28

1.3K 121 28
                                    

Keputusan yang di ambil oleh Victoria menyebar dengan cepat di kalangan istana. Hari ini sang ratu akan bebas dari masa tahanan kamar. Tanpa ia duga, James mendatangi dirinya. Pria itu berdiri dengan wajah dinginnya seperti biasa. Sementara Victoria masih terdiam karena terkejut. Suara di belakangnya menyadarkan sang ratu.

"Silakan duduk, Yang Mulia." ujar Victoria. "Betty, siapkan secangkir teh."

Betty mengangguk. Victoria pun mendekat dan duduk di hadapan James dengan berat hati. Dan ia memilih untuk menatap ke arah lain. Mengabaikan James. Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara Betty yang menyiapkan teh untuk majikannya. Denting teko menyentuh cangkir terdengar begitu nyaring. Nyaris membuat Victoria terlonjak kaget.

"Silakan, Yang Mulia." ujar Betty menaruh dua cangkir teh di hadapan Victoria dan James. Lalu ia undur diri dari ruang tidur majikannya untuk memberi ruang bagi mereka.

"Minumlah. Aku tidak menaruh racun di dalamnya." ujar Victoria dengan nada dingin. Ia meraih cangkir dan menyesap minumannya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya James.

Victoria melirik dari balik cangkir. Ia menaruh cangkir. "Kau bisa melihat bagaimana keadaanku sendiri bukan?!" tanyanya balik.

James menyeringai. "Kau terlihat sehat."

"Ya. Syukurlah ragaku masih sehat, begitu pula dengan jiwaku, mengingat apa yang sudah kau lakukan terhadap ibu mertuaku." tukas Victoria tenang.

James tetap bersikap datar mendengar sindiran Victoria, seakan ia sama sekali tak bersalah.

"Kau tega...."geram Victoria.

"Apa kau pikir aku akan diam saja mengetahui ada yang ingin mengkhianatiku?!"

"Kenapa kau tak percaya padaku? Aku tak berbuat apapun. Aku dan ibumu tak pernah membuat rencana untuk melawanmu!"

"Jangan membantah lagi. Semua bukti mengarah padamu."

Victoria mendengus kesal. "Dan kau lebih percaya pada jebakan itu? Aku sungguh kecewa denganmu, James. Kau lebih percaya orang luar daripada istrimu..."ujarnya pedih.

"Bagaimana aku bisa percaya jika diam-diam kau selalu mendatangi menara?! Kau sudah melanggar perintahku, Victoria!"

"Arabella adalah ibumu, James! Dan alasan kau menahannya sangat tak masuk akal!!!"

James memukul meja. Menimbulkan suara keras dan cangkir terjatuh ke lantai. Teh dalam cangkir pun membasahi permadani merah. Wajah James merah padam karena marah.

Victoria sendiri merasa sangat kaget. Hatinya memaki karena ia kembali salah bicara. Topik mengenai Arabella sungguh sangat sensitif bagi James. Dan ia kelepasan bicara.

"Lancang kau! Kau tak tahu apapun!!!"

"Kenapa kau tak bisa menerima semua ini?"

James mengerang seraya berdiri. "Aku kemari bukan untuk membahas wanita itu!!"

Victoria menarik napas. "Baik. Jadi, apa tujuanmu kemari? Karena rindu padaku?! Tidak mungkin bukan?! Apa maumu?"tanyanya.

"Aku sudah mendengar keputusanmu yang berani. Berterimakasihlah karena aku tidak akan meminta mengakui semua kesalahanmu di hadapan dewan." ujar James menyeringai licik.

Victoria mencoba menenangkan diri. Biarpun ia tidak perlu berbicara di depan dewan, nama baiknya tetap tercoreng. Ia akan di ingat sebagai pelaku pengkhianatan. Kenyataan itu membuatnya semakin bertekad untuk mencari dalangnya.

"Dan jangan berani bermain di belakangku lagi, Victoria. Aku akan mengawasimu." tegas James yang lalu membalikkan badan menuju pintu.

"Baik, terima kasih atas kebaikanmu, Yang Mulia." sahut Victoria dingin.


-----------


Hal yang pertama Victoria lakukan saat keluar setelah di tahan adalah mencari Oliver dan meminta mengantarnya menuju tempat peristirahatan Arabella. Dalam waktu singkat pria tua itu menyiapkan empat ekor kuda untuknya, Victoria, Betty dan salah satu anak buah Oliver. Mereka pun berkuda ke area yang terletak di bagian belakang istana.

Ke empat kuda itu melewati jalan setapak dengan rumput liar di kiri dan kanan jalan. Angin bertiup cukup kencang sore itu, membuat Victoria merapatkan jubah berkudanya. Perjalanan mereka tak memakan waktu lama karena letak pemakaman istana yang dekat.

Victoria melihat sebuah lahan luas dengan pintu gerbang serta dinding batu rendah mengelilingi tempat pemakaman tersebut. Melindungi deretan rapi batu nisan milik para leluhur istana. Anak buah Oliver memacu kudanya berlari lebih dulu. Lalu turun setelah sampai dan membuka pintu gerbang lebih dulu.

"Tak ada penjaga di sini?" tanya Betty merasa aneh karena di istana, di manapun ia berada akan menemukan banyak prajurit yang berjaga. Sedangkan di sini begitu sepi.

"Di sini tak ada benda berharga, Betty. Jadi kurasa James tak mau repot-repot anak buahnya untuk berjaga." tukas Victoria. Betty mengangguk mengerti.

Mereka pun mengarahkan kudanya untuk berhenti di depan pintu gerbang. Turun dari kuda dan menyerahkan tali pelana pada anak buah Oliver.

"Jaga kuda ini sementara kami ke dalam." pinta Oliver.

"Baik!" sahut pria muda itu.

"Mari, Yang Mulia." ujar Oliver mempersilakan Victoria dam Betty melangkah lebih dulu.

Victoria mengangguk dan berjalan masuk. Sepatunya menginjak rumput, menimbulkan suara gemerisik. Ia melewati deretan terdepan makam dan membaca nama di batu nisan. "Di mana makam ibu?" tanyanya.

"Di sebelah kanan ujung sana, Yang Mulia." sahut Oliver seraya menunjuk.

Victoria kembali mengangguk dan melangkah ke arah yang di tunjuk sang ksatria. Semakin dekat, ia merasa dadanya semakin sesak. Rasa rindu begitu memenuhi relung hatinya. Tanpa sadar air mata pun menggenang di manik matanya. Ia menoleh ketika merasakan tangan Betty menggenggam tangannya. Betty tersenyum kecil padanya seraya meremas, memberi kekuatan baginya. Sang ratu membalas tersenyum.

"Di sinilah tempat Yang Mulia istirahat." gumam Oliver ketika sudah tiba di depan makam Arabella. Wajahnya berubah menjadi suram dan nada suaranya bergetar.

Victoria menatap batu nisan yang terlihat masih baru dan kokoh. Nama Arabella pun tercetak jelas di sana. Ia tak kuat dan segera terisak seraya berlutut.

"Ibu....." isak Victoria. "Aku datang, bu....."

"Aku tak akan bisa melihatmu lagi.....tak bisa berbincang denganmu lagi....oh ibu...."ujarnya seraya menangis. "Maafkan aku. Aku gagal untuk menyelamatkanmu. Andai saja dulu aku tidak pernah naik ke menara....."

Betty ikut merasa pedih. Ia mendekat dan berlutut di samping Victoria. "Yang Mulia....kuatkan hatimu...."

Victoria memeluk Betty. "Oh Betty.....aku tak tahu lagi harus bagaimana....ia sudah seperti ibuku. Kini aku sendirian...."

"Tidak. Yang Mulia tidak sendirian. Ada aku, Yang Mulia."sahut Betty mengusap punggung Victoria. "Aku akan membantu dan mendukungmu."bisiknya.

Beberapa saat ke dua wanita itu berlutut seraya menangis. Saat Victoria sudah mulai tenang, Betty mengajaknya untuk berdiri.

"Yang Mulia, terima kasih karena anda sudah menjadi teman bicaranya selama ini. Aku yakin majikanku tidak menyesal karena pertemuan kalian. Sejak kunjungan anda, aku melihat rona bahagia kembali bersinar di wajah Yang Mulia Ratu Arabella. Beliau terlihat lebih hidup dan semangat."ujar Oliver.

"Apa selama ini tak pernah ada yang mengunjunginya?" tanya Betty.

Oliver menggeleng. "Semua takut untuk melanggar perintah Yang Mulia Raja."

"Kecuali kau dan Yang Mulia Ratu."ujar Betty.

"Charles dan Simon pun tak berani untuk....."

Oliver menggeleng.

"Oh....ibu pasti kesepian...." lirih Victoria.

"Tapi kini beliau sudah bersama alm suaminya kembali." ujar Betty. Ia menatap batu nisan Arabella. "Yang Mulia, istirahatlah dengan tenang. Aku akan menjaga Yang Mulia Ratu Victoria....."

Victoria tersenyum kecil. "Terima kasih, Betty....sudah waktunya kembali ke istana."


"Kita harus segera mencari dalang di balik semua ini." ujar Victoria saat mereka berkuda kemarin menuju istana.

"Saya akan menyelidiki masalah ini secara diam-diam, Yang Mulia."

Victoria mengangguk. "Kau harus hati-hati, Oliver.  Jangan sampai ketahuan. Jangan sampai ada yang tahu bahwa kita sedang menyelidiki hal ini, termasuk Pangeran Charles." ujarnya yang kemudian menceritakan pertemuan dan pembicaraan mereka.

"Jadi pangeran sudah mencurigai seseorang..." gumam Oliver setelah selesai mendengar sang ratu.

"Ya. Kita harus tetap bersikap biasa. Aku tak mau penyelidikan ini terdengar oleh orang lain. Pangeran Charles pun tak boleh mengetahui hal ini. Aku tak mau mengambil resiko." tukas Victoria.

"Saya mengerti." sahut Oliver.

Pembicaraan pun berhenti karena mereka sudah memasuki kawasan istana. Oliver membantu Victoria dan Betty turun dari kuda. Lalu pria itu undur diri bersama empat ekor kuda dan anak buahnya.

Victoria masuk bersama pelayannya menyusuri lorong istana. Sesekali bertemu dengan para prajurit atau pelayan istana. Mereka bersikap biasa padanya. Memberi salam seraya membungkuk hormat padanya, tapi Victoria tahu sorot mata mereka berbeda kini. Ia, seorang ratu yang di tuduh pengkhianat dan kini bebas karena kebesaran hati sang raja. Hal itu membuatnya semakin membenci James.

"Apa ada sesuatu selama masa tahananku kemarin?" tanya Victoria.

"Tidak ada, Yang Mulia. Hanya kabar mengenai mendiang Ratu Arabella dan putri Amara yang semakin sibuk dengan persiapan kelahirannya." ujar Betty.

"Ah....begitu cepat waktu berlalu...."

"Apa anda ingin rehat? Aku bisa menyiapkan minuman hangat untuk anda."

Victoria menggeleng. "Tidak. Aku sudah bosan di kamar terus. Aku akan mencari udara segar di taman. Kau bisa pergi mengerjakan tugasmu, Betty."

"Anda yakin tak ingin aku temani?"

Victoria tersenyum seraya mengangguk. "Ya."

"Baiklah." sahut Betty sambil melangkah pergi dari hadapan majikannya.

Victoria menatap punggung Betty hingga menghilang. Ia menghela napas lalu berjalan menuju taman. Sinar matahari dan angin sepoi menyambutnya saat sudah di luar istana. Ia berdiri diam dan menarik napas. Menikmati aroma bunga dan rumput. Ia berjalan melintasi jalan setapak. Tangannya terulur membelai tumbuhan yang ia lewati. Victoria terus berjalan menuju arah menara.

"Yang Mulia?!"

Victoria berhenti dan menoleh. Matanya menyipit. "Putri Amara."ujarnya bertatapan dengan wajah Amara yang tampak sedikit terkejut.

Amara membungkuk padanya. "Anda sudah bebas."

"Ya."

"Syukurlah."gumam Amara.

Victoria menaikkan alis mendengar nada bicara Amara. "Apa yang kaulakukan di luar saat siang seperti ini?! Bukankah seharusnya kau rehat di dalam?" tanyanya menatap perut Amara yang sudah membesar.

"Aku...hanya ingin mencari udara segar." sahut Amara. "Bagaimana kabar anda?"

"Baik, sangat baik, seperti yang kau lihat." ujar Victoria.

Amara mengangguk pelan. "Aku sangat cemas mendengar kejadian yang menimpa anda."

"Aku baik saja..."tukas Victoria. "Ada apa? Apa ada sesuatu?" tanyanya melihat sikap Amara yang aneh.

"Ah tidak. Aku sungguh senang anda sudah bebas, Yang Mulia. Saya undur diri dulu." ujar Amara seraya pergi.

Victoria mengikuti langkah kaki putri Amara yang menjauh dengan mata tajamnya. Merasa sikapnya yang aneh. Lalu ia membalikkan badan dan kembali berjalan. Ia sungguh membutuhkan udara segar dan hiburan sejenak setelah peristiwa Arabella kemarin.






Tbc.....

Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang