Hell

1.5K 129 0
                                    

Peluh menganak di pelipis Renata, napasnya tersengal, meski begitu sesak ia tetap memacu langkah kakinya, berlari. Pukul tiga dini hari, dia meninggalkan Jonatan, pulang ke rumah. Pukul enam pagi, dia terjaga dan memutuskan olahraga, sekaligus melepas kepeningan di kepala. Dia sudah mengirimkan puluhan pesan guna menanyakan keadaan Reno dan memastikan jika dia benar-benar berada dalam keadaan baik di apartemennya, sapai saat ini dia belum mendapatkan balasan.

Renata berhenti, dia menunduk, kedua tangan bertengger di lutut selama semenit, lalu dia menegakkan tubuh meraup udara pagi yang sejuk sebanyak-banyaknya. Pernyataan Jonatan semalam membuatnya bingung, sebenarnya apa yang ada dalam kepala pria itu? Memang dia sudah menarik kesimpulan, dia hanya mainan bagi Jonah, diambil ketika butuh dicampakkan ketika tidak diperlukan. Hubungan mereka sudah berakhir, benar-benar kelar.

Renata memutar tubuhnya kembali ke rumah, Sela, Farlan, dan Ibunya tengah menikmati sinar mata hari pagi di beranda depan, sedangkan Reno, Kakaknya menjemur pakaian. Pasutri muda itu biasanya membagi tugas, Senin sampai Sabtu, Reno bekerja di luar rumah sedangkan hari minggu dia akan menggantikan Sela mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, yang bukan tugas Renata, seperti mencuci pakaian Farlan, menjemur kasur, kadang dia juga membantu sang Ibu Memasak sedangkan Sela duduk manis menemani Farlan, begitu semua pekerjaan selesai, Reno bermain dengan Farlan sampai malam.

Renata menghempaskan diri di teras, Farlan menghampirinya memeluknya erat, maklum sudah beberapa hari tidak bersua dan tidak dibawakan jajan.

“Kelayapan aja terus kaya hantu gentayangan nyari pembunuhnya,” ejek Reno.

“Reno, adik kamu udah dewasa, terserah dia mau kaya gimana,” bela Ayah Renata, dia baru muncul dari dalam rumah dengan gelas kopi besar di tagan, “kita percaya dia bisa jaga diri, lagi pula model gadis seperti adikmu ini, mana ada pria yang mau.”

Renata mendengus, lalu membaringkan dirinya di lantai keramik putih, aroma wangi mawar dari pembersih lantai terhirup, lantai sudah dipel pada hal itu tugasnya.

“Benar-benar,” ledek Reno.

Sela cekikikan sedangkan Ibunya hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Jadi kapan kamu nyari kerja lagi?” tanya Nera, Ibu Renata.

“Ren, toko bunga tempat aku kerja dulu lagi nyari pegawai baru, soalnya, Vivian teman lama aku itu bakalan menikah.”

“Sebulan ini aku pengen santai dulu,” balas Renata, dia melipat tanganya di belakang kepala. Kepalanya cukup pening memikirkan situasinya sekarang, memulai pekerjaan baru di saat seperti ini sama saja menambah masalah, minggu pertama kerja selalu saja tidak menyenangkan, masa dimanah harus fokus mengenal situasi, memahami karakteristik orang-orang baru, memahami suasana dan bagaimana membawa diri agar bisa membaur tanpa dicurigai macam-macam juga bagaimana menguatkan diri mengatasi intimidasi senior yang kadang kelewatan(Pengalaman pribadi aku hahahaha)

“Ya, sudah,” ucap Nera lagi, “nikmati dulu waktumu, toh semua untuk diri kamu sendiri, cuman ingat, listrik sama air tetap tanggungan kamu loh.”

“Iya, iya!” dumel Renata.

“Mandi sana, bau!” usir Reno.

“Ini juga mau mandi kembang!” Renta bangkit bergegas ke kamar mandi, dia mengecek ponselnya sekilas,  belum ada balasan dari Reno. Dia menelepon tetapi tidak diangkat, gelisah membakar jiwa.

“Calm down! Ponselnya lagi dicas barang kali.” Renata mendengingkan tubuh serta pikirannya dengan menyalakan lagu-lagu jazz. Baru setelah tubuhnya kembali dalam keadaan normal, ia membersihkan diri.

Jonatan akan melakukan rawat jalan mulai hari ini, semalam dia juga mengatakan Febi akan menjemputnya, dia juga menitipkan pesan sebaiknya mereka tidak bertemu, tunangannya sedang dalam kondisi labil, dia bisa menyerang Renata melihat goresan di wajahnya. Memang sebaiknya mereka tidak bertemu.

Kekawatiran Renata akhirnya terjawab, ponselnya berdering nyaring begitu dia selesai mandi.

“Ke mana aja, pesan aku kenapa nggak dibalas, aku kawatir, rasanya kaya digantung di ujung gunung api yang di bawahnya ada lahar mendidih dan Siren menari!” cerocos Renata garang.

Reno tidak menjawab.

“Renoooooo!” teriak Renata kesal.

Masih tidak jawaban.

“Sayaaaaang,” suara Renata melembut.

Reno tertawa di seberang sana. “Hay, Sayaaang.”

“Kamu tuh ... ngeselin!” Tangan Renata terkepal menghantam kasur.

“Katanya bosan ketemuan terus, giliran nggak dikasih kabar berapa jam aja marah-marah.”

“Kamu sih, semua pesan aku dikacangin, sakit hati aku, No! Sakit!”

“Kamu pikir aku nggak sakit semalaman kamu satu ruangan sama Jo....”

“Stop!” potong Renata cepat, “kan kamu udah ngizinin, aaaaaaa gimana sih!” mata Renata memanas. Reno marah dan mengabaikannya begini. “Renoooo, kamu marah, aku harus ngapain?” dia mendadak terisak.

“Becandaaaaaa! Vidio call deh, penasaran diat tampang kelinci kesal kayak gimana?”

“Nggak mau, aku ... aku ... ngerasa bersalah, jadinya aku ....” air mata lengser di pipi Renata, tenggorokannya panas serta hati ibaratkan ditikam ratusan anak panah berapi.

“Kamu nangis?”

Renata tidak menjawab, dia duduk di tepi ranjang, mengusap air matanya. Kali pertama air matanya jatuh karena digoda kekasihnya.

“Kelinci? Sayang?”

Renata masih tidak ingin membuka suara, saat ini dia benar-benar ingin memeluk Reno.

“Kuyaaanggg!” kepala Sam menyembul di pintu kamar, wajahnya cerah-ceria bak mentari pagi. Sam menggunakan baju rumahan kesayangannya kaos hijau kusam. “What the ....” secepat kilat, dia berlari berlutut di depan Renata, meraih kedua tanganya menatap wajah sahabatnya dalam-dalam. “Si bambu kuning itu bikin masalah lagi?”

Renata menggeleng. Lalu menggumam nama Reno.

“Dia selingkuhin kamu? Nyakitin kamu?”

Lagi-lagi galengan kepala diberikan sebagai tanggapan.

“Terus?”

“Dia cemburu terus ngambek.”

“Dan kamu nangis?” Mata Sam terbelalak, gengamannya makin erat. “Oh My God, ini pertama kalinya. Fix, fix, kalian harus segera nikah.”

“Temanin aku beli cincin kalau gitu,” balas Renata sebal.

“Aku juga pengen beli cincin sih.”

“Apa-apaan tuh?” suara Reno memekkan telinga, “pasangan kamu aku Renata!”

“Kamu kan ngambekkan!”

“Na, kangen! Ketemuan, yuk!”

“Nggak! Pokonya seharian kamu harus istirahat aja, di sana. Nanti sore aku main ke sana, ok?”

Reno tidak menjawab sesaat, lalu dia mengatakan, “tapi jangan keluar sama Sam, apa lagi buat miliin cincin.”

Sam menyambar ponsel dari tangan Renata. “Heh, bange! Aku yang kenalin kamu sama sahabat aku dan sekarang seenaknya aja kamu batasin hubungan kita berdua! Kamu bukan suaminya dan kamu nggak bisa mangkas hubungan persahabatan kita berdua! Camkan itu!”

Reno tertawa ngakak di sebarang sana. “Becanda, ya Tuhan, kalian berdua emang sepaket.”

“Reno, kamu yakin semalam Renata sama Jonah itu cuman diam-diaman, pasti lah mereka mendongkrak masa lalu.” cengiran jahat melebar di wajah Sam.

“Sam, aku percaya sama pacar aku. Na, hubungan kita bakalan hancur bukan karena orang ketiga tapi setan bermuka tiga.”

Renata dan Sam berpandangan. “Lucunya di mana?” suara mereka kompak.

“Jahat!”

“Cup, cup, sayang, jangan ngambek lagi ya dek,” goda Renata.

“Untuk kamu, mana bisa lama-lama ngambek.”

“Aaaaa, sampai jumpa saat senja.”

“Enek aku!” Sam pura-pura muntah, lalu dia berteriak keluar dari kamar Renata. “Kak Sela, sarapannya apa nih?”

Renata menggeleng-gelengkan kepalanya, suasana hatinya jauh lebih baik.
***


Menepati janjinya, Renata mengunjungi apartemen Reno. Sejak dalam perjalan saja mereka sudah saling menelpon.

“Emang harus gitu, kita telponan, bentar lagi ketemu,” protes Renata.

“Ya abis gimana ....” suara gelas jatuh tersenggol menjadi latar belakang.

“Kenapa?”

“Perut aku mendadak sakit banget,” keluh Reno.

“Tahan, bentar lagi aku nyampe di apartemen.”

“I ....” suara ponsel menghantam lantai memekkab telinga Renata.

Renata jadi benar-benar panik, untungnya dia sudah tiba di pelataran apartemen. Tergesa-gesa dia berlari menuju lift, dia mengetuk-etuk pintu Reno keras, tetapi tidak ada jawaban dari dalam sana, sesuatu pasti terjadi, dia butuh pertolongan.

“Reno!” jeritnya putus asa. Buntu, Renata menubruk pintu kamar nomor lima belas, mengetuknya keras. Sosok Jonatan muncul.

“Sory! Sory!” Renata menekan kepalanya. Dia kembali ke tempat Reno.

“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Jonatan.

“Aku minta bantuan orang lain!” Renata berpaling, baru semalam mereka membaut keputusan hidup sebagai orang asing dan sekarang dihubungkan lagi.

“Nggak keburu!” Jonatan mengambil ancang-ancang, lalu menabrakkan diri  ke pintu dengan bahu kirinya.

Renata berlari ke pintu-pintu lain mencari pertolongan, perasaannya benar-benar tidak enak, malang tidak seorang pun membuka kan pintu.

Apa lagi yang menimpanya sekarang?












𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang