35

2K 312 402
                                    

Dua puluh lima menit lamanya Hakan menyumpal telinga dengan earphone. Selama itu juga Hazel menangis di dalam kamar berukuran sedang yang menjadi tempat tinggal Hakan. Jika boleh jujur, ingin sekali Hakan mengusir Hazel agar tidak mengganggunya disini. Lagipula ia sudah memperingatkan mengenai hal ini sebelumnya pada Hazel, tapi gadis itu tidak mendengarnya. Sekarang apa yang bisa dilakukan gadis itu? Menangis sebagai bentuk penyesalan yang tidak akan mengubah keadaan.

Layar ponsel Hakan tiba-tiba menggelap, diikuti oleh tarikan earphone yang sedetik lalu masih melindungi telinganya dari suara tangisan Hazel. "Jangan diem aja!!" rengek Hazel dengan sisa-sisa tangisnya.

Hakan menatap lamat-lamat wajah Hazel, mata gadis itu sembab dan hidung yang memerah. "Berhenti nangis."

"G-gitu aja?" tanya Hazel masih sesenggukan.

"Terus gue harus apa? Berantem sama mantan lo?!"

Mendengar kata mantan membuat tangis Hazel semakin menjadi. Dia tidak pernah membayangkan semuanya akan berakhir seperti ini. Bertahun-tahun Hazel habiskan untuk mendapatkan perhatian dari Elnath, lalu apa ini balasan dari usahanya? Apa bahagianya benar-benar telah berakhir dengan waktu sesingkat itu? Rasanya tidak adil sekali melihat apa yang ia dapatkan sekarang setelah usaha panjangnya.

"Bantuin gue bujuk Elnath," pinta Hazel pelan.

Dengan mantap Hakan menggeleng. Ia tidak ingin ikut campur dalam permasalahan ini. Bukannya Hakan tidak sayang dengan Hazel, tapi ia sendiri juga geram dengan tingkah Hazel. Jika Hakan turut membantu memperbaiki hubungan mereka, Hakan sama saja akan menyerahkan permasalahan yang lebih besar pada dua orang itu. Yang bisa memperbaiki hanya mereka berdua, menyadari kesalahan masing-masing kemudian membicarakannya dengan kepala dingin.

"Gue nggak ada waktu," jawabnya santai.

"Terus gue harus gimana, Hakan?!"

Hakan berjalan menuju meja belajar kecil miliknya. Membuka sebuah buku dan berpura-pura sibuk walaupun dari tatapannya saja sudah jelas bahwa ia tidak minat dengan objek didepannya. "Punya Gwen, kan? Pacaran sama dia."

"Gue mau Elnath!" kekeh Hazel masih dengan isakannya.

"Kalau gitu jauhin Gwen."

Hazel bungkam, isakannya tiba-tiba berhenti hingga menarik perhatian Hakan untuk menatap gadis itu. "Lo itu serakah," hina Hakan.

"G-gue cuma mau sama Elnath," jawab Hazel sangat pelan dengan sedikit nada keraguan.

Hakan menggeram kesal. "Nggak, lo mau dua-duanya."

"N-nggak!" kilah Hazel cepat.

Sekarang Hakan benar-benar menaruh perhatiannya pada Hazel yang duduk di lantai. "Lo bisa coba bohongin gue, tapi lo nggak bisa bohongin perasaan lo sendiri."

"Gu—"

"Kalau lo bener-bener cuma mau Elnath, lo nggak akan keberatan buat jauhin Gwen," potong Hakan. "Sama kayak Elnath yang nggak keberatan jauhin Velyn."

"Gwen temen gue, cuma dia yang bisa temenin gue."

Hakan tersenyum miring, masih tidak menyangka bahwa ternyata begini cara Hazel membela dirinya.

"Elnath salah paham, nggak mau ngertiin gue, terlalu cemburuan," cicitnya semakin pelan diakhir kalimat.

Sedetik Hakan tampak terkejut dengan ucapan Hazel, namun segera ia mengubah ekspresi wajahnya. "Terus sekarang apa?"

"Maksudnya?"

"Apa yang mau lo tangisin lagi?"

Pertanyaan Hakan masih tidak bisa dicerna dengan baik oleh Hazel, membuat laki-laki itu menarik napasnya sebelum menjelaskan. "Dia sibuk, nggak bisa temenin lo, nggak bisa ngertiin lo, terlalu cemburuan. Harusnya lo seneng karena udah putus sama dia."

HazelnathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang