Saat jam istirahat pertama, Elnath tidak lagi menatap layar laptopnya seperti sebelum-sebelumnya. Setelah sedikit memohon-mohon pada Om Dimas, akhirnya laki-laki tua itu meringankan pekerjaannya. Bahkan tidak disangka-sangka lagi bahwa Om Dimas memerintahkan teman kepercayaannya untuk membimbing sekaligus membantu Elnath selagi dirinya masih dirawat. Memang Elnath pantas mendapatkan semua ini setelah melawan gengsi setengah mati untuk memohon seperti itu. Jika saja hasil yang ia dapatkan buruk, Elnath bersumpah akan berhenti membayar biaya rumah sakit laki-laki itu.
"Ini, tuan. Cuma demi lo gue rela dorong orang-orang supaya gue yang dapet duluan."
Elnath meraih dengan ringan uluran kantong plastik yang diberikan oleh Beno. "Udah semua?"
Beno bersandar pada tembok dibelakangnya, salah satu tangannya memegang dada sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan. "Gue rasa, gue mau mati," ucapnya pelan saat merasa bahwa ia mulai bernapas manual.
Elnath tidak peduli pada laki-laki itu, justru ia bersidekap dada bak seorang boss yang menunggu anak buahnya. Senyum kecil terukir di bibirnya saat Jack berlarian seperti orang gila mendekati mereka.
"Nih!" Jack mengulurkan sebuah kantong plastik dengan tangan bergemetar. Demi apapun, Jack tidak bohong sama sekali bahwa jantungnya berdegup benar-benar kencang. Bukan karena ia sedang jatuh cinta, tapi karena berlarian ke segala penjuru kantin yang ada di sekolah ini untuk menyelesaikan tugas dari Elnath.
"Udah semua?"
"Udah," jawab mereka serempak.
"Nggak mungkin ada stock lagi?"
Beno menggeleng. "Cuma itu, udah gue tanya sama penjualnya."
Elnath mengangguk-angguk mengerti, ternyata mereka berdua ada gunanya juga. Tanpa mengucapkan apa pun, Elnath berjalan meninggalkan Jack dan Beno yang melotot tidak percaya dengan respon Elnath. Apa ini yang mereka dapatkan setelah hampir meninggal hanya untuk membantu Elnath?
"Lo bener-bener nggak tau terima kasih!!" teriak Jack tidak terima.
Beno mengangguk bodoh di sebelahnya. "Iya betul!"
"Napas gue hampir habis gara-gara lo!" Lagi, Jack berteriak-teriak hingga menyita perhatian siswa/siswi di sekelilingnya.
"Iya betul!!"
"Gue mau hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih!!"
Beno yang tadi masih lunglai sampai-sampai tembok harus membantunya menopang tubuh tiba-tiba saja melompat berdiri di sebelah Jack. "Iya betul!!!" teriaknya kencang.
Elnath tertawa pelan mendengar teriakan mereka. Urusan mereka bisa diselesaikan nanti, sekarang yang paling penting adalah Hazel. Derap langkahnya penuh keyakinan berjalan menuju kelas Hazel, ia sudah mendapat informasi dari beberapa teman Hazel bahwa gadis itu katanya tidak ingin ke kantin. Siapa yang peduli jika Hazel berpacaran dengan Gwen? Elnath tetap akan menemuinya, menganggap bahwa hubungan itu tidak pernah ada.
Tubuh Elnath berdiri tegak menghalangi pintu kelas Hazel. Tatapannya mengedar ke seluruh sudut kelas, membuat orang-orang yang menyadari keberadaannya segera pergi karena paham dengan instruksi Elnath. Setelah kelas itu sepi, Elnath masuk menghampiri Hazel yang menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan. Tanpa ragu tangannya terulur menyentuh kepala Hazel.
"Gwen? Udah dap—"
Ucapan Hazel seketika terhenti saat bukan Gwen yang ia temukan. Elnath duduk tepat di sebelahnya, melemparkan senyum paling manis yang pernah Hazel lihat. Bolehkah Hazel meleleh? Seperti ada sesuatu yang berdebat di dalam kepalanya, antara boleh atau tidak. Tapi kali ini jawabannya tidak, Hazel akhirnya meneguhkan diri untuk kuat pada pendiriannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazelnath
Teen FictionBukan mengenai Hazelnut, jenis kacang-kacangan yang tergolong dalam spesies Filbert. Tapi mengenai Hazelnath, dua anak manusia yang diciptakan dan dipersatukan dengan karakter yang sangat berbeda. Hazel tidak bisa hidup dengan tenang tanpa harta, po...