Kedua kaki Hazel sedikit melompat ketika turun dari mobil mewah yang selalu mengantar dan menjemputnya saat sekolah. Tidak banyak menghabiskan waktunya di halaman rumah yang mungkin bisa membakar kulitnya dari sengatan matahari membuat gadis itu cepat-cepat berlari masuk ke dalam rumah. Pintu besar itu terbuka lebar-lebar dan membuat salah satu asisten rumah tangga refleks menyunggingkan senyum sebagai bentuk kesopanannya pada Hazel. Hampir saja Hazel melewati ruang tamu, tapi langkah kakinya terhenti saat memperhatikan sesuatu yang sedikit janggal.
"Papa? Kenapa udah pulang?" tanyanya kebingungan saat melihat laki-laki paruh baya itu duduk dengan santai di rumah ini, bukankah seharusnya Papanya berada di kantor dengan tujuan mencari lebih banyak uang untuk dirinya?
"Maaf sedikit lama, ini kopinya, Om."
Pandangan mata Hazel sekarang berpindah pada seorang gadis asing yang terlihat seumuran dengannya. "Lo siapa?" tanyanya dengan nada ketus. Dari pertama kali melihatnya, Hazel sudah tidak suka dengannya. Tidak tahu alasan jelasnya, tapi Hazel tiba-tiba merasa dirinya terancam.
Tidak mendapatkan jawaban apa pun dari gadis itu, Hazel berjalan mendekat saat gadis itu dengan santai duduk di atas sofa. "Heh! Lo asisten rumah tangga baru? Nggak sopan duduk di sebelah Papa, bangun nggak?!!" marahnya.
Gadis itu menatap Hazel dengan tenang, ia tersenyum tulus hingga membuat Hazel mengerutkan keningnya. "Dia siapa, Pa?" tanya Hazel mendesak.
"A—"
"Dia keponakannya Bi Ina," jawab Henry, laki-laki paruh baya yang sekarang sedang menutup laptopnya.
Hazel menatap Papanya penuh selidik. "Ngapain dia tiba-tiba ke sini? Ngapain dia duduk di sebelah Papa?" cecar Hazel.
Gadis itu segera berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya ke hadapan Hazel. Selama beberapa detik uluran tangannya mungkin hanya disapa oleh udara, untuk mengurangi rasa malunya akhirnya gadis itu menurunkan uluran tangan yang tidak disambut baik oleh Hazel. "Aku Velyn," ucapnya ramah.
Hazel sama sekali tak tertarik untuk berkenalan pada gadis itu. Matanya masih menatap ke arah Papanya. "Papa bisa jawab pertanyaan Hazel yang tadi?" tanyanya sedikit tegas.
Henry menghela napasnya. "Kedua orang tua Velyn sudah meninggal dan dia tinggal sendiri di desa, jadi Bi Ina terpaksa harus bawa Velyn ke sini."
"Terus?" tanya Hazel yang masih kurang puas dengan jawaban Papanya.
"Memang kenapa kalau dia duduk di sebelah Papa?" tanya Henry pada Hazel.
Hazel menggeram kesal, kenapa Papanya jadi balik bertanya? Tangannya mengepal kuat, otaknya sudah tidak bisa memikirkan hal-hal positif. Apa Velyn sebentar lagi akan merebut perhatian Papanya? Apa Velyn merupakan gadis penggoda hanya untuk mendapatkan uang? Jika iya, Hazel tidak akan pernah membiarkan hal ini terjadi. Tatapannya semakin menajam saat menatap Velyn, terbukti hingga membuat gadis itu menunduk takut. Terlihat sok polos memang, tapi ia tidak boleh terkecoh dengan tampang sok polos Velyn. Bagaimana bisa gadis yang kata Papanya berasal dari sebuah desa tapi berpenampilan hampir sama sepertinya? Hazel yang salah atau memang gadis desa sudah tidak ada yang berpenampilan sederhana lagi?
"Sampai kapan pun Hazel nggak akan bisa terima kalau Papa punya pikiran buat nikah lagi," ucapnya tanpa basa-basi setelah itu melenggang pergi meninggalkan Henry dan Velyn yang sama-sama bingung mendengar ucapan Hazel.
Hazel memang tumbuh tanpa kekurangan harta, tapi sebenarnya gadis itu kekurangan kasih sayang. Papanya sebetulnya sangat sayang pada Hazel, tapi laki-laki itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Walau begitu, Hazel sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, ia lebih takut jika Papanya tidak bisa membelikannya barang-barang mewah. Mamanya di mana? Soal ini Hazel tidak tahu. Hazel hanya kenal pada Papanya, satu-satunya orang tua yang ia miliki. Apa Mama Hazel telah tiada? Hazel rasa belum karena Papanya tidak pernah mengatakan tentang kematian wanita yang telah melahirkannya. Hazel tidak pernah peduli mengenai hal itu, entah Mamanya meninggalkannya sesaat setelah ia di lahirkan sama sekali tak membuat Hazel sedih. Sekali lagi Hazel tekankan, ia hanya takut kehilangan harta.
***
"Selesai makan malam nanti, seperti biasa temui saya di ruang kerja."
Tangan Elnath mengepal kuat, kenapa laki-laki sialan ini sudah menyambutnya? Apa ia tidak mengerti bahwa Elnath baru saja pulang dari sekolah. Elnath masih merasa lelah dan sekarang lelahnya seolah bertambah sedetik setelah matanya menatap wajah laki-laki itu. Makan malam masih beberapa jam ke depan, bahkan matahari masih terang menyinari bumi, laki-laki itu seolah sengaja merusak suasana hati Elnath. Melupakan kesopanannya, Elnath hendak melenggang pergi dari sana.
"Bisa dengar perintah, Om?" tanya laki-laki itu.
"Hm."
"Bagus, ada banyak kerjaan yang harus kamu urusi."
Dimas, laki-laki paruh baya yang beberapa menit lalu berbicara dengan Elnath segera pergi dengan senyum miringnya. Dimas merupakan Kakak kandung dari Selma, Bundanya Elnath. Semenjak kepergian suami adiknya, Dimas dipaksa untuk menangani perusahaan peninggalan almarhum Andrew. Ia pernah menyusun segala strategi untuk merebut perusahaan itu, tapi gagal sebab Elnath ikut campur dengan semuanya. Apa Dimas sudah menyerah? Mungkin sebentar lagi iya. Ia sudah mencoba memberatkan Elnath dengan segala pekerjaan tapi tak membuat laki-laki itu kesulitan dalam menangani semuanya. Padahal harapan Dimas adalah membuat Elnath tidak kuat dengan semuanya dan benar-benar menyerahkan perusahaan itu padanya sehingga membuatnya lebih leluasa melakukan apa pun.
"Elnath? Mau makan?" tanya Selma lembut namun segera dibalas dengan gelengan kepala oleh Elnath. Elnath tidak butuh makanan untuk saat ini, ia hanya ingin istirahat sebentar saja.
"Kamu turutin aja perintah Om Dimas, ya?" pinta Selma sembari mengelus lembut rambut putranya. Selma tahu bahwa Elnath lelah, tapi ia juga tidak bisa membantah Kakaknya. Yang bisa ia lakukan hanya mengajak putranya untuk tetap patuh pada Dimas selagi hal itu tidak mencelakai mereka.
Elnath mengembuskan napasnya. Bibirnya ia paksa untuk tetap tersenyum di depan Bundanya. "Iya, Bunda. Elnath mau istirahat, sebentar aja."
Selma mengangguk, membiarkan Elnath segera pergi dari hadapannya. Sejujurnya Selma merasa kasihan pada putranya. Tapi ia juga tidak bisa berbuat banyak, bahkan ketika umurnya sudah tidak muda lagi, Kakaknya itu masih suka melakukan hal sesukanya. Hidup Selma pernah bahagia saat menikah dan tidak tinggal bersama Dimas. Tapi kini semuanya kembali buruk setelah almarhum suaminya mempercayakan semuanya pada Dimas karena memang almarhum suaminya merupakan putra semata wayang dan kedua orang tuanya juga sudah meninggal bahkan semenjak Andrew masih muda. Mungkin beban yang pernah ditanggung oleh Andrew sewaktu muda seolah terjadi kembali pada Elnath. Bedanya, Elnath masih punya Selma sebagai penyemangatnya.
Selma akan selalu melindungi putranya, apalagi dari Dimas yang mungkin sewaktu-waktu bertindak kurang ajar. Mungkin untuk saat ini Selma masih diam. Tapi besok jika semuanya sudah kelewatan batas, Selma tidak akan bisa diam lagi. Ia bisa mengusir Dimas dari rumah ini sekalipun Dimas marah padanya dan menyangkut-pautkan bahwa Selma telah durhaka pada Kakaknya sendiri.
***
To be continued...
Sebelum lanjut, yuk kenalan dulu sama Velyn!
Jangan lupa share cerita ini kalau kalian suka, thank u!💛💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazelnath
Teen FictionBukan mengenai Hazelnut, jenis kacang-kacangan yang tergolong dalam spesies Filbert. Tapi mengenai Hazelnath, dua anak manusia yang diciptakan dan dipersatukan dengan karakter yang sangat berbeda. Hazel tidak bisa hidup dengan tenang tanpa harta, po...