Dia dan Cintanya

1.7K 166 7
                                    

Cafe berdesain vintage, bercat kuning gading  juga dekorasi lampu-lampu unik rasanya begitu asing di mata Renata, tetapi dia memilih mengikuti ke mana Wanda membawanya pergi dibandingkan harus melihatnya berlutut dan terisak memohon. Kursi kayu usang terlihat akan ringsek bila diduduki ternyata nyaman saat gadis dua puluh lima tahun itu akhirnya duduk.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Wanda setelah duduk dalam kebisuan.

Renata menggeleng.

“Ayo lah, kita tidak mungkin hanya duduk diam di sini,” bujuk Wanda, “atau mau pesankan? Aku tahu menu terbaik di sini.”

“Jangan!” cegat Renata cepat, “aku lihat menunya sendiri.”

Gadis dengan kemeja biru dengan motif polkadot di depan Renata mengangguk.

Renata melirik menu mencari yang harganya paling murah sebelum akhirnya memutuskan memesan segelas capucino dan roti pisang-coklat.

“Aku benar-benar minta maaf untuk kelakuan burukku kemarin,” ulang Wanda, ia bahkan tidak berani menatap Renata. “Pertama kalinya aku merasakan cemburu membakar tubuhku sampai nuraniku tidak bernyawa, sampai aku bertindak kasar layaknya iblis ... kakimu baik-baik saja?”

Renata menghela napas, bukan dia kalau berbohong. “Tergores, sedikit sakit, tapi udah diobatin sama dokter Reno.”

“Syukurlah, aku tidak bisa tidur setelah memikirkan kejadian itu semalam.”

“Kamu kawatir karena kejadian kemarin itu mempermalukan diri kamu sendiri kan?” Renata bicara tanpa penekanan sama sekali.

“Rasa malu bisa aku lupakan, tapi rasa bersalah menusuk hati.” Wanda menekan dadanya, matanya berubah nanar. 

Pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.
Kenapa aku jadi sok dewasa gini? Runtuk Renata dalam hati. Ia pura-pura fokus pada gambar wajah Micky Mouse di cangkir capucinonya.

“Jadi, tujuan kamu ngajak aku ke sini apa ya? Jauhin dokter Reno?” Renata tidak mampu menahan pertanyaan itu lama-lama di kepala, tanya itu seperti lilitan duri menusuk kepalanya hingga dia mual.

Wanda menggeleng. Bahu Renata terangkat, tidak menyangka dugaannya meleset ratusan meter.

“Lantas?”

“Aku justru mau kamu jagain Reno,” balas Wanda, kini kepalanya terangkat menatap Renata tulus. “Aku pengen dia bahagia.”

“Wait! Aku benaran nggak ngerti! Reno sayang banget sama kamu, lalu kamu tunangan sama cowo lain, what happend?”

Wanda menarik napas panjang, matanya menerawang, perlahan dia kembali berucap, “aku sama Reno udah pacaran sejak kelas satu SMP, awalnya cinta monyet dan ternyata bertahan sampai dua belas tahun. Aku paham, perasaan Reno tetap sama, sayang banget sama aku. Tapi, aku ngerasa jenuh, aku nggak tahu kapan rasa itu mulai datang dan aku ngeliat Reno udah kaya Kakak aku bukan kekasih. Aku bicara jujur tentang perasaan aku dan Reno nggak terima, dia perlu bukti agar kata-kata aku bisa dia terima, makanya aku milih buat tunangan sama orang lain.”

Renata terenyak sejenak. “Pria yang kamu pilih itu ... kamu mencintai dia? Atau dia mencintai kamu saa seperti Reno?”

Wanda hanya diam.

“Maksud aku, kalian saling mencintakan. Kalian tunangan bukan sekedar negbuktiin ke Reno kalau kamu ....” Renata tidak bisa melanjutkan kata-katanya, ia bersandar di kursi lalu menyambar cangkir kopinya lalu minum.

“Nggak kok, aku cinta sama Dirli, dia juga.”

Renata menganggukkan kepala. “Syukurlah. Wan, apa yang sudah kamu lakukan kemarin, secara nggak langsung kamu udah ngasih Reno harapan palsu. Bagaimana kalau Dirli sampai tahu?”

“Makanya aku bela-belain mau ketemu sama kamu hari ini, besok aku ada jadwal penerbangan ke Perancis.”

“Pramugari?”

Wanda menganggukkan kepalanya. “Dirli dia pilot pesawat tempat tugas aku. Kamu bisa bayangin kan, kalau aku sama Reno, kita bakalan jarang ketemu dan aku nggak ada di saat dia butuh. Lebih baik seperti ini. Kamu, pasti ada buat dia.”

Renata tertawa. “Kita hanya temanan karena kita senasib. Sama-sama digantung.”

“Rebut hatinya, Rena. Dia baik.”

Kesan Renata tentang Wanda berubah total, sekarang dia tahu mengapa Reno begitu mencintai dia.

“Alasan aku ngajak kamu kesini, karena ini tempat favorit kita berdua, roti yang kamu pesan kesukaan Reno juga,” kata Wanda diikuti seulas senyuman. “Kalau dia ngingat aku lagi, hantam aja kepalanya.”

“Wah! Wah!” Renata menepuk tanganya pelan. “Tanganku ini setara dengan palu Thor, bukannya amnesia malah langsung koit.”

Wanda tertawa mendengar lelucon konyol Renata.

“Aku nggak punya hak buat maksa dia lupain kamu. Pikirannya, hidupnya, kebahagiaannya ada di dalam kepalanya sendiri.”

Wanda menganggukkan kepala. Dia membungkuk mengambil kantong kertas yang dia tenteng saat kemari. “Ini, gantiin gaun kamu yang aku nodain kemarin. Warnanya sama cuman aku nyari yang modelnya kaya punya kamu udah nggak ada.”

“Nggak usah, gaunya udah aku cuci, nodanya hilang tanpa sisa.”

“Terima aja, please!”  Wanda menarik tangan Renata meloloskan tali tas ke tangan Renata, tidak ada penolakan lagi. “Reno pasti kesal banget waktu tahu aku yang numpahin jus ke baju kamu lalu aku dorong kamu.”

Renata menggeleng. “Aku kemarin bilang aku nabrak meja, aku nggak mau hubungan kalian malah rusak karena itu.”

Wanda terperangah, napasnya tertahan sesaat. Ia menggelengkan kepala berulang kali. “Fix, kamu cocok banget sama Reno. Aku bakalan maksa dia buat jadian sama kamu.”

“Jangan, tolong!” pinta Renata kedua tanganya terkatup di depan dada. “Hubungan atas dasar pemaksaan itu bukannya menciptakan kebahagiaan malah menciptakan neraka dunia, lahir batin.”

Wanda  mengangguk.

Pembicaraan mereka berakhir dengan baik. Renata akhirnya menenteng roti coklat untuk dibawa pulang. Dia membayar pesanannya sendiri. mereka berpisah di depan Cafe menuju arah berlawanan.

Renata melihat jam di ponsel, sudah hampir jam tujuh. Hari sudah gelap. lampu jalan menyala temaram. “Naik ojek aja deh,” putus Renata. Dia tidak mau melewati jam makan malam kalau tiba di rumah. di perempatan jalan, Renata berhenti, mencari ojek. Bukanya ojek, mobil hitam yang terlihat akrab di mata berhenti di depannya.

“Mampus!” Renata celingukan, bagaimana kalau Reno bertanya mengapa dia di sini. Ia mengambil ancang-ancang siap lari.

“Mau ke mana?” teriak Reno, kepalanya menyembul dari jendela mobil.

“Ke Konoha mau ketemuan sama Sasuke.”

Reno turun dari mobilnya. “Kenapa ada di sini?”

“Jalan-jalan sore.”

“Kamu dari Cafe di ujung sana itu? Kok bisa?” selidik Reno.

Renata menggeleng, tidak menyadari bukti ada di tanganya. Kantong roti berlogo nama cafe. Bodoh! Cecarnya dalam hati, pura-pura saja tidak tahu.

“Ia, aku dengar rotinya enak jadi aku mampir.”

Reno masih tidak terusik dengan ucapan Renata.

“Ok! Aku diajak Wanda ketemu.” Renata mengangkat kedua tanganya ke udara. “Kamu mau ke sana juga kan? Gila, ini udah jam makan malam.”

Reno mendorong kepala Renata. “Tadinya ....” tangan Reno cepat mencengkeram bahu Renata menatapnya lekat-lekat. “Kamu nggak disakitin lagi kan sama dia? Aku nggak nyangka soal ....”

“I know,” potong Renata, “kamu udah bilang sama aku soal itu kemarin. Dah, ah! Aku mau pulang. Dokter silakan bernostalgia.”

Reno menyilangkan tangan di dada, jarak mereka begitu dekat dan mata mereka saling melekat.

“Renooooo,” keluh Renata, “aku mau pulang.”

“Temanin aku makan malam dulu!”

“Temanin kamu makan dan mati kelaparan.”
“Kelinciiiiiiiiiiii!” Reno menekan kedua pipi Renata. “Aku traktir. Lagi pengen makan sate nih.”

“Sate, dua ratus tusuk.” Renata mencoba mengingat adegan film horor lawas.

“Di belakang kamu apa tuh?” Reno menunjuk ke arah jalan di belakang Renata dengan wajah serius.

“Apaa?” Renata berbalik kawatir. Tidak ada apa-apa.

Reno menyetak bahunya erat. “Baaaaa!”

“Reno! Jahil banget jadi orang!” cecar Renata memegang dadanya.

“Kamu yang mulai.”

“Aku jadi takut!”

“Sini peluk! Kasihan, kelicinya jadi jelek ih!”

Renata menyilangkan tangan di dada, menyentakkan kakinya di jalan berbalik meninggalkan Reno.

“Mobilnya di sini!” Reno menarik tanganya.

“Aku ngambek!” tolak Renata.

Reno menarik tubuhnya memeluknya erat, pelukan itu selalu  menguar rasa nyaman. Mungkin harus Renata sendiri yang harus mengungkapkan rasa.


Let me know what you think readers 😄











𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang