21

1K 113 4
                                    

Victoria menghela napas. Tangannya meraih kenop jendela dan membukanya. Membiarkan angin malam membelai wajah dan rambutnya. Dinginnya malam itu tetap tak bisa menenangkan hatinya. Suaminya sudah pergi hampir sebulan.

Semenjak kepergian James, Victoria tetap menjalankan perannya sebagai seorang ratu. Ia tahu James telah menunjuk penasihat sekaligus tangan kanannya untuk menjaga istana selama kepergian sang raja. Istana tetap tenteram dan aman meski hampir separuh pasukannya pergi. Hal itu membuktikan bahwa kekuasaan James sungguh besar. Membuatnya takjub sekaligus marah terhadap ketidakpuasan suaminya.

Manik wanita itu mendongak ke arah atas. Menatap langit dengan cahaya bintang yang menghiasi malam gelap.

"Ibu....kakak....bagaimana kabar kalian...." gumamnya pelan. Ia rindu dengan mereka.

Andai saja saat itu ia mendengarkan perkataan ibunya, dan bukan menuruti kata hatinya untuk menikah dengan James, mungkin saat ini ia tak akan merasa sakit hati. Tidak, batinnya seraya menggelengkan kepala.

Aku terpaksa menerima karena ancaman James. Aku tak ingin kami semua meninggal...Aku terpaksa meski sebenarnya aku mencintainya....ya, aku sudah mencintai pria kejam itu...

Victoria berpaling ketika matanya menangkap suatu sinar di depannya. Matanya membulat menyadari cahaya itu berasal dari menara. Sebuah cahaya terlihat dari jendela menara paling atas. Dari ruangan yang pernah ia intip dan mendapati seorang wanita tinggal di dalam sana. Dahinya berkerut. Ia masih belum menemukan jawaban siapa yang tinggal di sana.

Victoria tahu tindakannya berbahaya dan nekat. Hari sudah gelap, tapi ia tak peduli. Wanita itu meraih jubah dan memakainya. Menaikkan tudung untuk menutupi kepala lalu melangkah menuju pintu. Tangannya memutar kenop pintu dengan sangat perlahan. Ia mengenyitkan dahi saat suara deritan pintu terdengar.

Victoria berhenti sejenak. Mendengarkan suara di luar. Apakah akan ada prajurit yang datang? Beberapa menit berlalu dan hanya ada keheningan. Ia pun melongokkan kepala. Lorong di depannya sunyi dan remang-remang. Victoria tersenyum kecil. Ia bisa keluar dengan aman.

Victoria berjalan melintasi lorong. Malam itu sungguh sunyi. Ia masih ingat saat awal kepergian James, prajurit terus bersiaga di dekat ruang tidurnya. Tapi keadaan yang aman membuat mereka sedikit melonggarkan penjagaan.

Ya, siapa yang berani melawan raja keji itu, batinnya dalam hati seraya tersenyum miring.

Victoria kini sudah berada di taman. Ia tiba di sana tanpa kesulitan karena ia sudah tahu seluk beluk istana ini. Ia sengaja melewati jalan yang aman dari penjagaan prajurit. wanita itu berjalan di jalanan berbatu kerikil, menelusuri jalan setapak dan melewati rerumputan hingga tiba di menara.

Victoria mendongak. Melihat cahaya itu masih ada di atas. Ia melirik sekitarnya. Sepi. Malam itu begitu sunyi. Entah kenapa ia merasa heran karena tidak menemui seorang prajurit yang berjaga. Victoria mendekati menara. Setiap langkahnya membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Bersiap jika ada yang melihat dan menegurnya seperti saat itu. Tapi sampai tangannya menyentuh pintu, tak ada suara apapun selain desau angin malam.

Victoria membuka pintu menara dan masuk ke dalam. Kegelapan segera menyambutnya. Begitu sunyi hingga ia bisa mendengar suara debaran jantungnya. Setelah beberapa saat mata Victoria mulai terbiasa dengan kegelapan itu. Sinar bulan masuk melalui lubang dinding menara. Membantunya mencapai tangga. Dengan meraba tembok keras dan dingin, ia berhasil mencapai tangga dan mulai menaikinya satu per satu.

Mulai mencapai tingkat atas ia melihat cahaya.

Victoria sudah berada di tingkat paling atas. Matanya mengintip dari balik dinding. Ia melihat ruangan yang dulu tertutup saat mengendap kemari, kini terbuka pintunya. Memperlihatkan bagian dalam ruangan. Ia melihat sebuah meja kayu sederhana dengan kursinya terletak di sudut ruangan. Terdapat bayangan orang bergerak dengan suara gumaman.

Jantung Victoria berdetak semakin kencang. Begitu kencangnya hingga ia merasa sesak napas. Tangannya pun berkeringat dingin. Semakin dekat ia bisa mendengar percakapan di dalam ruangan.

"Oliver, kau harus melindunginya..."

"Yang Mulia..."

Victoria menahan napas. Yang Mulia, tanyanya dalam hati dengan heran. Kenapa orang di dalam menyebutnya Yang Mulia? Siapa yang berada di dalam?

"Aku tahu permintaanku sangat menyulitkan, tapi ia putraku. Meski James kejam padaku, ia tetap anakku, Oliver...."

Napas Victoria tercekat dan ia mundur selangkah membuat suara di lantai batu menara. "Oh sial..." bisiknya panik.

"Siapa di sana?!" seru suara seorang pria mendadak membuka pintu lebih lebar dengan pedang terhunus di tangannya. Membuat Victoria terkejut. Tapi pria itu lebih terkejut lagi ketika melihat sosok yang mendengar percakapannya. Wajahnya pucat seketika.

"Siapa, Oliver?"tanya sebuah suara perempuan dari dalam.

"Y..Yang Mulia..." gumam pria itu menurunkan pedangnya dengan gugup.

Victoria menahan napas melihat sosok perempuan mendekat dan berdiri di belakang pria yang ia kenali sebagai salah seorang ksatria istana. Matanya membulat melihat seorang wanita berambut putih berbalut gaun sederhana berwarna coklat. Mata wanita itu menatapnya dengan sorot mata penasaran. Meski terlihat tua tapi wanita itu tampak anggun dan elegan.

Ke dua wanita berbeda usia itu langsung bertatapan saat pria berpedang berlutut untuk menghormati Victoria. Victoria masih kaget. Tapi wanita itu tampak tenang. Perlahan bibirnya mengulum senyum dan ikut membungkuk.

"Anda pasti Yang Mulia Ratu...." ujarnya.

Victoria melihat wanita itu membungkuk padanya dengan anggun. Dari bahasa tubuhnya, Victoria tahu wanita ini bukan orang biasa. "Siapa kau?" tanyanya dengan suara bergetar.

Wanita itu kembali berdiri tegak. Memandangi Victoria dengan tenang. "Aku hanya seorang wanita."

"Tapi...kenapa kau di sini? Kenapa kau di kurung di menara ini? Dan apa yang kaulakukan bersamanya?" tanya Victoria melirik kepada sang pria.

"Jangan hukum Oliver, Yang Mulia. Ia tak bersalah."

"Siapa kau? Aku mendengar Oliver memanggilmu Yang Mulia. Katakan siapa kau atau aku akan memberimu hukuman!"

Wanita tua itu terkekeh. Membuat Victoria heran. "Apa kau mau menghukumku dengan masuk ke dalam ruangan yang sudah menjadi tempat hukuman seumur hidupku?"tanyanya seraya mengarahkan kepala ke dalam ruangan.

"Apa? Maksudmu, kau di hukum di dalam menara ini? Sebenarnya siapa kau?!" tanya Victoria mulai merasa panik karena ia hanya sendirian. Dan pria ini, ia yakin berpihak pada wanita tua itu.

"Namaku Arabella."

"Dan apa yang kau perbuat hingga di hukum?"

"Mengkhianati Yang Mulia Raja James."

Victoria menahan napas. "Apa? James?"

"Yang Mulia, maaf jika aku lancang. Tapi Yang Mulia Ratu Arabella sama sekali tak bersalah. Ia tak pernah berniat mengkhianati Yang Mulia Raja." ujar pria itu dengan suara keras.

Victoria terdiam. Dari suara sang ksatria, dia tahu pria itu berada di pihak Arabella. "Apa...kau ratu dari kerajaan ini? Kerajaan yang sudah ditaklukkan oleh James?"tanyanya. Wanita itu hanya diam. Tapi entah kenapa Victoria tahu jawabannya. Karena itulah gerakan tubuhnya berbeda dengan orang biasa.

"James sama sekali tidak merebut kerajaan ini. Bagaimanapun ia berhak sebagai ahli waris."

Jantung Victoria serasa mencelos. "Apa? Ahli waris?! Jadi kau....kau...." ujarnya terbata-bata seraya menggelengkan kepala karena tak percaya.

Arabella tersenyum. "Ya, aku ibu James."

"A..apa...kau..." gumam Victoria terbata-bata dengan wajah kaget. Ia menggelengkan kepala. "Tak mungkin..."


-------


Malam semakin larut dan gelap. Semua penghuni istana sudah berada di balik selimut. Rehat untuk kembali melanjutkan aktivitas keesokan harinya. Tapi tidak dengan tiga orang yang berada di atas menara. Suasana hening menyelimuti ruangan sempit itu. Tiga orang duduk mengelilingi satu-satunya meja.

Victoria menatap bergantian ke arah wanita yang mengakui dirinya sebagai ibu James dan pria yang ia ketahui sebagai ksatria istana namun ternyata pria itu juga melindungi ibu James, bertindak sebagai tangan kanan secara diam-diam. Ia sudah mendengar semuanya.

Victoria tak tahu haruskah ia merasa senang atau tidak. Kaget? Tentu saja ia merasa begitu saat tahu James tega menghukum ibunya. Ia tak pernah mengira menara ini berfungsi sebagai penjara, dan ibu James yang menjadi tahanannya. Kaget dan tak percaya.

Di sisi lain terpikir untuk membantu membebaskan ibu James. Apalagi saat ini James sedang pergi. Tapi hati kecilnya ragu dengan keputusannya. Ia yakin di istana ini ada banyak orang kepercayaan suaminya.

Arabella berdehem kecil. "Hapus pikiranmu untuk membebaskan aku dari sini." ujarnya yang membuat Victoria menatapnya dengan mata membulat tak percaya. "Aku tak ingin menyeretmu ke dalam masalah. Lagipula, meski aku tertahan di sini, aku masih bisa mendengar kabar mengenai ke tiga putraku."

"Melalui Oliver?" tanya Victoria melirik ke arah pria itu.

"Ya. Ia sudah mengikuti aku sejak lama."

"Melalui Oliver juga, aku tahu mengenai dirimu. Aku turut prihatin dengan ibu dan kakakmu."

Victoria terdiam. Ya, ibunya mengalami hal yang sama dengan Arabella. Ia memandangi wanita itu. Menduga usianya tak beda jauh dengan ibunya. Meski sorot matanya menyiratkan pedih dan luka tapi Arabella masih tampak cantik dan elegan.

"Apa ibu yakin tak ingin keluar dari sini?" tanya Victoria dengan suara tercekat saat memanggilnya ibu karena tak biasa dan masih kaget. Tapi bagaimanapun Arabella adalah ibu mertuanya. "James sedang pergi. Aku bisa mengaturnya. Ibu...tak layak tinggal di sini...."

Arabella tersenyum mendengar Victoria menyebutnya ibu. Rasanya sudah lama ia tidak di panggil demikian. Ia menggeleng pelan. "Tinggal lama di sini membuatku terbiasa. Aku tak ingin menyulut emosi James. Lagipula aku sudah lelah dengan segala masalah menyangkut kekuasaan...."

Victoria hanya bergumam oh lalu terdiam.

"Yang Mulia, maaf jika aku menyela, tapi sebaiknya Yang Mulia kembali ke istana. Aku tak ingin ada seseorang yang memergoki anda kemari...."

"Oliver benar, Yang Mulia."

"Panggil aku Victoria, ibu." pinta Victoria.

Arabella menatap Victoria mengatakan hal itu seperti anak kecil yang memohon. Hatinya terasa hangat. "Baiklah, Victoria. Kembalilah ke kamarmu. Benar apa kata Oliver. Oliver, maukah kau mengantarnya?"

"Baik, Yang Mulia."

Victoria berdiri sambil masih menatap Arabella. "Sampai jumpa lagi, bu..."ucapnya seraya keluar bersama Oliver yang menutup pintu lalu menguncinya.



Tbc
Utk menemani malming kalian...
Happy reading....

Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang