Laki-laki berbadan tegap itu mulai duduk di atas kursi rotan yang sengaja diletakkan pada balkon kamarnya. Berusaha memanfaatkan waktu santainya dan mengabaikan rasa lelah setelah seharian mengurus berkas-berkas perusahaan yang harusnya belum ia tangani di usia semuda ini. Sesekali bibir merah muda itu menyesap teh buatannya sendiri walau memang rasanya sedikit kemanisan. Aroma khas teh masuk ke dalam hidungnya, menyenangkan dan menenangkan. Matanya masih setia menatap layar kamera di tangannya, foto-foto pemandangan yang ia tangkap saat mendaki beberapa hari yang lalu seolah tidak pernah membuatnya bosan.
Elnath, laki-laki itu memang sangat senang mendaki. Setiap liburan sekolah ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke berbagai penjuru Indonesia untuk mendaki gunung-gunung yang menjanjikan pemandangan indah. Baginya, hidup hanya sekali dan harus benar-benar dinikmati. Mengingat banyaknya keindahan di negara tempatnya lahir, setidaknya Elnath harus bisa melihat keindahan itu walau tidak semuanya. Lagipula, usianya masih memungkinkan untuknya pergi ke berbagai tempat sebelum semakin sibuk dengan urusan-urusan layaknya orang tua.
"Elnath." Suara lembut seorang wanita masuk ke dalam telinga laki-laki itu hingga membuatnya mengangkat kepalanya, mengalihkan pandangannya dari kamera dan kini menatap lekat-lekat wajah wanita itu.
"Iya, Bunda?"
Selma, wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik menatap malu-malu pada putra semata wayangnya. "Bunda pengen martabak manis," ucapnya pelan.
Elnath mengangguk. "Elnath beliin sekarang."
"Kamu bener mau beliin? Nggak apa-apa?" tanya Selma dengan nada tidak enak pada putranya.
"Iya," jawab Elnath patuh kemudian meletakkan kameranya di atas nakas dan meraih kunci motornya. "Kalau Bunda ngantuk, tidur aja. Setelah pulang nanti Elnath bangunin."
Bagaimana bisa Elnath menolak permintaan wanita itu? Orang tua satu-satunya yang sekarang ia miliki. Kemana Ayahnya? Sudah pergi, jauh ke atas sana. Mungkin, malam ini almarhum Ayahnya tengah tersenyum menatap putra semata wayangnya tumbuh dengan baik dan yang paling penting selalu menjaga Bundanya.
Dengan sekali gerakan Elnath sudah duduk di atas motor besarnya. Mesin motornya telah hidup dan kini ia mulai melajukan motornya dengan sangat pelan pada jalanan kota yang lumayan senggang. Matanya selalu melirik ke pinggir jalan untuk mencari pedagang martabak yang masih buka. Belum terlalu jauh dari komplek perumahannya, ponselnya berbunyi. Motornya menepi di pinggir jalan yang terlihat lebih sepi dibandingkan siang hari. Cahaya lampu motor yang menyorot jalanan di depan sana membuat rintik hujan yang mulai jatuh membasahi tanah terlihat dengan jelas. Tangannya merogoh saku, menarik ponsel dari sana kemudian menatap layar yang masih menyala menampakkan sebuah pesan dari seseorang.
Elnath menyunggingkan senyum kecut. "Menyusahkan," gumamnya kemudian segera memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Melupakan martabak pesanan Bundanya, Elnath berbalik arah menuju sebuah restaurant untuk membelikan pesanan seseorang yang sebenarnya tidak lebih penting dari pesanan Bundanya. Elnath ingin menolak, bahkan sangat ingin. Tapi, Bundanya selalu memerintahkannya untuk patuh pada orang itu, dan Elnath selalu benci hal ini.
***
Senyum gadis berwajah manis tiba-tiba hilang, berganti dengan raut terkejut saat menatap seorang laki-laki yang sangat ia kenali mulai masuk ke dalam restaurant ini dan duduk tak jauh dari tempatnya. Tangannya yang bergemetar meraba-raba meja untuk mencari buku menu, sedangkan matanya masih fokus menatap laki-laki itu untuk memastikan bahwa laki-laki itu tak menyadari keberadaannya di sini.
"Kamu kenapa, by?" tanya Ben saat melihat pacarnya yang baru saja dipacari selama lima hari mulai menutupi wajahnya dengan buku menu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazelnath
Teen FictionBukan mengenai Hazelnut, jenis kacang-kacangan yang tergolong dalam spesies Filbert. Tapi mengenai Hazelnath, dua anak manusia yang diciptakan dan dipersatukan dengan karakter yang sangat berbeda. Hazel tidak bisa hidup dengan tenang tanpa harta, po...