“Ok, see you later.” Renata menutup panggilan suaranya dengan Reno, meski jarak memisahkan mereka hampir dua bulan, komunikasi tidak pernah hilang, meski terkadang ia merindukan sentuhan lembut Reno juga pelukan hangatnya.
Renata berkaca merapikan kerah kemeja putihnya dan juga rambutnya yang digerai, panjangnya hingga bahu, dia sengaja memotongnya agar lebih dan rapi dan mudah digerai, berbeda saat menjadi clening service dulu, dia tampil dengan wajah polos sekarang di toko bunga, dia harus memakai riasan natural. Selepas mengantar Reno di bandara, dia langsung mengantarkan surat lamaran, pemiliknya seorang lelaki perlente yang ramah.
Pukul enam pagi, Renata tiba di toko mulai membatu Gea dan Ilmi menata bunga di luar toko. Ilmi akan mengambil posisi meja kasir hingga pukul satu, dan Renata dari pukul satu sampai pukul enam, sisa waktu tugas Gea. Ilmi dan Gea sepertinya memiliki masalah sebelumnya, keduanya tidak begitu akur saat bekerja tetapi berusaha tetap profesional.
“Na, tolong pindahin buket mawar merah segarnya ke depan dong, yang dipajang tadi pagi udah laku,” pinta Gea, dia paling tinggi di antara mereka.
Renata menganggukkan kepala, lalu mengambil bunga di belakang meja kasir.
“Kenapa nggak kamu sendiri aja sih?” protes Ilmi dari balik meja kasir.
“Renata aja nggak nolak,” balas Gea sengit.
Renata buru-buru mengangkat bunga berjalan keluar.
“Nata de coco, is that you?” suara khas Ayu membuat Renata bergidik kaget.
“Bu Ayu.” Renata memasang rupa antusias pada hal dalam hati was-was siap diomeli lantaran sudah memblokir nomornya dulu.
“Mentang-mentang makin cantik kamu lupa ya sama teman lama.” Ayu melebarkan tangan siap memberikan pelukan.
“Nggak kok, Bu selama ini kan sibuk sama pacar.”
“Aaaa, jadi apa yang dibilang Jonah itu benar, Renata udah jadi Bucin. Penasaran deh liat muka cowo kamu setampan apa.”
“Setampan apa yaa, rahasia.”
“Eh, kapan-kapan main ke rumah dong.”
“Siap. Kita istirahat tiap hari Senin sih, sekali sebulan.”
“Ya udah, kapan kamu ada waktu deh aku tungguin, dan please itu blokiran tolong dibuka yaaaa!”
Renata memberikan hormat sekilas pada Ayu. Dia melirik jam di tangan, sudah waktunya makan siang. “Bu Ayu mau beli bunga apa?”
“Seruni,” jawab Ayu.
“Yuk dilihat, aku harus makan siang sekarang terus gantiin posisi kasir.”
“Iya, sok sibuknya itu!”
Renata hanya tertawa, dia masuk kembali ke dalam toko langsung menuju dapur, mereka membawa bekal masing-masing, toko ini tidak pernah tutup, pelanggan datang di waktu yang tidak terduga kata pemiliknya.
Berdiri di depan meja kasir, Renata harus gesit dan juga tersenyum bagaimana pun suasana hatinya dia memaksakan lekukan indah itu terpajang.
“Jangan menggantungkan aku sebagai satu-satunya alasanmu untuk tersenyum,” pesan Reno di bandara, “Tuhan selalu memberikanmu lebih dari satu alasan untuk tetap memasang senyuman dalam satu hari.”
“Cantik,” suara dingin menyapa Renata yang tengah menunduk memperhatikan pembukuan.
“Ya, bunganya selalu cantik, ” balas Renata tanpa mengangkat kepala.
“Bukan, tapi kamu.”
Sontak Renata mengangkat kepalanya. “Jonatan!” desis Renata kesal. Pria jangkung itu tersenyum, rambutnya sudah panjang sebahu, sebagian diikat ke belakang dan sisanya digerai. Di balik punggung Jonatan, Febi tengah menimbang bunga aster dan lili.
“Manah bunga yang mau dibayar?” Renata mengulurkan tangan.
“Tapi aku serius kamu makin cantik sekarang,” ucap Jonatan.
Renata salah tingkah, bukan atas pujian itu melainkan atas kelancangan Jonatan memujinya entah jujur atau palsu di sebelah tunangannya.
“Belum cukup dramanya?” komentar Febi pedas.
“Drama? Emang salah kalau aku muji teman aku?” tanya Jonatan pada Febi.
“Bayar aja bunganya!” Febi memberikan bunga secara kasar pada Jonatan.
“Bisa nggak sih berhenti ngelibatin aku dalam masalah kalian?” omel Renata sembari menghitung harga bunga.
“Ya, maaf mana aku tahu Febi ada di belakang.”
“Segampang itu?”
“Nanti malam, mau nggak makan udang di restoran seafood yang biasa kamu datangin sama Reno?”
“Hiaaaaa!” Renata nyaris gila mendengar kata-kata Jonatan.
“Aku juga nggak mau kali, cuman Sam yang minta katanya Reno minta dia buat nemanin kamu ke sana, tapi nggak bisa sifatnya lagi full banget.”
“Ya, udah nggak usah, aku bisa ke sana sendiri. Nah bunganya.” Renata mengulurkan belanjaan Jonatan.
“Itu, mawar putih di belakang kamu sekalian.”
“Ok!” Renata berbalik mengambil buket bunga bersama munculnya Ilmi dari belakang.
“Ada lagi?” Renata mengulurkan bunga pada Jonatan.
“Bunganya buat kamu.” Jonatan tidak menerima bunga malah langsung keluar.
“Sini aku bungkusin!” Ilmi meraih bunga dari tangan Renata. “Mantan kamu?”
Renata mengangkat bahu.
“Ren,” Gea muncul dari belakang. “Ponsel kamu berdering terus dari tadi, coba deh angkat dulu, aku gantiin kamu bentar.”
Renata mengangguk, kepalanya mulai menerka-nerka kira-kira siapa yang menelepon. Ayah atau Ibunya, Reno atau Sela. Pasti urusan mendadak keluarga. Namun, saat dia menatap layar ponselnya itu dari Reno.
“Noooo,” suara Renata gemas.
“Hay, Na. Gangu ya?”
“Kan masih jam kerja.”
“Maaf deh, abis aku mendadak kangen banget sama kamu,” suara Reno manja dari seberang.
“Aku juga kangen setiap saat. No, kamu benaran minta Sam nemanin aku makan udang di restoran seafood?”
“Iya sih, tetapi katanya dia minta Jonatan. Kamu mau?”
“Mau aja, kamu kan lagi jauh,” canda Renata.
“As long as ypu happy and love me, i don’t mine. Renata, i love you always.”
“Ish, apa sih. Cekarang bobo ya cayang. Jangan lupa senyum dan mimpiin aku!”
“Always,” suara Reno melemah dan pada akhirnya panggilan dimatikan.
****
Pukul sembilan malam, Renata menyalakan mesin motornya bersiap untuk segera pulang ke rumah, dia berniat membeli sate ayam di persimpangan jalan menuju rumah. Mobil hitam berhenti menghadang jalannya, Jonatan muncul setelah pintu mobil terbuka.
“Bisa minta waktunya sebentar nggak?”
“Mau ngajakkin makan malam lagi?” tanya Renata kesal.
“Ajakan itu udah dua bulan yang lalu kali!”
Renata menarik napas, empat bulan sudah Reno berada di New York, belakangan Reno bilang waktu tidurnya kembali stabil jadi mereka jarang sekali bisa berbincang melalui telepon, kata Ibunya sebenarnya Reno ingin kembali, tetapi sang Ayah menahannya agar tetap lebih lama.
“Jadi sekarang?” Renata menyilangkan tanganya di dada.
“Aku mau ngasih ini.” Jonatan menyodorkan undangan pernikahan berwarna biru muda. “Undangan pernikahan aku sama Febi, lusa.”
Renata menganggukkan kepala. “Kenapa kamu harus nganter sendiri?”
“Karena hubungan kita udah baikan, you still part of my live.”
“Liar! Dah ah, aku cape mau balik.”
“Na, are you ok?”
“Always. Kenapa kamu nanyain hal itu?”
Jonatan terdiam, napasnya tertahan. “Nothing. Jangan lupa wajib datang!"
Renata tertawa. “Are you kidding me? Aku mati rasa di acara pertunangan kamu, aku nggak punya malu kalau aku datang ke acara pernikahan kamu,” jujur Renata.
“Please forgive me!”
“I already forgive you! Tetapi kejadiannya tertanam di kepala. pengalaman traumatis!” Renata menyalakan mesin motornya. “Thank’s for your invitation. Dan selamat untuk pernikahan kamu!” Renata memundurkan motor lalu berbelok. Demi apa pun, dia tidak akan mendatangi acara yang berkaitan dengan Jonatan.
****
“Anterin bunganya ke Gereja di sebelah taman air mancur ya, Na!” Ilmi mengulurkan buket bunga pada Renata.
“Ini buat pernikahan? Aku nggak bawa motor tapi,” jawab Renata.
“Udah buruan, pernikahannya udah hampir mulai!” Gea mendorong tubuh Renata sembari melepaskan tali celemek toko dari tubuh Renata. Ilmi sudah memegang jaket hijau navy miliki Renata.
Mereka berdua mendadak kompak mendorongnya masuk ke dalam taxi. Sebelum taxi melaju, Sam menghentikan. Belakangan setelah dia menikah mereka jarang sekali bertemu.
Renata menatap bingung.
“Ada surat dari New York, untuk kamu!”
“Surat?”
Sam menyodorkan amplop biru tua tebal kepada Renata.
“Cepatan! Telat tahu!” Gea meminta sopir taxi melajukan kendaraan.
Renata membuka amplop. Selembar surat dalam kertas hvs putih, tulisan tangan.
To My Beutifull Girlfriend i ever have.
Na, aku tahu kamu bahagia sekarang dengan aku tanpa aku, meski aku jauh tanpa kabar, aku tahu kamu tetap bisa tersenyum. Aku mohon, jangan menyimpan duka lagi sama seperti masa lalumu.
Aku ingin memberitahumu sejak lama, sejak kita pertama kali bertemu. Aku dengan jelas tahu kalau hubungan kita akan berakhir suatu hari. Aku nggak berani bicara setelah aku sadar, aku jatuh cinta sama kamu dan tidak ingin pikiran kamu teralihkah oleh penyakit aku. Aku terserang crohn yang menyebabkan radang usus sampai ke lapisan terdalam dan saat aku nulis surat ini, jujur aku nahan sakit. Saat itu pula aku makin sadar, kemungkinan kita bersama makin tipis.
Na, setelah membaca pesan ini, jangan cari aku lagi, karena aku udah pesan sama Sam, untuk ngasih surat ini tepat empat puluh hari aku ninggalin bumi. Aku mohon, iklasin aku. Pada kehidupan selanjutnya, aku percaya rasa sakit yang aku alamin nggak bakal terasa lagi.
“Udah sampai, Kak,” tegur sopir taxi.
Renata turun dari mobil memeluk buket bunga, tubuhnya lemah lunglai, tidak ada isakkan hanya air mata membanjiri pipi. Susah payah dia melangkahkan kaki memasuki gereja. Pernikahan benar sudah dimulai, kedua mempelai sedang bertukar cincin di depan altar. Sebelum pandangan Renata benar-benar hilang, dia mengetahui siapa yang menikah, Jonatan dan Febi. Suasana yang tidak tepat.
Renata mengangkat buket bunga ke kepalanya agar diperhatikan oleh orang-orang, sayang, sebelum buket bunga diterima, dia lebih dahulu jatuh ke lantai, dan dunia berubah gelap.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝙊𝙝 𝙂𝙊𝙙, 𝙃𝙚'𝙨 𝙈𝙮 𝙀𝙭 ( 𝙀𝙉𝘿)
Romance⚠️ Low conflict Sinetron able. Not relate to anyone life. Si kolektor bedak bayi diajak jadi selingkuhan sama MANTAN kesayangan! Oh No! Terima? No Way! Dia udah jadi atasan. Tolak? Aaaa kan masih sayang😭 Iii makin hari kok makin dekat .... Stop! S...