33

1.9K 174 112
                                    

Mata itu terbuka lalu kembali menutup karena seleret cahaya menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali hingga terbiasa dengan cahaya itu. Perlahan matanya meneliti ruangan. Menyadari dirinya berada di sebuah ruangan tertutup dengan jendela kecil yang terletak jauh di atas. Tak ada apapun di sana kecuali tempat ia terbaring dengan keadaan ke dua tangan terikat di belakang badan, begitu pula dengan kakinya. Badannya terasa pegal karena tak bisa bergerak. Hanya bisa diam dalam satu posisi. Tenggorokannya terasa kering. Kepalanya pun pening. Ia sadar bahwa ini jebakan. Ada yang memancing mereka. Dan sialnya, ia ikut hingga tertangkap.

"Sial...." maki Simon.

Samar-samar terdengar suara langkah kaki di luar pintu. Simon terdiam sambil menunggu. Firasatnya siapa pun yang berjalan di luar sana pasti akan menemuinya. Dugaannya benar. Suara langkah kaki berhenti di susul dengan suara kunci pintu di putar. Simon menatap ke arah pintu dengan jantung berdebar. Ia akan melihat orang di balik kejadian ini.

Terlihat dua orang pria berdiri di depan pintu. Cahaya remang membuat wajah mereka tak terlihat jelas. Ke dua pria itu melangkah. Menimbulkan suara gema.

Matanya menyipit untuk memastikan penglihatannya. "Kau..."gumamnya tak percaya.

"Selamat pagi, pangeran Simon."

"Kenapa...."

"Aku senang rencanaku berjalan dengan luar biasa. Tanpa di duga salah satu dari tiga saudara ikut serta dan dengan mudah tertangkap." ujar pria itu tertawa seraya bertepuk tangan. "Sungguh....aku sama sekali tidak menyangka..."

"Apa maumu?!"tukas Simon.

"Terima kasih kau sudah membantuku dalam rencana ini, pangeran."

"Hei....katakan kenapa, bajingan!!!"

"Kau akan segera tahu. Peranmu hanya sampai di sini." ujar pria itu menyeringai puas. "Jaga dia dan jangan lupa beri makan. Aku tak ingin pancingan berhargaku ini sakit...."

"Hei!!!!" seru Simon. Tapi ke dua orang itu telah pergi dan mengunci pintu. Ia mengerang kesal mendengar suara tawa dari luar ruang tahanannya.


--------


"Yang Mulia Raja datang, Yang Mulia."

Victoria menoleh heran. Alisnya terangkat penuh tanda tanya. Ada apa ia kemari, tanyanya.

"Baiklah."

Betty mengangguk lalu undur diri. Membiarkan sang raja masuk ke dalam ruangan majikannya. Victoria berdiri menyambut James.

"Selamat datang, Yang Mulia."sapa Victoria melihat wajah James tampak aneh. Apa ia mendapat kabar mengenai Simon, batinnya berharap.

James berdiri di hadapan Victoria. Wajahnya tampak kaku dan gestur tubuhnya menunjukkan ia sedang merasa tegang. Victoria tahu belakangan ini banyak kejadian di istana. Simon menghilang, penyerangan di desa, dan putra James yang tiada.

"Amara meninggal." gumam James dengan suara bergetar.

Victoria melebarkan matanya. "Jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda."

"Tapi....bukankah kau bersamanya tadi malam?!"

"Ya. Saat tertidur, Amara telah pergi. Bidan menduga Amara kehabisan banyak darah dan kesedihan membuatnya tak kuat lagi."

Victoria merasa lemas. Refleks tangannya meraih kursi untuk berpegangan.  "Tidak mungkin."sahutnya lirih.

"Kau mau ke mana?!"tanya James melihat Victoria berlari melewatinya.

"Aku ingin melihat Amara."sahut Victoria bergegas keluar ruang tidur dan melangkah menuju ruangan tempat Amara melahirkan. Ia yakin Amara masih berada di sana.

Sepanjang jalan, Victoria melihat beberapa prajurit yang tampak sendu. Begitu pula dengan para pelayan. Ada yang menangis seraya berpelukan. Seakan mereka semua sudah tahu perihal Amara. Perasaannya tak enak. Tak mungkin, batinnya sambil mempercepat langkahnya.

Sang ratu telah tiba. Ia membuka pintu dengan keras. Napasnya tertahan. Begitu sunyi suasana di dalam. Ia melangkah masuk menuju tempat tidur Amara. Terlihat pelayan Amara berlutut di sisi tempat tidur. Victoria melihat sang putri berbaring di tempat tidur. Matanya tertutup.

"Amara..."panggilnya. Ia mendekat dan menyentuh tangan Amara.

"Tuan putri telah meninggal, Yang Mulia."sahut sang pelayan terisak.

