Luka

13 2 0
                                    

Terluka memang menyakitkan dan terasa perih. Jika tidak diobati akan sulit untuk sembuh bahkan bisa lebih buruk dan membekas. Pertanyaannya, bagaimana cara mendapatkan obat tersebut? Atau siapa yang bisa mengobati luka tersebut?


Sabtu. Hari dimana ia merasa bahagia tanpa kegiatan rutinnya. Ia memanjakan dirinya. Berolahraga bersama keluarga. Setelah di pagi hari membantu orang tuanya. Menonton film kesukaan. Mengadakan konser dadakan. Berguling di atas tempat tidur dengan ponsel di genggamannya. Ya, rebahan. Tanpa memikirkan tugas yang menumpuk.

Hampir tiba waktu makan siang. Ponsel yang masih ia genggam menunjukkan layar yang menandakan ada seseorang yang berusaha menghubunginya. Seseorang yang sangat ia kenal. Salah satu sahabatnya. Ibu jarinya menekan tombol berwarna hijau yang menandakan ia menerima panggilan tersebut.

"Halo?! Ra! Gawat, Ra!", teriak orang di seberang telepon tersebut.

"Eh? Lo kenapa? Tenang dulu coba", seru Arra menenagkan.

"Arkha! Arkha, Ra!", serunya membuat Arra panik.

"Arkha?! Arkha kenapa?! Arkha kenapa, Sha?!", tanya Arra semakin panik.

"Arkha.... Arkha cidera, kepalanya ketendang, sampai bocor", jelas Risha membuat Arra sangat terkejut hingga menitikan air mata.

"Gue harus kesana", seru Arra.

"Gue jemput lo", sahut Risha.

***

Pertandingan selanjutnya segera dimulai. Para pemainnya sudah siap di kubu masing-masing. Begitupun dengan wasit yang siap meniup pluitnya. Komentator sudah mengeluarkan banyak kata dari mulutnya tanpa henti untuk menyambut para pemain.

Priittt....

Pluit sudah ditiupkan. Mereka mulai saling menggocek. Menggiring hingga menendang bola kesana dan kemari. Pertandingan cukup sengit. Terbukti sudah beberapa menit berlalu belum ada angka yang tercipta diantara dua kubu tersebut.

Ia terus menggocek lawannya. Kakinya memainkan bola tersebut. Begitupun dengan lawannya yang berusaha merebut bola tersebut. Kakinya ia posisikan diantara kaki yang sedang menggocek. Bola berhasil lepas dari gocekan tersebut. Namun, si penggocek malah terjatuh. Ia tersungkur. Kepalanya membentur lapangan. Kemudian tertendang lawan mainnya. Cairan berwarna merah mengalir.

"Arkha!", teriak seorang perempuan di sisi lapangan. Ia berlari menghampiri seseorang yang ia sebut namanya. Seseorang yang tengah tergeletak di lapangan. Dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Perempuan tersebut terduduk di sisi Arkha.

"Arkha! Arkha bangun! Arkha!", serunya dengan air mata yang mengalir deras sambil menatap Arkha. "Ini, kenapa ga ada yang nolongin?! Kak?! Medis?! Vania! Lo dimana?!", jeritnya histeris.

***

Beberapa orang perempuan berjalan beriringan bagai model di atas karpet merah. Berjalan menyusuri koridor sekolah. Mereka berjalan menuju sisi lapangan. Dengan tujuan ingin memberi perhatian kepada salah seorang yang sedang bermain disana. Sebotol air mineral sudah ia genggam. Tinggal menunggu waktu beristirahat bagi para pemain.

Mereka terus berteriak memberi semangat untuk sekolahnya. Namun, tujuan salah seorang perempuan disana adalah berusaha mendapat perhatian dari salah seorang pemainnya. Ia terus meneriakkan nama pemain tersebut. Matanya tidak lepas darinya. Hingga ia melebarkan matanya. Terkejut melihat pemain tersebut tersungkur hingga mengeluarkan cairan berwarna merah.

"Arkha!", teriak perempuan tersebut. Ia berusaha melangkahkan kakinya. Berusaha menghampiri seseorang yang ia teriaki namanya. Namun, langkahnya terhenti. Ia dan teman-temannya dihadang oleh beberapa laki-laki yang merupakan teman satu angkatannya. Seolah mereka tidak diizinkan untuk mendekati Arkha.

My Last Point (REFISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang