"Selamat pagi."
"Selamat pagi, Yang Mulia."
Victoria tersenyum mengangguk pada Charles dan duduk di kursi sebelah kanan James. Berhadapan dengan Amara.
"Bagaimana tidurmu?" tanya James.
Victoria menoleh padanya. "Tidurku sangat nyenyak, Yang Mulia. Terima kasih." gumannya tersenyum. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain dan bertemu dengan tatapan Amara. Victoria menatapnya sedetik sebelum putri itu menunduk merapikan serbet di pangkuan. Membuat Victoria mengangkat alis. Ia mengedarkan mata dan menyadari sesuatu.
"Di mana Simon?" tanya Victoria.
"Dia makan di ruangannya." sahut Charles.
"Apa ia sakit?" tanya Victoria.
"Tidak."
"Lalu kenapa ia tidak bergabung dengan kita?!"
Charles berdehem. "Hm...kurasa ia sedang menghindar seseorang..." ujarnya dingin melirik ke arah James sambil menyantap roti.
Victoria menoleh kepada James. Suaminya tampak tak peduli dengan ucapan adiknya. Sang raja terus makan seakan tak terjadi sesuatu. Dan Victoria paham dengan perkataan Charles. Pasti ada hubungannya dengan mendiang ibu, batinnya. Ia menarik napas.
"Kenapa kau tak makan?"
"Hmm?!" sahut Victoria menoleh pada James.
"Dari tadi kau hanya mengaduk buburmu."
"Oh...aku...tak terlalu lapar...." gumam Victoria.
"Kau harus makan banyak. Kau terlihat lebih kurus, Victoria." tukas James.
Victoria mengangkat alisnya. Heran dengan perhatian suaminya. "Terima kasih atas perhatianmu. Aku baik saja. Menurutku seharusnya Amaralah yang makan banyak..."sahutnya seraya melirik ke arah Amara yang merona.
"Aku sudah tak bisa makan banyak, Yang Mulia. Perutku yang semakin membesar membuatku cepat kenyang..."
"Oh baiklah....maaf karena aku tak pernah mengalami hal seperti itu...." ujar Victoria sinis.
"Tidak masalah, Yang Mulia. Aku yakin anda bisa menyusulku."
Victoria tertawa kecil. "Semoga harapanmu tak terkabul. Aku tak ingin anakku melihat dan menyadari hati ayahnya yang kejam. Lebih baik aku tak memiliki anak yang malu akan tindakan ayahnya."
James melemparkan tatapan yang menusuk kepada Victoria. Sementara itu Charles tersedak. James yang hendak marah pun jadi teralihkan.
"Charles...kau baik saja?!" tanya Victoria mendekat seraya menepuk punggung adik iparnya. Ia meraih gelas dan mengulurkan kepada Charles. "Minum dulu."
Charles mengangguk sambil menerima gelas. Ia meneguknya.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Victoria. Charles mengangguk seraya menarik napas lega. "Makanlah pelan-pelan, Charles."
Charles mendelikkan mata. "Aku tersedak karena ucapanmu tadi, Yang Mulia!"protesnya dengan nada ringan menandakan bahwa ia hanya menggoda sang ratu.
Victoria terkekeh. "Maaf....tapi itu memang kenyataan...." ujarnya kembali menyantap sarapan dengan tenang. Mengabaikan sorot mata marah dari James dan Amara yang tampak takut.
Charles hanya bisa menahan tawanya. Ia mencoba mengalihkan perhatian James dengan membicarakan masalah seputar istana. Ke dua pria itu berbicara mengenai pekerjaan mereka sementara Victoria dan Amara menyantap sarapan sambil mendengarkan.
Meski Victoria hanya seorang ratu, ia paham dengan topik yang di bahas oleh James dan Charles. Dulu ia juga sering terlibat dalam perundingan mendiang ayah dengan kakaknya. Sekilas ia melirik kepada Charles ketika mendengar pria itu bercerita telah terjadi serangan di sebuah desa dekat pantai.
James segera menyudahi percakapan itu. Memutuskan untuk berunding di ruang kerjanya setelah sarapan. Victoria mendengus pelan. Pria itu pasti merasa tahtanya terancam. Ia sendiri merasa heran, bukankah wilayah James di jaga dengan ketat. Bagaimana bisa terjadi serangan?
"Yang Mulia."
Victoria hanya diam menunduk menatap hidangan di piringnya.
"Yang Mulia!"
Victoria terlonjak kaget mendengar suara keras memanggilnya. Ia mengangkat wajah dan melongo melihat James serta Charles sudah tidak ada lagi di kursinya. Hanya ada ia dengan Amara. "Ke mana mereka?"
"Yang Mulia dan pangeran sudah selesai sarapan." ujar Amara.
"Begitukah?!" sahut Victoria heran karena tak menyadari kepergian mereka. Aku pasti melamun, batinnya.
"Anda baik saja?"
"Tentu saja aku baik-baik saja." ujar Victoria meraih serbet dan mengusap mulutnya dengan anggun.
"Aku lihat....anda seperti melamun...apa anda memikirkan sesuatu?" tanya Amara.
Victoria menatapnya. Ia tersenyum kecil. "Tidak. Apa yang harus aku pikirkan lagi jika suamiku sendiri tidak percaya dan tidak peduli padaku...aku sudah tidak memikirkan hal itu....."
"Yang Mulia, suamimu mencintaimu..."
Victoria tersenyum sinis. "Hati-hati dengan ucapanmu. Jika James memang mencintaiku, ia akan percaya padaku. Bukan mengurungku serta menghukum mati ibunya sendiri.."
Amara menelan ludah dengan gugup. "Tapi wanita itu menghasutmu...."
"Jaga bicaramu, tuan putri. Kau tidak mengenal kami. Kau sama saja dengan James." tukas Victoria dingin.
"Maafkan aku...."
Victoria menghela napas dan beranjak bangun. Pergi dari hadapan Amara. Hatinya terasa panas mendengar perkataan putri tersebut. Semua orang telah menuduhnya sebagai pengkhianat. Ia terus melangkah dengan dada sesak.
Ketika hendak menaiki tangga ke lantai atas, ia melihat punggung seseorang yang ia kenal. Victoria mengurungkan niatnya untuk pergi ke ruangannya dan menyusul sosok yang ia lihat.
"Simon."
Pria yang di panggil menoleh. "Yang Mulia." sapanya.
Victoria mengerutkan dahi melihat wajah Simon. Raut wajahnya begitu sendu dan pucat. Lingkaran gelap menghiasi bawah matanya. Pria itu tampak lelah dan tak semangat. "Kau baik saja?" tanyanya cemas.
"Keadaanku baik, Yang Mulia."
"Wajahmu pucat. Dan kenapa kau tidak muncul saat sarapan tadi? Apa kau tak sarapan?!"
"Aku sudah sarapan di ruanganku."
"Kudengar kau sudah tak makan di ruang makan lagi...."
Simon terdiam.
"Apa karena masalah....ibumu?" tanya Victoria dengan suara tercekat. Ia bisa melihat tubuh Simon menjadi tegang mendengar nama ibunya. Ia mendekat. "Aku....maafkan aku...."
"Jangan minta maaf, Yang Mulia." sahut Simon dengan suara bergetar. "Ini bukan salahmu, meski kau tak pernah cerita kalau kalian sering bertemu...."
Air mata kembali menitik jatuh. Suara parau Simon dan wajah sedihnya membuat ia tak sanggup lagi. "Kami tak pernah merencanakan apapun untuk melawan James..."
"Aku tahu...."
"Kau percaya padaku?!" tanya Victoria.
"Ya. Ibuku tak mungkin melakukan hal seperti itu, Yang Mulia...."
"Terima kasih kau percaya padaku." gumam Victoria terharu. "Kau tahu, ibumu sangat mencintai kalian bertiga. Ia sering menceritakan mengenai kalian."
Simon tersenyum kecil.
"Apa kau masih marah dengan kakakmu?"
"Simon, bagaimana pun James adalah kakakmu. Bagian dari keluargamu. Kau...kau harus memaafkannya....ibu pasti tak ingin kalian berselisih seperti ini....kalian harus rukun..."
