Hazel berjongkok seperti anak hilang di halte dekat sekolahnya. Sudah beberapa jam dia berada di halte sampai membuatnya bosan dan lelah. Dari duduk, berdiri tegak, bersandar pada tiang, berdiri membungkuk, kemudian berjongkok sudah Hazel lakukan. Elnath sudah pulang sedari tadi, ia menolak ajakan pulang bersama Elnath karena berniat pulang dengan Hakan. Suatu kesialan untuknya, Hakan ternyata sudah pulang lebih dulu. Ingin naik angkutan umum namun saku Hazel kosong, jika bisa diedit mungkin sakunya sudah berisi sarang laba-laba.
Hazel menatap lesu layar ponselnya yang gelap, benda pipih itu benar-benar tidak berfungsi sekarang. Hazel berharap, ada pintu kemana saja didekatnya saat ini. "Sial banget," keluhnya hampir menangis.
"Apa gue jalan aja?" tanyanya pada diri sendiri. "Tapi jauh, bisa berotot kaki cantik gue."
"Ojeknya, Kak?"
Pandangan Hazel yang semula menunduk sontak menatap lurus ke depan. Beberapa langkah di depannya, Gwen tampak tersenyum manis di atas motornya. "Gwen? Lo baru pulang?"
Gwen mengangguk membenarkan, ia menyugar rambutnya yang berantakan karena sudah sedikit lebih panjang. "Baru selesai kumpul ekskul futsal."
"Lo sendiri ngapain masih di sini?" Gwen mulai turun dari motornya dan berjalan mendekati Hazel yang masih berjongkok. Laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk Hazel. "Ayo berdiri!"
Hazel menyambut uluran tangan Gwen. "Gwen, gue boleh minta tolong nggak?"
Gwen menyunggingkan senyum tipis. "Boleh."
"Tolong teleponin Elnath atau Hakan, suruh jemput gue di sini," pinta Hazel memelas, gadis itu memperlihatkan kondisi ponselnya pada Gwen. "Lihat, ini kehabisan daya baterai."
"Gue nggak punya nomor mereka, mending pulang sama gue."
Sekarang pikiran gadis itu berbelit rumit, benar-benar ragu dengan keputusan yang harus diambil. Sebenarnya ia enggan menerima ajakan Gwen, tapi Hazel sendiri tidak hafal dengan nomor Elnath atau Hakan.
"Gimana? Mau?" tanya Gwen menyadarkan lamunan Hazel.
Kepala Hazel menengok ke segala arah, untuk memastikan bahwa ada keajaiban yang membawa salah satu dari dua laki-laki kesayangannya tiba-tiba menjemputnya. Kenyataan tidak semanis bayangan, jalanan pada area sekolah benar-benar sunyi. Kini matanya menatap mata Gwen yang tampak penuh harap, dan dengan terpaksa akhirnya Hazel mengangguk.
Gwen menarik pergelangan tangan Hazel mendekati motornya. Setelah mereka berdua duduk dengan nyaman, Gwen mulai melajukan motornya dibantu dengan arahan Hazel menuju jalan rumahnya. Setelah menempuh perjalanan yang agak lama sebab Gwen melajukan motornya dengan lamban, akhirnya motor Gwen berhenti tepat di depan rumah Oma Zeeti.
"Lo sekarang tinggal di sini?" tanya Gwen sembari memperhatikan rumah sederhana itu.
Hazel menautkan kedua tangannya, kepalanya mengangguk-angguk. "Iya, ngekos disini."
"Lo tau ada restaurant baru di deket
lavlavela cafe?" tanya Gwen mengalihkan pembicaraan yang mungkin akan membuat Hazel sedih."Tau," jawab Hazel sekenanya.
Bagaimana bisa ia tidak tahu? Orang-orang dikelasnya tidak pernah berhenti membicarakan tempat makan yang sudah mempunyai beberapa cabang yang tersebar di beberapa kota besar. Katanya makanan di sana enak dan yang paling penting interior di dalamnya keren. Bahkan banyak yang menerka-nerka, restaurant itu akan mengalahkan lavlavela cafe. Apa pedulinya Hazel masalah persaingan itu?
"Jam tujuh nanti, mau kesana bareng gue?" tanya Gwen hati-hati.
Hazel masih diam, menimang-nimang keputusan apa yang harus ia ambil. Diam di rumah terus sudah pasti membuatnya bosan. Hakan dan Elnath pasti sibuk bekerja seperti sebelum-sebelumnya, dan hal ini membuat Hazel sedikit tertarik dengan tawaran Gwen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazelnath
Teen FictionBukan mengenai Hazelnut, jenis kacang-kacangan yang tergolong dalam spesies Filbert. Tapi mengenai Hazelnath, dua anak manusia yang diciptakan dan dipersatukan dengan karakter yang sangat berbeda. Hazel tidak bisa hidup dengan tenang tanpa harta, po...