Keesokan harinya
"Yang Mulia."
Victoria menoleh dan melihat Betty datang dengan wajah cemas. Pelayannya mendekat dengan nampan di tangan. Betty menaruh nampan lalu mendekati Victoria yang duduk di tepi ranjang. Penampilannya tampak kacau. Wajahnya pucat. Terdapat lingkaran gelap di bawah mata dan rambutnya berantakan. Sungguh tak terlihat sebagai sosok seorang ratu.
"Kau harus makan, Yang Mulia. Kudengar anda tak mau makan kemarin."
"Aku tak lapar..." sahut Victoria lirih.
Betty menatapnya dengan pedih. Tak tega rasanya melihat majikannya kini. "Tapi anda harus mengisi tenagamu. Bagaimana jika anda minum susu saja dulu?"
Victoria tak menjawab. Air mata kembali menetes jatuh. "Apa hukuman mati akan segera berlangsung?"
Betty terdiam. "Yang Mulia...."
"Jawab aku, Betty."
Betty menelan ludah. "Y...ya...hukuman mati....akan dilaksanakan di luar istana...."
"Agar warga desa bisa melihat bukti kekejaman James?!" sahut Victoria dengan nada sinis.
"Yang Mulia....."
"Aku tak bisa menemuinya untuk terakhir kali....aku tak bisa minta maaf padanya.....aku tak bisa mengatakan bahwa aku sayang padanya...."tangis Victoria pecah.
"Yang Mulia!" ujar Betty memeluknya. Hatinya ikut pedih mendengar kesedihan sang ratu. Dibiarkannya Victoria menangis dalam pelukannya. "Anda harus tegar. Ini bukan salah Yang Mulia...."
"Kalau saja waktu itu aku tak penasaran dan naik...pasti ibu masih baik saja sekarang. Hidup tanpa mengenalku....."
"Tidak, jangan berkata begitu, Yang Mulia. Hal ini pasti akan terjadi walaupun anda tidak menemuinya. Aku tahu bagaimana Yang Mulia Raja membenci ibunya."
"James sungguh tak punya perasaan...." gumam Victoria gemetar lalu ia terkulai lemas di pelukan Betty.
"Yang Mulia!!" seru Betty saat sang ratu menindih tubuhnya yang mungil. Ia menyadari majikannya pingsan. "Yang Mulia!!!"
"PENJAGA!!!!" teriak Betty panik.
Dalam waktu cepat, pintu di buka dan muncul dua orang prajurit. "Ada apa?!"
"Panggilkan tabib! Yang Mulia Ratu tak sadarkan diri!!" pinta Betty.
Seorang prajurit segera melangkah pergi mencari tabib istana sementara prajurit satu lagi membantu Betty membaringkan Victoria.
"Oh Yang Mulia...." gumam Betty sambil meraih lap basah dan mengusap wajah pucat Victoria.
Tak lama kemudian sang tabib istana pun datang. Pria tua itu masuk dengan langkah bergegas.
"Oh kau sudah datang. Yang Mulia tak sadarkan diri."
"Ijinkan aku memeriksanya." ujar tabib
Betty pun berdiri dan menepi. Memberi akses bagi sang tabib untuk memeriksa keadaan Victoria. Sang pelayan berdiri dengan panik di ujung tempat tidur. Memperhatikan pria tua itu mengecek kondisi majikannya.
Beberapa menit kemudian sang tabib menegakkan tubuhnya dan menatap Betty yang membalas dengan sorot mata bertanya. "Yang Mulia Ratu kelelahan. Ia harus banyak rehat dan makan."
"Kemarin Yang Mulia tak menyentuh makanannya."
"Karena itulah ia kehilangan tenaga. Aku akan memberi resep obat agar segera di buat dan di minum saat Yang Mulia siuman nanti."
Betty mengangguk mengerti. "Baiklah."
-----------
Tiga hari telah berlalu. Kondisi Victoria semakin membaik. Namun ia lebih banyak diam. Betty yang selalu menemaninya tahu bahwa Victoria masih sedih dengan kepergian Arabella. Betty memperhatikan majikannya yang semakin berubah. Dulu sang ratu adalah sosok yang cantik dan riang. Senyum selalu menghiasi wajahnya, hingga kehadiran James bersama pasukannya. Ya, kedatangan pria itu mengubah hidup Victoria. Menghancurkan hidup Victoria. Menghapus rona bahagia yang ada di wajahnya. Betty sangat membenci James. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanyalah seorang pelayan. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendampingi dan membantu Victoria.
Betty baru saja membantu Victoria menyantap makan siangnya ketika terdengar suara kunci pintu di buka. Refleks ke dua wanita itu menoleh ke arah pintu.
"Charles...."
"Selamat siang, Victoria." sahut Charles berjalan masuk. "Kau terlihat lebih baik."
"Terima kasih. Bagaimana kabarmu?"
"Baik...." gumam Charles datar. "Ya, sangat baik seperti biasa...."
"Duduklah."ujar Victoria. "Apa kau mau minum?"
"Tidak usah. Aku baru saja makan siang."ucap Charles.
"Oh....baiklah...." sahut Victoria.
Mereka pun terdiam. Victoria ingin menanyakan sesuatu namun mulutnya kembali terkatup. Ia merasa ragu.
"Apa kau ingin menanyakan perihal kakakku dan selirnya?" tanya Charles melihat sang ratu. Victoria menatapnya dengan mata membulat. "Kakakku baik saja, seperti biasa. Dan selirnya....kandungannya semakin membesar....."
"Oh...." gumam Victoria.
Charles terkekeh. "Victoria....Victoria.... Setelah apa yang kakakku lakukan padamu, apa kau masih mengharapkannya?!"
"Apa maksudmu?"
"Pria itu sudah termakan jebakan. Percaya bahwa dirimu pengkhianat. Bagaimana bisa seorang pria yang mencintai istrinya, bisa dengan begitu mudah percaya hal itu? Dasar pria bodoh!" maki Charles.
Victoria terkejut melihat emosi adik iparnya. "Charles, maafkan aku....aku...."
"Ini bukan salahmu, Vic. Kakakku yang terlalu bodoh dan orang yang menjebakmu juga orang bodoh...."
"Apa maksudmu? Kau sudah tahu siapa dalangnya?!"
Charles tersenyum miring. "Tentu saja. Ia telah membuat ibuku mati, dan ia harus menebusnya...."ucapnya geram.
"Siapa?" tanya Victoria dengan nada gemetar.
"Biarkan aku yang mengurusnya. Jangan sampai namamu terbawa, Victoria."
"Tapi aku harus tahu nama pelakunya!"
Charles menggeleng. "Sekarang belum saatnya. Aku masih ingin menyelidiki beberapa hal." ujarnya. Victoria tampak kecewa. "Aku datang kemari atas perintah kakakku."
"Apa maunya?!"
Charles menarik napas. "Seharusnya ini tugas anggota dewan. Tapi entahlah, James yang memerintahku. Ini mengenai masa tahananmu, Victoria."
Victoria merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia memegang tepi gaunnya hingga kencang. Wajahnya pun terlihat tegang.
"James memberimu dua pilihan. Pilihan yang pertama, kau akan menjalani hukuman tahanan selama lima tahun. Pilihan ke dua, kau akan bebas jika mengakui kesalahanmu dan berjanji tak akan berulah kembali." ujar Charles dengan nada enggan.
"Apa?! Pilihan hukuman macam apa itu?!!!"
"Aku juga tak mengerti. Ini pilihan yang di pilih kakakku."
"Aku tak mau mengakui perbuatan yang tidak aku lakukan! Aku juga tak sudi di kurung terus, Charles!" seru Victoria keras dan tegas. "Aku tak bersalah. Aku tak pernah merencanakan pemberontakan!"
"Aku tahu, Victoria." sahut Charles. "Aku percaya padamu."
Victoria terdiam seraya menghela napas. Ia memijat dahinya. "Terima kasih. Kau dan Simon begitu percaya padaku...hanya ia yang tak percaya padaku...."
"Jangan sedih. Pria itu tak pantas untukmu! Sungguh keterlaluan sikap James padamu!" tukas Charles kesal. "James memberimu waktu untuk berpikir, Victoria. Aku akan kembali lagi setelah kau sudah memutuskan."
"Ya....."
"Aku undur diri dulu. Jaga dirimu."
"Kau juga, Charles."
Victoria menatap kepergian Charles hingga pintu tertutup dan di kunci. Ia menghela napas. "Apa yang harus aku pilih? Ke dua pilihan itu merugikan diriku...."
"Yang Mulia...." gumam Betty mendekat.
Victoria mendongak pada pelayannya. "Bagaimana menurutmu?"
"Dua pilihan yang sangat sulit. Dua pilihan yang tidak menguntungkan bagi anda."
Victoria menarik napas. "Ya, aku tahu. Apapun yang aku pilih, aku tetap menjadi tersangka dalam pemberontakan....."
"Maaf jika aku berkata tak pantas. Jika aku menjadi anda, aku akan memilih pilihan ke dua. Dengan demikian anda bisa bebas dan menyelidiki siapa yang menjebak anda. Siapa dalang di balik semua ini...."
Victoria menatap pelayannya. "Dan aku harus memohon maaf pada James?!" desisnya dengan nada getir.
"Hanya itu satu-satunya cara, Yang Mulia. Aku tahu cara ini sangat sulit bagi anda. Tapi hanya itu cara agar anda bisa bebas dan menyelidiki hal ini. Pilihan pertama membuat ruang gerak anda terbatas."
Victoria menarik napas. Tak sudi rasanya jika ia harus mengaku salah dan minta maaf atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Tapi di sisi lain, ia ingin menangkap siapa yang telah menjebaknya. Ia ingin membalas dendam demi Arabella.
"Aku akan melakukannya. Aku akan mencari siapa dalang di balik semua ini. Aku akan balas dendam, demi ibu...." desis Victoria. "Aku akan membunuh siapapun pelakunya...."
"Baik, Yang Mulia. Ijinkan aku untuk membantumu."
"Jangan! Aku tak mau melibatkanmu ke dalam masalah ini."
"Tak masalah bagiku, Yang Mulia. Kita sudah bersama sejak kecil. Anda sudah seperti keluargaku. Masalah Yang Mulia adalah masalahku juga. Kumohon, ijinkan aku. Aku janji akan hati-hati dalam bertindak!" pinta Betty.
Victoria menatapnya. "Betty...kau yakin? Kau tentu paham apa resikonya?!"
"Aku tahu. Dan aku siap, Yang Mulia!"
"Walaupun aku melarangmu, kau tetap akan bersikeras dengan keputusanmu kan?!" ujar Victoria tertawa kecil.
Betty ikut tertawa. "Anda memahamiku...."
"Terima kasih, Betty. Kau begitu baik." gumam Victoria mendekat dan memegang tangan Betty. "Aku tak tahu bagaimana jika tak ada dirimu..."
"Kalau begitu anda sangat beruntung karena ada aku."
Victoria tertawa. "Aku akan memberimu tugas pertama."gumamnya. Betty mengangguk dengan wajah serius. Victoria pun mendekat dan membisikkan ke telinga Betty yang kembali mengangguk mengerti.
----------
Malam sudah tiba. Langit berubah menjadi gelap dan bintang mulai bermunculan. Memberi sedikit cahaya yang berkelip. Victoria berdiri di jendela. Menatap langit gelap dihiasi ribuan kilauan bintang. Malam yang gelap membuat Victoria teringat dengan Arabella. Mulutnya tersenyum kecil mengenang kenekatannya untuk pergi ke menara diam-diam.
"Ibu...aku tahu kau ada di atas sana. Apa ibu mendengar suaraku? Aku rindu padamu. Aku rindu berbincang denganmu. Aku rindu suaramu..... Rehatlah dengan tenang di atas sana. Aku akan membalas kematianmu, bu. Aku akan mencari pelakunya...." gumam Victoria.
Victoria menoleh saat terdengar suara ketukan pelan di pintu. Ia menutup tirai jendela dan membalikkan badan. Tepat pada saat pintu terbuka dan seseorang masuk yang langsung berlutut dengan wajah sendu.
"Yang Mulia, maafkan aku."
"Oh Oliver, bangunlah."ujar Victoria mendekati ksatria yang berlutut setelah menutup pintu.
"Maafkan aku karena sudah lalai dalam tugasku. Aku gagal sebagai pengawal Yang Mulia."ujar Oliver dengan nada bersalah.
"Ini bukan salahmu, Oliver. Tak ada yang salah di sini. Kita semua menjadi korban. Ada pihak yang lebih lihai dari kita."ujar Victoria. "Kumohon, berdirilah...."Perintahnya.
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik saja."
"Oliver, tentu kau sudah tahu kalau raja memberi aku pilihan sehubungan dengan tuduhan yang dijatuhkan kepadaku?!"
"Ya, Yang Mulia."
"Aku akan mengakui kesalahanku." tegas Victoria.
Oliver melongo menatap sang ratu. "Anda....anda yakin?"
Victoria mengangguk. "Saat aku bebas, aku akan mencari dalang semua ini. Dan aku butuh bantuanmu. Maukah kau membantuku?"
"Dengan segenap hati dan jiwa, aku siap membantu anda, Yang Mulia!"
Victoria tersenyum mengangguk. Ia tahu Oliver pasti akan membantunya. Ksatria yang sudah setia mengikuti Arabella itu juga pasti mengalami kesedihan dan kepedihan yang sama dengan dirinya. Ia pun mendekat dan memberi tugas pertama pada Oliver.Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)
FantasíaSekuel The Exileed Queen Di hari ulang tahunnya yang ke 19 tahun, putri Victoria mengadakan pesta untuk mencari calon pendamping hidupnya. Tapi siapa sangka hari istimewanya menjadi bencana bagi Putri Victoria. Istana tempat tinggalnya mengalami pe...