Aku janji bakalan pulang, tapi sekarang aku pengen ada di sini! Kalian boleh pulang.”
“Kita jauh-jauh ke sini dan kamu ngusir kita?” protes Jonatan.
“Kamu berstatus sebagai suami orang, sebelum kamu menikah aku udah dicerca habis-habisan sama istri kamu, dan sekarang kamu ke sini buat apa? Pulang!” Tangan Renata terangkat menunjuk tangga.
“Enggak!”
“Sam bawa dia pergi!”
“Aku nggak mau! Kamu harus ikut kita pulang, Reno nggak bakalan suka ngeliat kamu kaya gini!”
“Kalian semua tahu kan apa yang menimpa Reno!” serang Renata, mendadak saja jantungnya berdebar kencang, dan darahnya berdesir kencang. “Kenapa kalian nggak ada satu pun yang ngabarin aku, kenapa nggak ada yang mau ngasih tahu aku kapan Reno pergi selamanya, kenapa Sam? Kenapa?”
“Karena Reno ....”
“Karena Reno nggak mau aku tahu? Dari awal semua disembunyiin dari aku, udah cukup kesabaran aku tanam, sekarang aku kaya gini, biarin aja!”
Sam menepuk bahu Renata pelan. “Sory, Na. Kita cuman ngikutin apa yang Reno bilang, dia sadar kalau akhirnya ketika kamu tahu, kamu bakalan sedih banget, dia minta sama kita aku, Jonatan, Dika, Jasmin buat jagain kamu, mastiin kamu bahagia setiap saat. Sekarang tolong kamu ngerti dong!”
“Kalian udah berusaha, sekarang serahin semua ke tangan aku sendiri!” Renata menatap Sam. “Leave me! Kalian udah punya keluarga yang harus kalian urus, jangan peduliin aku, aku tahu sikap aku kaya gini kalian nggak suka, kalian cape ngadepin aku dan selama ini aku udah nyita waktu kalian. Jonatan, sekarang kamu bebas, kalau kamu kedekatan kita selama ini atas permintaan Reno, makasih!” Renata menapa Jonatan.
“Kita nggak kaya gitu,” bantah Sam.
“Tapi kalian marah!” kata Renata kembali terisak. “Kamu nggak pernah bicara dengan nada setinggi itu, Sam. Aku mohon tinggalin aku ....” Renata tidak bisa menyelesaikan kata-katanya, kepalanya kembali berkunang-kunang. Dan pandangan kabur. Renata meraba-raba lantai, mencari kunci guna masuk ke dalam. Saat benda itu berada di tangannya, semua berubah gelap.
***“Na, jangan kemana-mana lagi!” Reno, Kakak Renata mencengkeram erat tangan adiknya di dalam kamar inap rumah sakit, tekanan darahnya sangat rendah. “Kamu udah bikin panik kemarin, udah pingsan main kabur aja. Ibu dan Ayah jadi panik banget.”
Renata membetulkan posisi bantal di belakang punggungnya, dia tahu salah menghilang begitu saja dari rumah kemarin. “Iya, aku salah! Kata dokter kapan aku bisa keluar?”
“Kamu dirawat sebulan, full!”
“Kok?” Renata tidak percaya, jelas sebulan bukan waktu yang masuk akal untuk sakit yang dia alami.
“Udah diam aja, dari pada dirawat di rumah sakit jiwa!”
Renata membuka mulut dengan gigi saling beradu. “Pulang sana, Farlan pasti kangen sama, Ayahnya.”
“Aku baru dari pagi kok.”
“Loh, terus yang semalam jagain aku duduk di situ siapa?”
“Jonatan.”
“What the? Dia gila apa gimana? Udah punya istri juga.”
“Bilang makasih, bukanya diomelin. Untung aja kemarin mereka nyusulin kamu, kalau kamu pingsan di sana nggak ada yang perhatiin? Atau, Na please, kamu nggak niat buat nyusul ....” Reno tidak jadi melanjutkan ucapannya.
“I’m fine!” Pelotot Renata kepada sang Kakak. “He want me to be happy. And i will do that, nanti.”
“Iya, iya. Asal jangan bikin masa lah di rumah, anak sama istri aku jadi korbannya malah!”
“Kapan aku libatin orang lain dalam masalah aku?”
“Kamu memang nggak sadar, tetapi yang peduli banyak, cuman kadang kamu bawaanya begitu.”
“Udah deh, Kak Reno. Urus aja kepulangan aku secepatnya.”
“Ogah!” Telpon Reno berdering, dia menunjukkan layar ponselnya bosnya memanggil.
“Jadi gimana, siapa yang mau nemanin kamu di sini, Sela harus jagain Farlan, Ayah dan Ibu lagi pergi ke nikahan saudara, dan sekarang cuti aku dibatalin, bos minta aku masuk.”
“Aku nggak apa-apa sendiri, bukan anak kecil kok!”
“Na, ini bukan fisik kamu yang kita kawatirin, tapi jiwa kamu. kamu memang kelihatan baik di depan aku sekarang, tapi aku tahu, di dalam sana ada yang kesepian, penuh kesedihan, kamu adik aku, aku tahu itu.”
“Masa Farlan lebih penting adik yang jadi gila,” kata Renata sembari tersenyum. “Udah sana! kalau enggak aku hubungin Kak Sela bilang Ayha Farlan selingkuh.”
Reno berdecak kesal lalu keluar dari rungan terburu-buru.
Renata mengarahkan pandangannya ke luar jendela. “Harusnya aku nggak di sini!” desahnya. Untung saja ruangan tempatnya dirawat sekarang berbeda dari ruangan yang dia gunakan terlebih dahulu. Dia menarik napas sesak di dada merambah saat kenangan digayung ingatan. Renata menoleh ke atas nakas di sisi lain, meraih ponselnya lalu mengetik permintaan maaf pada Sam sekaligus ucapan terima kasih tidak terhingga atas bantuannya kemarin.
“Kok jadi lapar.” Renata menepuk perutnya, tadi dia menghabiskan semangkuk bubur bayam buatan Sela, belum sampai sejam juga.
“Order aja.” Renata mengingat tampang Reno saat mengucapkan kalimat itu, manis sekali. Dia menarik kerah baju pasiennya, meremasnya.
“Udah merasa baikan?” Jonatan kembali menghampirinya.
“Terima kasih atas bantuannya kemarin.” Renata mengabaikan pertanyaan Jonatan.
Jonatan menarik kursi di dinding, dia duduk dekat sekali dengan Renata, dia mengulurkan tangan, entah untuk apa, tetapi Renata dengan cepat menepisnya.
“Kamu udah menikah! Ngapain lagi? Jadiin aku boneka biar Febi cemburu lagi?” Mata Renata memanas, belum cukupkah Jonatan mempermainkan perasaannya.
Jonatan malah menopang dagu, dan memajukan bibirnya, memancing emosi Renata.
“Kamu udah nikah kan? Udah nikah?”
“Sebenarnya,” jawab Jonatan, “tapi kamu udah batalin itu.”“Hah?” Renata melogo, dia membatalkannya bagaimana bisa?

KAMU SEDANG MEMBACA
𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)
Storie d'amore⚠️ Low conflict Sinetron able. Not relate to anyone life. Si kolektor bedak bayi diajak jadi selingkuhan sama MANTAN kesayangan! Oh No! Terima? No Way! Dia udah jadi atasan. Tolak? Aaaa kan masih sayang😭 Iii makin hari kok makin dekat .... Stop! S...