"Apa kau sendiri sudah memaafkan James?!"
"Tidak, aku tak bisa..." sahut Victoria. "Aku tahu tak seharusnya aku memintamu untuk memaafkan James, sedangkan aku sendiri juga membencinya..."
"Aku...."
"Pangerang Simon."
Victoria dan Simon menoleh. Melihat seorang prajurit berdiri seraya membungkuk kepada mereka.
"Ada apa?" tanya Simon.
"Yang Mulia Raja menunggu anda di ruang kerjanya."
Ah, pasti mengenai serangan itu....batin Victoria.
Simon menarik napas. Ia tampak lelah. "Aku akan segera ke sana."
Sang prajurit mengangguk dan undur diri dari hadapan mereka.
Simon menoleh kembali kepada Victoria. Sang ratu tersenyum kecil. "Pergilah. Jangan sampai kakakmu marah karena menunggumu."
"Sampai nanti, Yang Mulia."
Victoria mengangguk. Ia masih berdiri menatap kepergian Simon ketika menyadari kedatangan Betty. "Ada apa, Betty?" tanyanya.
Betty melirik sekitarnya lalu mendekat dan berkata dengan suara pelan, "Saya sudah mendapat kabar mengenai keluarga anda."
Victoria mengangkat alisnya dan mengangguk agar Betty melanjutkan.
"Ratu dan pangeran dalam keadaan sehat, Yang Mulia." gumam Betty. "Orang kepercayaan Oliver sudah memastikan perintah anda dilakukan."
Perlahan senyum mengembang di bibir sang ratu. "Baiklah, terima kasih atas informasinya, Betty."ujarnya dengan nada senang. Meski ia tak bisa melihat atau bertemu dengan ibu dan kakaknya, mendengar keluarganya dalam keadaan sehat sudah cukup baginya.
"Aku ingin berkuda." ujar Victoria. "Tolong sampaikan untuk menyiapkan kudaku sementara aku akan mengganti gaunku."
"Tapi saya belum menyiapkan gaun berkuda untuk anda."
"Biar aku saja." sahut Victoria.
"Baiklah. Saya akan menunggu anda di istal, Yang Mulia."
Victoria mengangguk. Ia menaiki tangga menuju ruang tidur dan segera mengganti gaun untuk berkuda. Dalam waktu cepat ia sudah siap, turun dari tangga dan melangkah menuju istal kuda. Dari jauh ia bisa mendengar suara derap kaki kuda serta ringkihan hewan itu. Beberapa prajurit sedang berlatih berkuda, sementara para pengurus istal melakukan pekerjaannya. Victoria mendekati Betty yang sudah siap dengan dua ekor kuda.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Victoria melihat seorang prajurit dengan kudanya berdiri di belakang Betty.
"Saya akan mengawal anda atas perintah Yang Mulia Raja." sahut pria itu seraya membungkuk hormat.
Victoria menarik napas. Sebenarnya ia ingin berkuda tanpa pengawalan. Tapi ia tahu dirinya masih berada dalam masa hukuman. Ia memang sudah tidak di kurung, tapi tetap diawasi.
"Baiklah."sahut Victoria seraya naik ke punggung kuda putih sementara Betty menaiki seekor kuda berwarna coklat.
"Hiat..." seru Victoria menggoyangkan tali pelana dan hewan berkaki empat itu pun mulai berderap maju. Ia mengajak kuda itu berkeliling lapangan dahulu. Setelah beberapa putaran, Victoria mengarahkan sang kuda keluar lapangan.
"Yang Mulia!"cegah prajurit yang berkuda di belakang.
Victoria terus memacu kudanya dengan langkah lebih perlahan. "Ada apa?"
Sang prajurit berhasil menyusul dan berada di sebelahnya. "Anda hendak ke mana? Perintah Yang Mulia Raja melarang anda pergi keluar istana."
Victoria mendengus. "Lapangan di sini terlalu membosankan. Aku ingin berkuda ke padang rumput sebentar."
"Tapi....."
Victoria mengangkat tangan untuk menghentikan perkataan prajurit. "Aku yang akan bertanggung jawab!"
"Tapi, Yang Mulia...."
"Ayolah, apa kau tak bosan berada di dalam sana?! Percayalah, aku hanya ingin berkuda keluar sebentar! Hiat...." seru Victoria menghentakkan kudanya agar berlari.
"Yang Mulia!!!!" seru prajurit dengan putus asa.
"Biarkan Yang Mulia bebas sejenak. Ia sudah lama tidak bahagia seperti ini. Apa kau tidak menyadarinya?!" ujar Betty terkekeh seraya memacu kudanya untuk menyusul.
Sang prajurit hanya bisa mengerang pasrah. Ya, ia tahu saat ini sang ratu tampak bahagia. Tapi perbuatannnya sangat beresiko. Victoria seorang ratu dan hanya di kawal satu orang prajurit. Di tambah saat ini status Victoria masih menjalani hukuman tahanan di mana ia tak boleh keluar dari area istana. Tidak mungkin tindakannya sekarang tidak diketahui orang lain.
"Sial!" makinya seraya mencoba menyusul Victoria dan Betty.
Victoria tersenyum saat angin menerpa wajah serta menggoyangkan rambutnya. Untuk sesaat ia ingin bebas dan bahagia. Dan hanya dengan berkuda ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah cukup lama ia tidak pernah merasakan saat seperti ini lagi.
Cuaca hari itu sangat cerah. Membuat padang rumput tempat Victoria melintas tampak begitu indah. Beberapa penduduk desa terlihat sedang bekerja menjaga para ternak berumput. Mereka melihat sang ratu. Sebagian orang terkejut melihat kehadiran ratu mereka dengan penjagaan yang minim. Mereka membungkuk hormat saat kuda Victoria melewati di dekat mereka, dan kemudian menyusul Betty serta seorang prajurit.
"Hiaaat....ayo susul Yang Mulia!" ujar Betty menghentakkan tali meminta kudanya berlari lebih kencang lagi. Mulutnya tersenyum kecil melihat majikannya tampak menikmati kegiataannya saat ini. Sama seperti saat ia berkuda di kerajaan Selatan dahulu.
Ketika melintasi tepi padang rumput yang di hiasi pohon lebat, prajurit yang tertinggal mendengar suara dan melihat sesuatu melesat menuju sosok sang ratu. Matanya menyipit dan perasaan waspadanya bangkit. "Yang Mulia, awas!!!!" pekiknya.
Victoria mendengar suara teriakan pria itu. Kepalanya baru saja hendak menoleh untuk mencari tahu ada apa gerangan ketika kudanya mengeluarkan suara ringkik kesakitan dan terjatuh. Tubuh sang ratu pun ikut terguling jatuh. Victoria menjerit saat terjatuh dan kepalanya terbentur sesuatu. Rasa nyeri menyerang kepala serta kakinya yang tertindih tubuh sang kuda. Victoria mengerang sebelum kegelapan meliputi dirinya.
"Yang Mulia!!!"seru Betty menjerit kaget dan ngeri lalu mempercepat laju kudanya. Ia segera turun dan mendekat. Wajahnya pucat pasi melihat majikannya pingsan dengan kepala berdarah. "Prajurit!! Cepat kemari!!!"
Betty berlutut. "Yang Mulia, bertahanlah, kami akan segera menyelamatkanmu!!"ujarnya. Ia tak berani memegang tubuh sang ratu. Takut lukanya semakin parah.
Prajurit berhasil mencapai tempat Victoria terkapar. Pria itu segera turun dan mendekat. "Yang Mulia!"serunya lalu matanya terpaku pada sebatang anak panah yang tertancap di tubuh kuda sang ratu.
"Yang Mulia terluka! Bagaimana ini?!"ujar Betty panik dan takut.
"Ada yang hendak melukai Yang Mulia..." desis Prajurit itu sambil mencabut pedang dan menatap sekelilingnya. Ia melihat beberapa orang penduduk mulai mendekat. Diamatinya mereka satu per satu. Tapi ia tahu mereka memang warga sekitar. Ia pun memalingkan mata ke arah pohon dengan curiga. Siapapun pelaku yang memanah sang ratu pasti bersembunyi di balik pohon itu, batinnya. Dan ia tidak bisa memburu pelakunya. Sang ratu membutuhkan bantuannya.
"Apa yang terjadi?"tanya seorang pria salah satu penduduk setempat.
Sementara itu beberapa orang berseru terkejut melihat keadaan Victoria.
"Kita harus mengangkat kuda itu agar bisa mengeluarkan Yang Mulia!"
"Aku akan membawa kereta untuk Yang Mulia!"
Dua orang pria mendekat dan membantu prajurit mengangkat tubuh kuda yang sudah tak bernyawa. Betty dan prajurit menarik tubuh Victoria.
"Lihat panah itu!" seru seorang pemuda.
"Ada yang berniat mencelakai Ratu kita!"
"Berani sekali dia! Kalau sampai tertangkap, habis nyawanya!"
"Sayang, balut kepala Yang Mulia dengan syal ini." gumam seorang wanita seraya mengulurkan sehelai kain berwarna putih pada Betty.
"Oh terima kasih!" sahut Betty. Ia mengambil kain itu dan perlahan membalut kepala Victoria yang terluka. "Yang Mulia, bertahanlah!"
Suara derap kaki kuda dan roda mengalihkan perhatian kerumunan itu. Kereta kuda sudah datang bersama seorang penduduk yang menjadi kusirnya. Sang prajurit pun segera membopong Victoria ke dalam kereta.
"Terima kasih, semuanya...." gumam Betty kepada para warga desa.
"Betty, cepat masuk!" Seru prajurit.
"Semoga Yang Mulia baik-baik saja!"
Betty mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kereta. Kereta pun melaju menuju istana. Kusir kereta memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Rumput dan tanah beterbangan saat kereta melintasi padang rumput. Dalam waktu singkat istana mulai terlihat karena mereka memang belum terlalu jauh berkuda.
Penjaga pintu istana melihat kereta yang melaju kencang ke arahnya dengan waspada. "Siapa kalian?!"
Prajurit melongok keluar jendela dan berseru, "Ini aku! Buka pintunya! Yang Mulia terluka!!!"
Mendengar ucapan pria itu, penjaga pintu istana segera memberi perintah kepada anak buahnya untuk membuka pintu gerbang istana. Kereta pun melaju masuk ke dalam area istana. Kusir menghentikan kereta di depan pintu istana.
"Panggilkan tabib istana!" seru prajurit seraya membuka pintu dan membawa Victoria masuk ke dalam. Kain yang membalut kepalanya kini sudah basah dengan warna merah karena darah.
Pemandangan itu cukup mengejutkan para prajurit yang melihat. Seseorang segera masuk ke dalam sambil berkata akan mencari tabib. Dengan segera kabar mengenai sang ratu pun tersebar di istana. Betty mengikuti prajurit membawa majikannya ke dalam ruang tidur. Ia semakin cemas melihat wajah Victoria sudah pucat.
"Aku akan meminta pelayan menyiapkan air dan lap!"
Betty hanya bisa mengangguk dan melihat prajurit itu pergi. Matanya beralih kepada majikannya. "Yang Mulia...." isaknya. "Bertahanlah...."
Betty menoleh kaget mendengar suara pintu terbuka. Ia menarik napas lega. "Tolong Yang Mulia! Ia terluka!" ujarnya melihat tabib istana masuk.
Pria tua yang menjabat sebagai tabib istana mendekat dengan wajah berkerut cemas. "Yang Mulia jatuh dari kuda?!"
"Ya...."
"Aku akan memeriksa luka di kepalanya dahulu."
Betty mengangguk dan menyingkir agar tabib istana bisa mengerjakan tugasnya. Sesekali ia membantu pria itu mengambilkan salep obat atau kain untuk membalut serta barang lainnya.
Pintu terbuka menampakkan sosok James yang melangkah masuk bersama Simon.
"Bagaimana kondisi Victoria?" tanya James.
Sang tabib menoleh dan segera membungkuk hormat. "Yang Mulia mengalami luka benturan di kepalanya dan mengalami pendarahan. Tangan dan kakinya juga mengalami luka karena terjatuh tapi tidak parah. Luka di kepalanya yang merisaukanku. Kuharap Yang Mulia bisa melewati masa kritisnya dan segera siuman...."
"Apa yang harus aku lakukan?"tanya Betty lirih.
"Pantau keadaannya. Jika ia mengalami demam tinggi, segera panggil aku. Dan jika suhunya semakin tinggi atau panasnya tidak reda, kau juga harus memanggilku. Aku akan memberikan resep ramuan obat agar bisa segera diminum." ujar tabib seraya undur diri
Betty mengangguk mengerti.
James dan Simon mendekat untuk melihat Victoria. Wanita itu terbaring seperti tidur. Namun kain yang membalut kepalanya serta wajah pucatnya menandakan ia bukan sedang istirahat. Sang ratu sedang berjuang dalam masa kritisnya.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya James menatap Betty.
Betty menjelaskan semuanya dengan suara gemetar. Ia sadar majikannya sudah melanggar perintah James. Bahwa Victoria keluar istana dengan penjagaan yang minim, tanpa ijin serta tidak mematuhi masa tahanannya. Ia tak tahu apakah ia akan di hukum setelah ini. Tapi Betty harus menceritakan semuanya termasuk anak panah yang menusuk tubuh kuda yang dinaiki oleh Victoria.
Simon menoleh menatap James. Wajahnya tampak kaget. "Ada yang hendak mencelakai Victoria." gumamnya. James hanya diam dengan wajah datarnya. "Kejadian ini harus diselidiki."
"Yang Mulia."
Ke tiga orang di dekat tempat tidur Victoria menoleh mendengar kehadiran di belakang mereka.
"Amara."
Amara melangkah seraya memegangi perutnya yang sudah besar. Wajahnya terlihat panik. "Kudengar Yang Mulia mengalami kecelakaan, apa itu benar?!"
"Kenapa kau datang kemari?" tanya James mendekat dan meraih lengan Amara untuk menuntunnya.
"Aku ingin melihat Yang Mulia."
"Victoria baik saja. Kau harus banyak rehat, Amara."
"Aku ingin melihatnya sebentar!"sahut Amara keras kepala seraya melangkah mendekati tempat tidur sang ratu. Wajah Amara pucat dan tubuhnya gemetar. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Victoria terluka karena terjatuh dari kuda. Kepalanya terbentur saat jatuh." jelas James.
"Oh tidak......"isak Amara.
"Victoria akan sembuh. Ia wanita kuat. Ayo, aku akan mengantarkanmu untuk rehat." ujar James menarik lengan Amara.
"Aku takut...."isak Amara.
"Aku akan menemanimu."
Betty hanya bisa memutar bola matanya dengan kesal melihat James dan Amara. Baginya kehadiran Amara membuat hubungan majikannya menjadi jauh.
"Kenapa Victoria bisa nekat keluar istana?" tanya Simon.
Betty menoleh ke arah sang pangeran dengan jantung berdebar. "Saya sudah mencoba mencegah. Juga prajurit yang mengawal. Tapi Yang Mulia bersikeras hanya sebentar....."
Simon menarik napas. "Hanya sebentar tapi nyawanya nyaris terancam!"
Betty terlonjak kaget mendengar nada bicara Simon yang tinggi.
"Maafkan aku. Aku sama sekali tidak sedang memarahimu." ujar Simon. Siapa orang yang ingin melenyapkan Victoria, tanyanya dalam hati. Kejadian hari ini memperlihatkan bahwa seseorang selalu mengintai Victoria. Mengikuti sang ratu menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Dan orang itu berhasil.
Tbc...Maaf lama.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)
FantasíaSekuel The Exileed Queen Di hari ulang tahunnya yang ke 19 tahun, putri Victoria mengadakan pesta untuk mencari calon pendamping hidupnya. Tapi siapa sangka hari istimewanya menjadi bencana bagi Putri Victoria. Istana tempat tinggalnya mengalami pe...