31

1.2K 113 26
                                    

"Apa kau sudah menemukan petunjuk?"

Sang ksatria yang berdiri di hadapannya mendongak menatap. Matanya melihat sekitar lalu perlahan mendekat seraya membisik.

"Kau yakin?"

"Ya, Yang Mulia."

"Oliver, apa kau yakin?" tanya Victoria kembali dengan nada tak percaya serta geram.

"Saya memiliki bukti. Jika anda ingin, saya bisa memberikan bukti itu nanti." gumam Oliver.

"Siapkan dan serahkan padaku segera." ucap Victoria. "Dan tetap jalankan rencanaku."

Oliver menatapnya sekilas lalu berkata, "Saya mengerti."

"Pergilah. Dan tetap jaga dirimu."

Oliver membungkuk lalu beranjak pergi. Meninggalkan sang ratu yang masih berdiri di bagian ujung taman yang sunyi. Ia tahu pertemuan mereka sangat berbahaya. Seseorang bisa saja melihat dan mendengar mereka. Tapi Oliver sudah menempatkan anak buahnya di sekitar mereka. Victoria menarik napas. Perlahan ia melangkah.

Perang telah di mulai, batinnya. Mungkin seperti ini yang di alami ayah dulu. Semua menginginkan tahta. Semua mengharapkan status sebagai orang tertinggi dalam istana.

Victoria merasa lelah. Sejak dulu ia tak menyukai kehidupannya sebagai seorang putri raja. Dan kini sebagai seorang ratu. Tanggung jawabnya besar. Resikonya pun menjadi besar. Siapa saja pasti menginginkan kematiannya atau James.

"Sepertinya kau sudah sembuh, Yang Mulia."

Victoria terlonjak kaget. "Simon! Kau mengagetkan aku..."

Simon terkekeh. "Maafkan aku. Kenapa kau tidak rehat?"

"Aku bosan. Lagipula aku sudah sehat."

Simon menaikkan sebelah alisnya. "Kepalamu baik saja?"

"Pusing sedikit tapi tak masalah bagiku."

"Kau wanita yang kuat."

"Kau terlalu memuji."

Simon tertawa. "Tidak. Kau memang kuat. Jika wanita lain, mungkin mereka akan manja dengan berbaring di tempat tidur dan mengeluh. Kau beda dengan Amara."

Victoria menatapnya. "Ada apa dengan Amara?" tanyanya penasaran.

"Percayalah, dirimu lebih baik sebagai seorang putri dan ratu. Kau tangguh dan tegar."

"Tidak seperti Amara yang selalu mengeluh dan manja seperti saat makan?!" tanya Victoria menyeringai.

Simon tertawa. "Jadi kau tahu maksudku tadi?"

"Oh tentu saja. Siapapun bisa melihatnya setiap kita makan bersama, Simon. Tapi mungkin itu semua karena ia sedang mengandung anak James."

"Apa seperti itu sikap seorang wanita hamil? Sering mengeluh dan merengek?!"

Victoria menahan tawa melihat wajah Simon yang tampak kaget. "Ya....sikap wanita hamil bisa berubah dengan cepat. Kadang mereka bahagia, di detik berikutnya bisa menangis hanya karena hal kecil...."

"Urgh....mengerikan sekali...."

Victoria tertawa. "Sama sekali tidak mengerikan, Simon. Kau akan mengerti jika mengalaminya."

"Tidak. Jika aku harus berhadapan dengan wanita seperti Amara yang sedang hamil sekarang, lebih baik aku tak menikah...."

Victoria tertawa kembali. "Aku yakin kau akan berubah pikiran saat bertemu pilihan hatimu. Percayalah, kau akan menikmati peristiwa itu dengan istrimu nanti."

"Apa....kau juga ingin...." ucapan Simon terhenti karena ia merasa sudah melewati batas.

Victoria tersenyum kecil. "Tentu saja aku mau. Semua wanita pasti ingin memiliki anak. Tapi mungkin ini belum waktunya bagiku..."

"Maafkan aku, seharusnya aku tidak bertanya hal itu."

"Tidak apa, Simon."sahut Victoria. "Apa kau tahu sesuatu mengenai pelaku yang memanah kudaku?"

Simon menatapnya. "Kau tahu? Kakakku sangat murka mendengar kejadian itu."

"Oh benarkah?!" sahut Victoria tak percaya. Pasalnya sejak ia siuman, tak sekalipun James menjenguknya. Ia tahu tanggung jawabnya sebagai seorang raja tentu membuatnya sibuk, tapi apakah ia benar-benar tak ada waktu untuknya? Sedangkan James masih bisa menemani Amara.

"Ya. James mengutus orang untuk mencari pelakunya. Tapi orang itu bekerja dengan rapi. Kami tak menemukan petunjuk apapun."

"Jadi, kalian belum menemukannya?" tanya Victoria dengan dahi berkerut.

"Ya."

Victoria terdiam lalu mengangguk pelan. "Kurasa...sudah waktunya aku meminum obatku. Aku masuk dulu ya."

"Baiklah." ujar Simon mengangguk. Memandangi punggung sang ratu yang menjauh.



"Pangeran." sapa Amara seraya membungkuk.

"Apa yang kaulakukan sendirian di sini?"tanya Simon.

"Hanya jalan-jalan mencari udara segar. Apakah itu di larang?"

"Tidak. Hanya sangat aneh untuk dirimu yang selalu didampingi pelayan dan sekarang kau hanya sendirian."

"Aku yakin di istana sini sangat aman bagiku. Lagipula aku hanyalah seorang selir bukan?!"

Simon mendengus dan memilih diam.

"Apa yang kau bicarakan dengan Yang Mulia tadi? Kelihatannya sangat serius."

"Itu bukan urusanmu."

"Maaf kalau aku sudah lancang. Permisi."ujar Amara.


----------


"Ah selamat bergabung kembali, Yang Mulia!" sambut Charles tersenyum lebar sambil tepuk tangan saat Victoria masuk ke dalam ruang makan dan melangkah mendekat dengan anggun.

Victoria tersenyum melihat reaksi Charles yang berlebihan. Sementara James memberikan tatapan tajam kepada Charles seraya berdehem tak suka.

Charles menoleh padanya. "Kenapa? Apa kau tak senang istrimu sudah sembuh?"

"Jaga sikapmu, Charles." desis James.

"Aku sungguh bahagia kau bergabung kembali. Rasanya lebih hidup dengan Yang Mulia."

Victoria tertawa kecil. "Kau terlalu berlebihan. Dan James benar. Kau harus jaga sikapmu sebagai seorang pangeran."

"Oh ayolah....di sini hanya ada kita. Tak ada tamu kehormatan atau orang lain....eh...." ucap Charles menutup mulut sambil melirik ke arah Amara.

Amara menyadari Charles sedang menyindirnya. Ia menunduk dengan wajah merona. Tidak membantah Charles, tapi Victoria menangkap gerakan tangannya yang mengepal sebelum Amara menurunkan tangannya.

Ia sedang menahan marah, bisik Victoria dalam hati.

"Kita semua adalah keluarga." ujar Victoria.

Makan malam pun di mulai. Para pelayan masuk membawa nampan berisi hidangan malam. Para penghuni istana mulai menyantap makan malam dalam diam. Hanya terdengar suara denting alat makan.

"Aku mendapat laporan ada yang melihat sebuah kapal asing di dekat pantai." ujar Charles.

"Utus orang untuk menyelidiki." sahut James.

"Besok anak buahku akan pergi ke pantai untuk mencari tahu." kata Charles.

"Apa mereka hanya berdiam di atas kapal? Tidak turun atau mendarat ke darat sama sekali?" tanya Simon.

"Menurut penduduk kapal itu hanya diam di laut. Tidak mendekat sejak muncul tiga hari yang lalu. Para nelayan tidak berani mendekat karena tidak mengenali kapal tersebut."jelas Charles.

Victoria melihat wajah James menjadi lebih kaku dan datar. Siapapun yang berada di atas kapal itu pasti orang asing, gumamnya dalam hati. Dan apa tujuan mereka? Apakah mereka orang bajak laut? Ataukah hanya sekelompok orang yang memiliki masalah dengan kapalnya?

Perlahan Victoria mulai merasa masalah datang satu demi satu. Pelaku yang mencoba memanah kudanya saja masih berkeliaran dengan bebas di luar sana hingga kini. Dan sekarang, muncul kabar mengenai kapal asing di dekat pantai. Sekuat apapun kekuasaan James, pasti akan ada beberapa kelompok yang tidak setuju dengan tahtanya. Orang-orang itu bisa membentuk kelompok yang bisa mempunyai kekuatan yang lebih besar. Banyak orang yang membencinya. Entah sampai kapan James akan terus berkuasa. Pikiran itu membuat Victoria merinding.

"Aku akan ikut."ujar Simon tiba-tiba yang membuat semua orang menoleh padanya.

"Kurasa tidak perlu. Aku sudah memerintah pasukanku untuk menyelidiki ke pantai."ujar Charles.

"Aku akan tetap ikut. Ijinkan aku ikut, James."kata Simon memalingkan wajah dan menatap kakaknya.

James terdiam. Tampak sedang mempertimbangkan permintaan Simon. "Baiklah jika itu keinginanmu."ujarnya setelah diam beberapa saat.

"Terima kasih, kak."

"Kau yakin? Sebenarnya tanpa dirimu ikut serta pun tak akan ada masalah."kata Charles.

"Tidak apa. Aku akan tetap ikut. Bukankah James pun sudah memberi ijin?! Sudah terlalu banyak kejadian aneh belakangan ini. Aku ingin menyelidiki dan menyelesaikan semua masalah yang ada."

Perkataan Simon kembali menarik perhatian keluarganya. Termasuk Amara. Putri itu menatap Simon dengan wajah pucat.

"Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Amara gugup.

James meraih tangan Amara dan mengusapnya. "Tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja, kau tak perlu cemas. Cukup pikirkan kesehatanmu serta anak kita."

Victoria memutar bola matanya dengan perasaan muak melihat perhatian James pada Amara. Memilih untuk fokus dengan makan malamnya meski sebenarnya sudah tidak berselera.

"Kita bahas masalah ini nanti. Amara tak perlu mendengar hal ini." ujar James.

"Ah ya....aku ingat Amara sedang mengandung...tak boleh terlalu banyak pikiran agar bayinya baik saja...." gumam Charles tersenyum miring.


-------


"Keinginanmu benar-benar serius untuk ikut pergi ke pantai?" tanya Victoria keesokan harinya saat melihat Simon sudah siap bersama pasukan istana yang diutus oleh Charles untuk menyelidiki kapal asing di pantai.

"Ya. Ini demi rakyatku juga bukan?!"

Victoria menarik napas. Entah kenapa ia merasa berat melepas Simon pergi. Meski pria itu bukan pergi untuk berperang, tapi Victoria tak ingin Simon pergi. Ia tahu tidak bisa mencegah atau melarang pria muda ini. "Hati-hati."

Simon mengangguk. "Aku pergi dulu...."

"Tunggu!" cegah Victoria menahan pundak Simon.

Simon berhenti dan menoleh heran. "Ada apa?"

"Hm...aku...." gumam Victoria gugup. Lalu ia meraih sesuatu dari balik gaunnya. Tangannya melepaskan seuntai kalung dengan liontin salib kecil. Ia mendekat dan memakaikan perhiasan itu pada leher Simon. "Bawa ini. Anggap saja sebagai perlindungan..."

Simon tertawa. "Aku bukan pergi berperang, Yang Mulia."

Victoria tersenyum dengan wajah merona malu. "Aku tahu. Tapi bawalah. Kalung ini sangat berharga bagiku. Mungkin bisa membawa kemujuran juga padamu. Aku hanya tak mau terjadi sesuatu denganmu."

Simon memegang liontin salib itu seraya mengusapnya. "Terima kasih, Yang Mulia."godanya. Ia menatap Victoria. "Aku sangat beruntung bisa memiliki kakak ipar seperti dirimu. Kau wanita yang baik dan tegar. Terima kasih juga atas perhatianmu terhadap mendiang ibuku...."

Perkataan Simon membuat Victoria tersentuh sekaligus sedih. Kenangan Arabella kembali teringat. "Aku juga beruntung bisa mempunyai adik sepertimu. Jaga dirimu, Simon."ujarnya.

Simon mengangguk. Victoria terkejut ketika melihat Simon membungkukkan badan padanya.

"Aku pamit dulu."

Victoria mengangguk. Memandangi Simon yang bergabung bersama prajurit lainnya dan mulai melangkah pergi. Sebelum jauh, Simon menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang dan melambai padanya. Sang ratu pun membalas seraya tersenyum kecil.

"Semoga tak ada masalah. Cepat kembali, Simon."bisiknya.


--------


Setelah berjalan hampir setengah hari, Simon dan pasukan prajurit istana tiba di pantai. Hari sudah siang saat mereka berhenti melangkah dan melihat sebuah kapal yang cukup besar dan masih berada di atas laut.

Simon menduga itulah kapal laut yang dicurigai para penduduk dekat pantai. Ia menyipitkan mata. Memang terasa aneh karena kapal itu hanya diam dan seperti tidak ada aktivitas apapun, apalagi kapal itu sudah dicurigai sejak beberapa hari yang lalu. Mereka kembali melanjutkan langkah dan memasuki desa nelayan. Seorang pria yang merupakan kepala desa menyambut pasukan itu.

"S..selamat datang, pangeran..."sapa kepala desa yang terkejut karena seorang pangeran ikut serta dalam penyelidikan ini.

"Terima kasih." sahut Simon mengangguk.

"Anda dan pasukan anda pasti lelah. Ijinkan saya mengantar kalian untuk rehat. Kami sudah menyiapkan hidangan sederhana untuk kalian."

Simon mengangguk. Lalu ia berjalan di samping kepala desa. "Apa kapal itu hanya diam selama ini?" tanyanya.

"Ya, Pangeran. Mereka hanya diam di dalam kapal. Tidak pernah kemari. Tidak sampai menganggu kehidupan kami tapi lama-lama para penduduk mulai resah dan gelisah. Umumnya memang ada kapal yang berhenti di laut. Entah untuk rehat atau membeli bahan di desa kami. Tapi kapal itu....hanya diam...."

Simon mengangguk. "Apa kalian pernah mendekati kapal itu?"

Kepala desa mengangguk. "Ya. Dua hari lalu seorang nelayan desa kami nekat mendekat karena penasaran. Tapi ia tidak berani makin dekat karena sebuah panah hampir menusuknya. Ia langsung melarikan diri..."

Simon mengerutkan dahi. Beberapa prajurit yang mendengar cerita kepala desa pun mulai berbisik.

"Apa yang dilakukan kapal itu? Siapa mereka?" tanya Simon.

"Apa orang desamu yang mendekat itu melihat wajah orang yang memanahnya?" tanya seorang prajurit di belakang.

"Tidak. Ia langsung melarikan diri, pangeran."

"Jangan-jangan kapal itu kapal hantu...."gumam seorang prajurit.

"Hush, Jangan bercanda. Hantu mana bisa memanah..."sahut prajurit lainnya.

"Ayo kita istirahat dulu dan membicarakan rencana ini nanti."pinta Simon.

Kepala desa dan pasukan tiba di sebuah lapangan yang sudah di pasang tenda. Para penduduk menyambut kedatangan mereka seraya membungkuk.

"Maaf sudah merepotkan penduduk desa ini karena kedatangan kami." ujar Simon melihat begitu banyak makanan dan minuman yang tersaji di meja kayu panjang.

"Sama sekali tidak, Pangeran." sahut kepala desa yang memperkenalkan diri dengan nama Peter.

Simon mengambil tempat duduk dan meraih segelas air. Meneguknya hingga habis. Sementara para prajurit pun melakukan hal yang sama. Mereka menghilangkan dahaga dan rasa lapar dengan hidangan yang lezat. Saat makan, Simon kembali menatap kapal yang terlihat dari tempatnya duduk.

"Apa anda sudah memiliki rencana?" tanya Oliver.

Simon menatapnya. "Kita tunggu hingga hari gelap dan pergi ke sana. Kuharap mereka tak akan menyadari kedatangan kita saat malam."

Oliver mengangguk setuju. "Dan sebaiknya, jumlah yang pergi ke sana jangan terlalu banyak, Pangeran. Agar tidak terlalu menarik perhatian. Saya yakin seseorang di atas kapal itu pasti berjaga."

"Aku setuju, Oliver." sahut Simon mengangguk tersenyum padanya.

"Dan sebaiknya anda tidak ikut serta saat malam nanti."

"Apa?!"

"Biarkan saya dan beberapa anak buahku yang pergi." pinta Oliver.

"Kau berani mengaturku?!"

"Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak bermaksud lancang. Anda akan lebih aman berada di sini bersama prajurit lainnya. Biarkan saya yang menjalankan tugas."ujar Oliver.

Simon mendesah. "Aku tahu maksudmu. Karena aku seorang Pangeran bukan?"

"Maafkan saya. Saya bertugas menjada anda hingga pulang dengan selamat."

"Ah....pasti Victoria yang memberi perintah padamu." tebak Simon. Oliver hanya diam. Simon tersenyum. "Aku tahu kau dan Victoria bermaksud baik. Tapi aku sudah mantap dengan keputusanku ini. Jika aku tidak pergi ke sana, percuma saja aku ikut bersama kalian."

"Pangeran..."

"Aku tetap akan ikut. Aku akan jaga diriku." tegas sang pangeran.

Oliver menarik napas. Ia tahu tak akan bisa mencegah Simon. "Saya akan melindungi anda."


-----------


Malam telah tiba. Suasana desa sudah sunyi karena sebagian penduduk sudah berada di dalam rumah. Hanya beberapa orang saja yang masih ada di luar untuk membantu prajurit istana. Setelah berunding, Simon akan pergi bersama Oliver dan lima orang prajurit. Seorang nelayan akan membantu mendayung di perahu.

Dan saat ini, Simon sudah berada di atas perahu yang akan membawanya menuju kapal asing itu. Dari tempatnya duduk, kapal itu terlihat semakin ganjil. Hanya ada sedikit cahaya dari atas kapal itu. Menandakan pasti ada orang di atasnya. Tapi siapa mereka? Dan sedang apa mereka?

Suara air terdengar gemericik saat nelayan mendayung di bantu seorang prajurit. Semakin dekat mereka mendayung semakin pelan agar suara air tidak terdengar. Simon merasa dadanya berdebar sangat cepat. Ia memberi tanda agar prajuritnya melemparkan tali.

Tek....

Tali dengan kait di ujungnya telah tertancap dalam sekali lempar. Mereka menunggu dalam diam dan tegang. Menunggu reaksi dari atas kapal. Tapi tak ada suara apapun. Hanya kesunyian serta suara ombak yang terdengar. Prajurit yang melempar tali mulai memanjat. Tiba di atas, prajurit itu memeriksa keadaan sekitar. Lalu ia menengok ke bawah dan memberi tanda keadaan aman. Oliver pun memanjat. Di susul oleh Simon dan prajurit lain. Sementara sang nelayan tetap menunggu di atas perahu.

Di atas kapal, keadaan remang-remang dan sunyi. Simon mencengkeram pedang di tangan dan meneliti sekitarnya. Kapal itu sama saja seperti kapal laut lainnya. Namun begitu sepi. Tak terlihat seseorang pun. Hingga Simon merasa takut untuk berbicara. Takut suara mereka akan terdengar dan tertangkap.

Oliver memberi tanda kepada anak buahnya. Membagi dalam dua kelompok untuk menyelidiki kapal. Mereka mengangguk mengerti dan berpisah. Simon bersama Oliver dan seorang prajurit. Sementara yang lain ke arah sebaliknya. Derap langkah mereka terdengar berderit di atas kayu kapal laut itu. Mereka menajamkan mata dan telinga untuk berjaga.

Simon sangat penasaran dengan kapal ini. Kenapa begitu sepi? Dan kenapa tak ada yang berjaga? Firasat tak enak melanda dirinya. Refleks tangannya meraih kalung dari Victoria dan mengusapnya.

Anak buah Oliver melihat sebuah pintu kayu dan memutuskan untuk memeriksa ke dalam. Simon memberi perintah agar Oliver ikut masuk. Prajurit itu membuka pintu perlahan dan masuk ke dalam bersama Oliver sementara Simon berjaga di luar.

Ketika mengawasi, Simon mendengar suara langkah kaki dan menoleh. Ia tampak kaget. "Kau...."ucapnya terhenti karena merasakan rasa sakit pada tengkuknya dan kegelapan menguasainya.



Tbc....

Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang