"Yang Mulia!" ujar seorang ksatria masuk ke dalam ruang kerja James dengan terburu-buru dan wajah pucat.
James yang sedang duduk bersama Charles pum menoleh kaget.
"Ada apa?" tanya Charles.
Ksatria itu tampak kalut. "Yang Mulia, pangeran....pangeran Simon di culik."
"Apa?!" sahut Charles terkejut.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Pangeran bersama beberapa prajurit mengamati kapal itu, tapi saat di atas mereka di serang. Oliver dan anak buahnya di buat pingsan dan dijatuhkan ke laut. Nelayan yang ikut bersama mereka menyelamatkan mereka, tapi pangeran tidak ditemukan."
"Panggil pemimpin pasukan ini!" pinta James tegas dan keras seraya mengebrak meja kerjanya.
"B...baik...."
"Beraninya mereka. Akan kubunuh siapa pun yang melukai Simon...." desis James.
"Tenang dulu. Jika mereka memang menculik Simon, aku yakin mereka akan menghubungi kita."
"Aku tahu. Tapi siapa yang berani menentangku?!"
Banyak, sahut Charles dalam hatinya.
Beberapa menit kemudian, pintu di ketuk dan memperlihatkan Oliver berdiri dengan kain membalut luka di tangan. Pria itu berjalan masuk dan membungkuk.
"Yang Mulia, maafkan saya...."
"Apa yang telah terjadi?" tanya James.
Oliver pun mulai bercerita sama seperti yang dikatakan ksatria sebelumnya. Mereka selamat kecuali Simon yang di culik dan seorang prajurit. Oliver berlutut seraya meminta maaf. Ia telah lalai dalam menjalankan tugasnya.
"Ini jebakan..." gumam Charles dengan suara gemetar. "Mereka pasti sengaja diam di sana. Menunggu dan benar-benar suatu kesempatan emas karena salah seorang dari kita ikut serta."
James mengerang marah. "Seharusnya aku melarang Simon ikut!!"
Pintu kembali terbuka. Victoria melangkah masuk dengan wajah panik. Ia melihat Oliver berlutut dengan luka dan wajah bersalah. Sementara Charles dan James tampak berang.
Victoria mendekati meja kerja James dan menatap suaminya. "Benarkah apa yang aku dengar?! Benarkah Simon di culik?!!" tanyanya panik.
James membalas tatapan Victoria. "Ya."
"Oh tidak! Bagaimana....."
"Kita telah di jebak. Di jebak oleh musuh." gumam Charles.
"Aku akan mencari dan membunuh pelakunya."ucap James.
Victoria menatap suaminya. Wajah James merah karena menahan amarah. Tangannya pun mengepal erat. Baru kali ini ia melihatnya semarah itu. "Apa ada yang bisa kubantu?"
"Ini urusan kami." potong James.
Victoria memutar bola mata dengan kesal. "Baiklah."
"Ah...kau bisa membantuku...."ujar James. Victoria menatapnya dengan alis terangkat. "Sebentar lagi Amara akan melahirkan. Kuminta kau mendampinginya. Ia pasti butuh dukungan dari orang yang dekat dengannya."
Victoria menahan untuk tidak mendengus kesal. "Ia dekat dengan pelayannya." sahutnya ketus.
"Tidak. Aku memintamu yang mendampingi Amara."
Victoria menarik napas. "Baik, Yang Mulia."
"Kau tak perlu memikirkan apapun. Biar kami yang menyelidiki masalah Simon." kata Charles.
"Kuharap Simon bisa segera kembali." gumam Victoria.
---------
"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Betty heran melihat majikannya masuk dengan wajah kesal. "Apa pangeran sudah di temukan?"
Victoria mendesah. "Belum. James memintaku untuk menemani Amara saat melahirkan nanti."
"Ah...begitu...." sahut Betty.
"Siapkan segalanya, Betty. Kau pasti sudah paham bukan?"
"Baik, Yang Mulia."
-------
Amara berdiri berhadapan dengan James.
"Yang Mulia, doakan aku. Semoga aku bisa melahirkan anak kita dengan selamat." ujar Amara tersenyum pada James.
James memberikan senyum kecilnya. "Kau pasti bisa." sahutnya seraya mengusap punggung tangan Amara yang berada dalam genggamannya.
"Aku mencintaimu, Yang Mulia."
James terdiam dan hanya mengangguk. Tidak membalas perkataan Amara yang tentu saja membuat sang putri sedih. "Masuklah." pintanya.
Amara mengangguk. Bersama pelayannya, ia memasuki ruangan yang akan menjadi tempat tinggalnya hingga melahirkan nanti. Sebelum sang pelayan menutup pintu, ia menoleh ke belakang. Ingin melihat wajah James lagi sebelum mereka berpisah sementara. Tapi ternyata sang raja sudah tidak berada di sana. Ia hanya bisa menarik napas. Ia tahu James memang pria berhati dingin dan kaku. James tentu sangat sibuk, apalagi keberadaan Simon masih belum terlacak. Ia memasuki ruangan yang luas dengan perabotan mewah. Terdapat tempat tidur besar di bagian tengah ruangan. Jendela besar di tutupi tirai dengan detail mewah. Ia melihat beberapa orang wanita bergaun coklat berdiri menyambutnya. Wanita itu berjumlah lima orang dan membungkuk padanya.
"Mereka, Bidan yang akan membantu persalinanmu." ujar Victoria seraya menunjuk ke arah beberapa wanita yang membungkuk ke arah Amara.
Amara tampak terkejut melihat bantuan yang diberikan sang ratu. Bidan yang akan mendampinginya tidak hanya satu orang, tapi ada lima orang. Ia merasa terharu. Ratu yang diduganya benci dirinya ternyata memiliki hati yang baik, tebaknya. "Terima kasih, Yang Mulia." sahutnya tersenyum.
"Ini adalah perintah Yang Mulia Raja. Bukan keinginanku."ucap Victoria seraya memberi tekanan pada kalimat terakhir. Membuat senyum sirna dari wajah Amara.
"Mari, tuan putri. Anda tentu harus banyak rehat untuk menyambut buah hati anda."ujar salah satu bidan tersenyum sambil membimbing Amara menuju sofa dekat jendela.
Victoria memperhatikan Amara yang sedang duduk dan berbincang dengan bidan itu. Ia menoleh pada Betty. "Lakukan seperti yang aku perintahkan."pintanya.
"Baik, Yang Mulia." Sahut Betty. "Yang Mulia, apa anda yakin?"
Victoria menghela napas. "Ya, aku yakin. Kau tetap mendukungku bukan?!"
"Tentu saja, Yang Mulia." sahut Betty. "Aku sudah bersama anda sejak kecil. Anda sudah seperti saudaraku sendiri."
"Terima kasih, Betty...."gumam Victoria tersenyum. "Apa sudah kabar mengenai pangeran Simon?"
Betty menggeleng dengan wajah muram. "Belum, Yang Mulia. Oliver masih berusaha menyelidiki kasus ini. Dari pihak penculik pun tak ada kabar hingga kini."
"Sangat aneh. Seharusnya mereka sudah menghubungi kita sekarang." ujar Victoria.
"Saya yakin Oliver tidak akan menyerah. Begitu pula dengan Yang Mulia Raja."
"Ya aku tahu....hanya saja.... Aku memikirkan Simon..."gumam Victoria sendu.
Betty memegang tangan Victoria dan mengusapnya. "Saya yakin pangeran akan ditemukan dan baik-baik saja, Yang Mulia."
---------------
"Arrrggghhhh......"
Pria itu bergerak. Membuka matanya yang terasa berat. Ia kembali mengerang merasakan rasa sakit di kepalanya. Merasa sulit untuk bergerak.
Gelap....hanya itu yang terlihat. Sejenak ia merasa masih belum terbangun. Mungkin masih mimpi, batinnya. Tapi beberapa saat kemudian matanya masih menatap gelap. Hanya gelap. Dan ia merasa sesuatu menahan tangan serta kakinya.
"Di mana ini....." gumamnya yang membuat suaranya bergema.
Ia mencoba untuk bangun dari posisi berbaringnya. Atau bergerak. Tapi tak bisa. Ia pun sadar bahwa dirinya sedang di ikat.
"Di mana Oliver? Dan lainnya??"
"Oliver!!!!"
Hening.
Ia kembali berteriak memanggil nama lain. Tak ada jawaban. Hanya ada gema suaranya.
Ada apa ini sebenarnya. Apa yang terjadi, tanyanya dalam hati. Ia mencoba mengingat. Dahinya berkerut. Ia ingat malam-malam mendayung perahu untuk mendekati kapal asing yang besar di laut. Naik ke atas. Bersama Oliver meneliti kapal itu. Ia hanya ingat itu. Dan tiba-tiba sekarang ia berada dalam kegelapan, serta dalam keadaan tak bisa bergerak.
Pria itu menarik napas. Memikirkan bagaimana nasib teman-temannya. Menyadark bahwa ini mungkin saja jebakan. Tapi siapa yang menjebaknya? Ia terus berpikir hingga merasa sakit kepala dan tertidur kembali.
--------
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Amara. Ia sudah merasakan kontraksinya yang semakin cepat dan menyakitkan. Para bidan terus menjaga dan memantau proses kelahiran anak Amara. Victoria dan Betty pun ikut mengawasi. Sementara pelayan Amara sibuk mengusap keringat di dahi Amara.
"Kau pasti bisa."gumam Victoria duduk di sisi Amara seraya memegang tangan sang putri yang kembali meringis kesakitan.
Amara hanya bisa mengangguk dengan napas terengah karena rasa sakit. Keringat sudah membasahi keningnya. "T...te...terima....kasih.....Yang Mulia......urgh..."
"Apa kau butuh sesuatu?"
"Aku....haus..."
Pelayan Amara pun segera mengambilkan gelas dan memberikan pada Amara yang sudah duduk di bantu oleh Victoria. Tangan Amara meraih gelas. Meminumnya perlahan. Mendadak sang putri menjerit kesakitan dan gelas itu terjatuh ke lantai. Menimbulkan suara pecahan yang nyaring dan airnya membasahi lantai. Amara menjerit seraya memegang perutnya.
"Tuan putri!"seru pelayannya panik.
"S...sakit....sekali...."bisik Amara mengertakkan giginya menahan sakit. Tangannya mencengkeram sprei tempat tidur dengan erat.
ke lima orang bidan pun mendekati Amara dan memeriksanya. Sementara Victoria mundur untuk memberi ruang bagi para bidan.
"Tuan putri akan segera melahirkan."ujar salah satu bidan.
Victoria mengangguk. "Sudah saatnya."lirihnya.
Amara kembali memekik kesakitan. "Aku....aku bisa merasakan anakku....."
"Berbaringlah dengan nyaman, tuan putri. Dan cobalah untuk mendorong."pinta salah satu bidan membuka selimut Amara.
Amara mengatur napasnya dan mencoba mendorong. "Aku tak bisa......"gumamnya.
"Saya akan mencoba memijat anda, tuan putri. Anda pasti bisa..."ujar seorang bidan mendekat dan mulai memijat perut Amara dengan lembut. Sementara itu bidan lainnya membantu memberi minum pada Amara.
"Anda merasa lebih baik?"
Victoria mendengus. Bagaimana Amara bisa merasa lebih baik? Ia akan melahirkan. Meski Victoria belum pernah merasakan tapi tahu bagaimana rasa sakit serta perjuangan seorang ibu yang melahirkan. Victoria merasa salut dengan Amara. Sejenak rasa iri hinggap di benaknya. Ia pun ingin merasakan seperti Amara. Ia ingin merasakan anaknya tumbuh serta bergerak dalam rahimnya. Ia ingin seperti Amara juga yang diperhatikan oleh semua orang karena sedang mengandung.
'Tidak...aku tak boleh terbawa suasana. Aku tak boleh lemah. Aku harus fokus.'bisik Victoria dalam hatinya.
Amara teriak saat bidan memberi tanda untuk mendorong lagi. Setelah beberapa kali mendorong dan Amara berteriak kesakitan, terdengar suara tangisan bayi yang kencang. Amara menarik napas lega seraya menangis terharu.
"Anakku...." gumamnya lirih dengan tangan terentang.
"Tuan putri, saya akan membersihkan dahulu anak anda."ujar sang bidan dengan bayi dalam pelukannya.
"Boleh kutahu jenis kelaminnya?"
"Seorang putra. Selamat, tuan putri."
Amara tersenyum. "Oh aku ingin memeluknya..."
"Segera setelah saya membersihkan dan memakaikannya selimut."
Amara mengangguk meski ia merasa aneh melihat wanita itu memberinya sorot mata sedih. Namun rasa lelah membuatnya tak mempedulikan hal itu. Ia kembali berbaring sementara bidan membawa putranya.
Sang bidan mendekati Victoria. Wanita itu berhenti di depan Victoria. Memperlihatkan seorang bayi mungil dalam gendongannya. Anak Amara dan James. Pewaris suaminya kelak. Victoria merasa lehernya tercekat. Ia menatap sang bidan dan mengangguk padanya.
Victoria mendekati Amara. Wanita itu terlihat masih lelah dan wajahnya pucat. "Selamat untukmu, Amara."ujarnya memaksa dirinya untuk tersenyum.
Amara membalas senyum sang ratu. "Terima kasih, Yang Mulia."
"Aku akan menyampaikan kabar bahagia ini."
Amara mengangguk padanya. Ia menarik napas. Mulutnya terus tersenyum mengingat anaknya. Aku memiliki seorang putra, batinnya lega. James pasti sangat bahagia.
Amara berbaring. Badannya terasa sangat letih. Baru kali ini ia merasakan sakitnya melahirkan. Tapi rasa sakit itu sepadan dengan kehadiran putranya. Posisinya aman karena ia melahirkan seorang pewaris untuk James. Beberapa saat kemudian Amara merasa aneh ketika suasana sunyi. Tak ada lagi suara tangisan sang bayi. Ia merasa heran dan mencoba beranjak bangun meski masih merasa lemah.
"Putri, anda harus berbaring dan rehat!"Ujar seorang bidan mendekat padanya untuk membantunya berbaring kembali.
"Di mana anakku? Kenapa ia tidak menangis lagi?!"
"Putra anda sedang dibersihkan, Putri."
"Tapi....kenapa anakku tidak menangis lagi?!" tanya Amara panik. "Bawa kemari anakku!"
"Tapi...."
"Bawa anakku kemari!"pinta Amara.
"Ba...baik, tuan putri...." sahut sang bidan dengan wajah takut dan pucat. Ia melangkah mundur dengan tubuh gemetar.
Amara kembali berbaring. Menatap ke arah bidan menjauh untuk memanggil bidan satu lagi. Suasana hening membuat perasaannya tak enak. Tak lama bidan yang tadi membawa putranya datang menghampiri. Wanita itu membawa gendongan yang terbalut selimut.
"Anakku...." gumam Amara lirih mengapaikan tangannya untuk memeluk.
Bidan itu berhenti di samping tempat tidur Amara. Wajahnya tampak aneh dan pucat. Matanya tak berani menatap sang putri.
"Tu....Tuan putri, maafkan kami. Anak anda telah meninggal. Mendadak putra anda terdiam dan tak bernapas. Aku sudah mencoba memberinya bantuan tapi anak anda...."
Amara membelalakkan matanya. Ia mencoba memahami ucapan sang bidan. "Tidak!!! Kau bohong! Kemarikan anakku! Kau pasti salah!" raung Amara.
"Tuan putri, maafkan aku."gumam bidan itu bergerak untuk mengulurkan anak Amara.
Amara nyaris merebut bayi yang berada dalam gendongan sang bidan. Ia menatap wajah putranya yang putih dan mungil. Matanya tertutup seakan sedang tidur.
"Anakku..." panggil Amara mengusap wajah bayinya. Tak ada gerakan naik turun saat Amara menyentuh dadanya. "Tidak..." isaknya. "Anakku, bangunlah, ini ibu, nak!"
"Bangun, anakku. Ibu mohon...buka matamu dan menangislah...."
Amara terus memanggil sambil menepuk pipi dan badan sang bayi. Tapi tak ada gerakan atau respon apapun. Bayi yang sudah ia cintai sejak dalam kandungan telah tiada. Amara memeluknya dan menangis pilu.
-----------
"Amara, aku ikut prihatin mendengar perihal anakmu."gumam Victoria mendekati sang putri yang terbaring sambil menangis. Amara menoleh. Ia tampak pucat.
"Kau harus tegar."ujar Victoria memegang dan menepuk tangannya.
Amara hanya bisa mengangguk dan menangis kembali. Victoria tak tega melihat kesedihannya. Ia pun merasa ikut pedih lalu mendekat dan memeluknya.
"Anakku....ia sudah pergi....." isak Amara.
Victoria mengusap rambut Amara. "Kau harus kuat...."
Mereka terus berpelukan hingga terdengar suara pintu di buka dan derap langkah kaki mendekat. "Amara." panggil seseorang dengan suara beratnya.
Victoria menoleh. Melihat James sudah berdiri di belakangnya. Pria itu memanggil dan memandang ke arah Amara. Bukan padanya. Kenyataan itu membuat hatinya pedih. Perlahan Victoria melepas pelukannya dan menepi. Memberi ruang bagi James dan Amara.
"Yang Mulia...." isak Amara.
James mendekat dan memeluk Amara.
"Anakku...anak kita....maafkan aku...."
"Ini bukan salahmu, Amara." ujar James.
Victoria berdiri di belakang mereka berdua. Melihat pemandangan yang cukup menyesakkan dada. Membuat hatinya sakit melihat pria yang ia kasihi memeluk dan memperhatikan wanita lain. Victoria tak sanggup lagi, ia pun memutuskan untuk pergi dari ruangan. Ia yakin James dan Amara tidak akan menyadari kepergiannya.
Di lorong ia bertemu dengan Charles. Wajahnya tampak kalut. Victoria menduga pangeran itu sudah mengetahui kabar mengenai sang pewaris kecil.
"Victoria."
"Charles...." sahut Victoria mengangguk padanya. "Kuduga kau sudah tahu. James sudah mendampingi Amara."
"Ya aku tahu. Ya ampun, kasihan sekali bayi kecil itu...."ujar Charles dengan nada prihatin. "Meski aku tidak terlalu menyukai Amara, tapi mendengar berita mengenai bayi kecil itu sangat mengejutkan."
"Ya aku tahu." sahut Victoria dengan suara tercekat.
"Kau baik saja?"
Victoria mengangguk lagi. "Aku tak apa. Aku pamit dulu, karena kehadiranku sudah tidak dibutuhkan lagi di sana. Aku hanya membantu kelahiran putra Amara. Permisi...."
"Rehatlah. Kau pasti lelah."
Tbc....
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)
FantasiaSekuel The Exileed Queen Di hari ulang tahunnya yang ke 19 tahun, putri Victoria mengadakan pesta untuk mencari calon pendamping hidupnya. Tapi siapa sangka hari istimewanya menjadi bencana bagi Putri Victoria. Istana tempat tinggalnya mengalami pe...