Victoria ikut menangis. "M....maafkan aku...."

"Ini bukan salah anda...."

"Aku tahu....hanya saja....aku merasa tak berdaya menolongnya....juga bayi itu.....maafkan aku, Amara...."

"Istirahatlah dengan tenang." bisik Victoria.


-----------


"Sungguh malang nasib Amara dan putranya..."

"Ya....Yang Mulia Raja pasti sangat sedih. Ia hampir saja memiliki pewaris."

"Kalau begitu, posisi ratu menjadi kuat lagi bukan?! Tak ada lagi selir yang akan mengancam posisinya."

"Ehem...."

Pembicaraan itu segera terhenti ketika mereka mendengar suara berat dari belakang.

"Oh pangeran...." ujar salah seorang wanita bangsawan dengan gugup dan wajah merona malu karena tepergok sedang bergosip.

"Pemakaman akan segera di mulai." ujar Charles seraya melangkah pergi.

"Baik, pangeran...."

Para wanita tadi pun berjalan menuju pintu istana bertepatan dengan James dan Victoria menuruni tangga. Mereka melihat busana berwarna hitam. Wajah James tampak datar seakan kepergian Amara dan putranya sama sekali tidak mempengaruhi dirinya. Tak ada yang tahu bagaimana perasaannya saat ini.

Victoria berjalan di sisi James. Matanya tampak sembab karena menangis. Ia melirik James sekilas. Lalu mendengus pelan karena penampilannya yang seperti biasa. Dingin dan kaku.

"Sudah lama kita tidak bersama."

Victoria menoleh kepada James. "Karena kau sibuk." sahutnya.

"Aku tak mengira kau akan menangisi kepergian Amara."gumam James. Mereka sudah berada di luar istana. Terlihat peti mati Amara dengan anaknya terletak paling depan. Dan di sekitar peti berdiri para ksatria yang akan mengawal ke pemakaman. James mengulurkan tangan untuk membantu Victoria naik ke dalam kereta kuda.

"Apa itu salah?" tanya Victoria yang heran dengan sikap James. Tapi ia menyambut tangan James lalu naik ke dalam kereta kuda.

James menyusul masuk dan duduk di samping Victoria. "Karena kau tidak dekat dengannya."

"Apa aku salah jika bersimpati dengan kesedihan Amara?" tanya Victoria menatapnya. "Kami sama-sama wanita. Aku tahu bagaimana perasaan Amara, meski tak pernah mengandung. Apa kau sama sekali tidak merasa kehilangan?!"

"Untuk apa aku terus bersedih? Mereka sudah pergi, Victoria."

Victoria terkejut mendengar ucapan James. "Kenapa kau berkata seperti itu?! Mereka istri dan anakmu!"

"Mereka sudah tiada. Aku tak memiliki waktu untuk terus bersedih."

"Hatimu sungguh keji!" desis Victoria tak percaya.

"Aku memilih fokus untuk menemukan Simon."

"Oh astaga, James...."

"Adikku lebih penting. Aku yakin ia masih hidup karena hingga kini tak ada kabar dari pelakunya."

"Tapi kau menikah dengan Amara." ujar Victoria. James tidak menjawab. Victoria menarik napas. "Jangan bilang kau menjadikan Amara sebagai alatmu?!"

"Bukan urusanmu, Victoria."

"Kau sungguh kejam..." desis Victoria.

"Turunlah. Kita sudah sampai." tukas James mencondongkan badannya untuk membuka pintu kereta kuda.

Victoria baru menyadari bahwa kereta kuda yang ia naiki telah berhenti. Ia bisa mendengar suara dari luar. James keluar lebih dulu lalu membantu Victoria turun. Kini mereka sudah tiba di area pemakaman istana. Victoria berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan sebagai rumah abadi Amara.

Upacara berlangsung dengan cepat dan lancar. Tak ada tangisan kecuali pelayan Amara. Semua memang tidak terlalu mengenal Amara. Meski demikian wajah mereka tampak sendu. Merasakan Simpati terhadap kepergian Amara dan putranya.

"Yang Mulia, mari pulang." ujar Betty mengamit lengan Victoria saat pemakaman sudah selesai.

Victoria menoleh. Ia menyadari semua sudah mulai beranjak pergi dari area makam Amara. Ia melihat James sedang berbicara dengan seorang pria bangsawan dekat kereta kuda. Sang ratu kembali menatap ke bawah. Ke tanah tempat peristirahatan terakhir Amara dan putranya.

"Selamat tinggal, Amara." bisiknya.





Tbc....

Happy reading & jangan lupa jaga kesehatan ya di masa pandemi ini. Semoga pandemi ini cepat berlalu...












Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unforgetable Queen (HIATUS) (Sekuel The Exileed Queen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang