"Kamu tuh, Ren harus di exorcise biar bayang-bayang Jonathan bisa menguap dari kepala karatan kamu itu, sampai hilang jejaknya!" Samuel memainkan sedotan minumannya di dalam gelas kaca dengan mata terpaku serius ke arah Renata, seakan dia ingin menelan sahabatnya bulat-bulat.
"Pengusiran? Emang aku Emely Rose?" Balas Renata sengit. "Kamu nggak ngerti, Jonatan itu belum mutusin aku, selama kata putus nggak keluar dari mulutnya, aku nggak bakalan merubah status aku dong!"
"Renata! Seriusan kamu butuh Psikolog, atau aku anterinnya ke rumah sakit jiwa sebelah vila di ujung hutan itu. Kita konsultasi, kayanya kamu itu memasuki fase hidup nggak wajar deh!"
"Apaan sih, Sam! Aku normal! Pikiran aku waras. Jiwa aku aja yang enggak. Ibaratkan hati aku itu brangkas penting yang isinya nama Jonatan, dan kuncinya ya ... dia, aku pengen dengar sendiri dia ngomong putus sama aku."
"Sekarang udah tahun berapa? SMK kelas dua udah hampir sepuluh tahun! Ren, banyak cowo yang mau sama kamu, tapi kamu nggak peka." Nada suara cowo kemayu berambut coklat muda itu menanjak.
"Ini masalah janji. Aku sama Jonatan udah buat janji di bukit ilalang di bawah satu-satunya pohon cemara di sana. kalau sampai My Sweat Pao-Pao ngilang, dia tetap bakalan balik sama aku, status kita tetap pacaran! Titik!"
"Pohon cemara kering itu?"
"Udah nggak kering lagi, tiap minggu aku kan ke sana. kamu sih, sibuk ama pasien, makanya aku makin nggak waras."
"Sumpah, pikiran kamu tuh ...." Samuel kehabisan kata. Dia sahabat Renata yang saat ini menjadi dokter di rumah sakit umum kota. Mereka sahabatan sejak SD, meski berbeda saat masa putih abu-abu. Renata sadar betul orang tuanya tidak bisa membiayai kuliahnya nanti jadi dia memilih masuk SMK, sedangkan Samuel mengikuti keinginan orang tuanya yang sama dokter masuk SMA.
Samuellah saksi perjuangan Renata mengejar Jonathan sampai cowo bermata sipit itu tidak bisa melepas sang gadis.
"Bercanda, aku tahu pekerjaan kamu panggilan kamu, tugas kamu." Renata tersenyum manis. Ia melirik jam tangannya, waktu makan siangnya hanya satu jam, tersisa lima belas menit lagi, waktu yang dia butuhkah untuk tiba di kantor dengan motor meticnya. Mereka selalu seperti ini kalau Samuel tidak sibuk di rumah sakit, paling banyak dua kali sebulan.
"Aku harus balik ke rumah sakit, nih." Samuel juga melirik ponselnya. "Aku duluan yah. Oh, iya, kamu baru gajian kan, bayarin makanannya!"
"Ya, elah. Udah seret nih kantong!" suara Renata setengah menjerit hingga pandangan mata orang-orang di roof top itu menatap mereka.
Samuel mendelik, Renata hanya bisa menggaruk tengkuk setengah tertunduk.
"Bodoh amet!" balas Samuel, menyambar ponsel di meja lalu berlari menuruni tangga. "Mas, makanannya dibayar sama teman saya!" katanya pada kasir.
"Yey! Dia yang ngajakin makan! Dasar anak Mamon!" gerutu Renta sembari menuju kasir.
"Serobot aja, nggak usah ngatri!" suara khas Ayu menghentikan langkah buru-buru Renata, pada hal tidak ada orang sama sekali di depan kasir.
"Loh, Mimi peri kok di sini?" tanggap Renata dengan mata terbelalak dan bahu terangkat.
"Kamu tuh, keasyikan pacaran sampai nggak sadar, atasan kamu ada di meja sebelah." Tangan Ayu tersilang di dada dan Herma ada di depanya bersama sang istri.
"Pacar? Berapa kali sih, Bu aku jelasin kalau dokter Samuel Edwin itu teman, sahabat, sohip aku, Bu Ayuuuuu."
Ayu berpaling ke arah Herman dan pasangannya. "Itu, lihat makin hari makin nggak waras aja." Mereka tertawa.
Renata makin salah tingkah. "Total makanan saya berapa, Mas?" tanya pada kasir.
"Seratus tiga puluh ribu lima ratus," jawab sang kasir mantap.
Renata meraba kantong sakunya, ia jarang sekali membawa dompet. Uang seratus ribu ditarik, tinggal sisanya. Seingatnya dia menyimpan uang seratus lima puluh ribu di saku celana jeans birunya.
"Sam sialan! Dia yang makanya banyak kok malah aku yang kena!" decaknya sembari terus meraba saku.
"Mas." Herman berdiri di samping Renata, ia mengulurkan kartu kredit ke arah kasir. "Ditotalin sama dia. Ini loh, gayanya saja makan di restoran, besok-besok dia muncul jangan dilendenin."
"Yah, Pak." Renata menatap atasannya. Tangannya menarik uang lima puluh ribu lecek dari saku baju. "Ini, lunas!" ia memasang senyum penuh kemenangan.
"Sudah, simpan saja!" istri Herman mendekat, lalu menggandeng tangan suaminya. Wajah khas wanita Asia Timur yang memukau.
"Wah! Jangan, Bu. Kan turun status saya di antara para semut kalau begini."
"Dah, jangan diladenin." Ayu menjewer telinga bawahannya. "Balik kantor sana, kita kelarin urusan kamu di sana. Jangan lupa, satu gelas jus lemon setengah matang di atas meja."
"Iya, Kanjeng Ratu!" Renata membungkuk, dia berputar tanpa mengangkat kepala. kejadian kemarin terulang lagi. Jonatan berada di belakangnya.
"Lagi?" Ayu seakan menjadi narator drama.
"Nggak sengaja maaf!" Renata celingukan ke arah lain.
"Ngapain sih pekerjain karyawan nggak tahu etika."
Mata Renata membulat, dengan bibir tergigit. Hatinya diserang rasa sakit oleh ucapan lancang mulut Jonatan.
"Dia karyawan Ayah, terserah Ayah dong. Kecuali kamu terima tawaran itu."
"Tuh kan, Ma." Jonatan menatap Ibunya.
"Bu Ayu saya pamit duluan ke kantor." Renata sengaja membesar-besarkan suara ia mengakap kilatan emosi di mata Ayah dan anak di depannya.
"Pergi aja sana!" desis Jonatan.
"Som ..." mulut Renata bergumam, sebelum kata itu berakhir, cubitan keras dari Ayu menghantam lengannya.
"Ampun, Nyaiiii!" jeritnya menahan sakit.
"Jangan ngatain Jonatan, besok dia jadi atasan kamu. Mampus!"
Jangan sampai, harap Renata dalam hati
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)
Romance⚠️ Low conflict Sinetron able. Not relate to anyone life. Si kolektor bedak bayi diajak jadi selingkuhan sama MANTAN kesayangan! Oh No! Terima? No Way! Dia udah jadi atasan. Tolak? Aaaa kan masih sayang😭 Iii makin hari kok makin dekat .... Stop! S...