Teman Senasib

1.8K 182 1
                                    

Kepala Renata serasa ditusuk ratusan jarum, nyut-nyutan sampai pandangan matanya berkunang-kunang. Satu-satunya alasan dia menolak semua panggilan Jonatan adalah pria itu makin hari makin memuakkan. Dia duduk di kursi panjang depan vila tanpa jaket di tengah udara dingin menusuk tulang.

Pintu kasa berderit, Renata tetap memilih menatap lampu taman, itu pasti Sam yang akan memintanya masuk ke dalam.

“Renata ayo masuk!”

“Nggak! Aku mau tidur di sini aja!” bantah gadis berbaju kaus abu-abu itu.

“Kenapa lagi sih?”
“Itu si Jonah nggak habis pikir aku! kezel pengen aku masukin mesin cuci biar pikirannya bersih sebersih-bersihnya.”

Sunyi memercik sesaat.

“Sam, lapar!” keluh Renata menepuk perut, semenjak sore dia mengurung diri di kamar, sekarang sudah pukul dua puluh dua malam.

“Aku buatin mie hangat gimana?”

“Nggak mau mie!” rengek Renata seperti anak kecil, bibirnya maju satu senti dengan rambut mengembang menyerupai singa hutan di tengah musim kering.

“Terus, kamu maunya apa?”

Mata Renata terbuka lebar, tubuhnya seolah disengat aliran listrik berkekuatan tinggi. Lehernya ngilu berbalik perlahan, Sam tidak pernah berbicara sehalus itu.

“Reno!”  semburat merah terbit di pipi Renata, dia mengambil bantal  kursi menutupi wajah.

Reno menatapnya dengan senyuman miring dan mata mengecil. Tidak ada tanggapan dari pria itu, dia masuk kembali ke dalam vila.

Renata menarik napas lega, ada baiknya dia bersemedi saja di sini.

Pintu kembali berderit, kali ini dengan cepat dia menoleh. Reno muncul membawa mangkok dengan isi mengepul.

“Nih, makan!” Reno menyodorkan mangkok bergambar ayam jago ke Renata.

“Apa?”

“Makan aja!Nggak aku racunin kok. Lagian adanya cuman itu di dapur.” dumel Reno kembali masuk ke dalam.

Renata mengaduk-aduk isi  mangkok, mie kuah dengan telur dan potongan sosis. Ia mendekatkan sendok ke mulut, Reno kembali dengan selembar selimut abu-abu.

“Yang lain pada ke hutan belakang lihat kunang-kunang tadi,” ucap Reno.

Renata hanya menganggukkan kepala, lalu kembali mendekatkan sendok ke mulutnya.

“Nasib kita kok bisa sama ya,  Ta.” Reno duduk di sebelah Renata sembari melebarkan selimut guna menutupi tubuh sang gadis.

“Takdir!” balas Renata, ia berbalik menatap si dokter muda. “Aku nggak tahu cerita kamu. Lebih tragis dari Tictanik?”

“Apa sih!” omel Reno. “Kita sama-sama terkurung dalam penantian tanpa kepastian.”

“Seriusan kamu dokter bukan anak sastra?  Kok puitis?” kekeh Renata.

“Aku serius kelinci!” Reno menyilangkan tangan di dada.

“Kamu juga punya gigi kelinci! Eh, jadi gimana?”

“Aku juga nunggu seseorang, wanita yang aku percaya sebagai cinta sejati aku. Di dekat dia aku selalu nyaman dan tenang dalam keadaan apa pun. Tapi sekarang dia udah tunangan sama cowo lain, tapi sikapnya ke aku nggak pernah berubah, makanya aku tetap menunggu, barang kali kita bisa bersama lagi.”

Renata hanya bisa menggerakkan bibir tanpa kata, kepalanya tidak bisa merangkai kata penghibur sekarang. Tanganya kembali meraih sendok siap untuk makan, perutnya menyanyikan lagu kelaparan.

“Asin!” Renata menyembunyikan kenyataan kalau lidahnya tersengat air panas.

“Masa?” Reno meraih sendok di mangkok. Cepat-cepat Renata menggeser mangkok.

Bibir bagian Kanan Reno teangkat, tanganya mendorong kepala Renata pelan, lalu tertawa.

“Aku kira di dunia ini hanya aku yang bodoh mempercayai cinta dan penantian panjang tidak akan berakhir sia-sia.”  Renata kembali mengangkat sendok, kali ini dia menipunya terlebih dahulu. “Temanan yuk, biar bisa bertukar cerita.”

Reno menatap wajah Renata serius.

Sontak Renata menepuk jidatnya sendiri. “Bodoh! Aku lupa tukang bersih-bersih sama dokter. Malu-maluin ... auch!” jerit Renata saat Reno mencubit tanganya keras.

“Sakitkan?”

“Iya lah! Sakit! Itu tangan apa capit kepiting?”

Reno memegang pipi Renata dengan kedua tangannya. “Kulit kita sama, pekerjaan hanya cara mencari nafkah, nggak ada bedanya sama jalinan hubungan. Bilang aja kamu nggak mau temanan sama pria yang hidupnya semiris aku?”

Renata menepis tangan Reno. “Bukan kaya gitu! Lagian putihan kamu juga!"

“Jadi, temanan?”

“Ok, temanan. Lebih tepatnya perkumpulan manusia patah hati, besok kita bikin komunitas kali aja ada lagi yang senasib di luar sana.”

“Serah!” Reno berdiri. “Mau nyusul yang lain buat lihat kunang-kunang nggak?”

“Ih kunang-kunang, enggak itu katanya ....”

“Jari-jari orang ....”

“Jangan dilanjutin bisa-bisa nggak tidur aku!” potong Renata. “Dah ah, ngantuk. Oh ya, maka sih ya buat mie asinnya ... seriusan nggak ada rasa garamnya sama sekali, hambar kebanyakan kuah.”

“Ngomong apa sih?” Reno menatap Renata bingung.

"Habis kalau aku bilang enakkan kan nggak adil, orang kamu cuman nambahin air doang, bumbunyakan udah ada di dalam kemasan," tutur Renata tanpa rasa terima kasih.

Reno memengai perutnya menahan tawa. " Makin ke sini makin aneh ya kamu."

"Udah dari dulu, kok. Dokter aja nggak update. Udah sana, gabung sama yang lain."

"Ngusir nih?"

"Enggak, aku ngantuk benaran. Selamat malam," ucap Renata sopan.

Wajah Reno berubah bingung melihat tinggkah Renata.

𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang