Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Otaknya memberi sinyal untuk tubuhnya terbangun. Ia mengambil jaket di atas tempat tidurnya sejak pulang sekolah tadi. Melangkah keluar kamarnya. Berpamitan dengan orang tuanya hanya dengan teriakan "Ma, Pa, Dirga keluar dulu, sebentar". Menyalakan mesin pada motor besarnya.
Tibalah, Dirga di depan sebuah rumah. Ia menuruni tubuhnya dari atas motor. Menekan bel rumah Arra. Tidak lama seorang wanita berusia dibawah 50 tahun keluar dari balik pintu.
"Loh, Dirga? Ada apa datang malam-malam begini? Ayo, masuk", tanya Mama Arra dan mempersilakan Dirga masuk.
"Iya, Tante. Dirga mau ketemu Arra, Tante", lanjut Dirga saat sudah memasuki rumah Arra.
"Tante panggilkan, dulu, ya" lanjut Mama Arra dan dilanjutkan dengan anggukan Dirga.
Sambil menunggu Arra turun dari lantai dua, Mamanya membuatkan minum untuk Dirga dan mengantarkannya ke ruang tamu.
"Ga perlu repot-repot, Tante",
"'Ga apa-apa, kok".
Tidak lama Arra keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Ia mengerlingkan matanya malas. Tetapi, masih ingin duduk di sebelah Dirga.
"Ra, gue mau jelasin semuanya. Terserah lo mau denger atau engga. Terserah lo mau percaya atau engga. Tapi, gue mohon lo pertimbangin ini", ujar Dirga yang hanya dibalas dengan "Hm".
"Arkha, cuma mainin lo aja. Dia sering ke kelas kita bukan karena lo. Dia sering ngumpul bareng anak futsal kelas kita, bukan karena lo. Dia ikut mainin sepatu lo, bukan karena lo. Dia mau anterin lo pulang, bukan karena lo. Dia nerima gosip ini, bukan karena lo. Itu karena Retha. Dia cuma cari perhatian sama Retha. Dia cuma mau tau reaksi Retha", jelas Dirga panjang lebar.
Mendengar semua kalimat Dirga, Arra hanya mematung menatap Dirga. Dirinya seolah terhujam ribuan bom. Matanya sudah membendung cairan bening yang hampir meluap dengan sekali hentakan. Seolah tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Gue, tau, karena kita nongkrong bareng. Maaf, udah buat lo kaget. Tapi, lo jangan nangis, ya", lanjut Dirga sambil memegang bahu Arra dan menatap Arra dalam.
"Gue, pamit, ya, Ra", beranjak meninggalkan Arra.
Hatinya merasa tidak kuat melihat raut wajah Arra. Tetapi, otaknya terus memberi sinyal pada mulutnya untuk mengatakan itu semua. Bodohnya, ia merasakan hal itu hingga memikirkannya saat di atas motor yang ia kendarai.
***
Arra masih terduduk merenungkan perkataan Dirga. Tanpa disadari, bendungan airnya sudah tidak dapat menampung lagi. Air matanya sudah terlalu memperebutkan untuk terjun di pipi Arra. Tidak ingin mengganggu orang tuanya, ia pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Tubuhnya menaiki tempat tidur. Tidak untuk tidur, melainkan untuk duduk di atasnya. Tubuhnya bersandar pada bantal yang juga sedang bersandar. Kakinya menekuk hingga lututnya dapat menutupi wajahnya yang menunduk.
Selama ini? Gue cuma alat. Alat untuk dia cari perhatian?! Hanya karena Retha. Jadi, dia sering ke kelas, cuma buat ngelewatin kelasnya Retha?! Sering ngumpul di depan kelas bareng anak futsal di kelas, cuma buat liat Retha?! Bikin gue jengkel demi cari perhatian Retha?! Nerima gitu aja gosip yang ada, cuma kesempatan buat dia bikin Reta cemburu?! Terus dia peluk gue di depan anak saman, cuma buat liat reaksi Retha?! Lo gila, mainin gue?! Hah?! Pikirnya terus menerus. Mengeluarkan air mata tanpa henti. Membuat batinnya lelah. Hingga terlelap dengan sendirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Last Point (REFISI)
Teen FictionCerita ini terinspirasi dari beberapa kisah nyata yang berbeda dan dikemas menjadi satu tokoh. Melalui pertemuan konyol, Arra menjadi jengkel terhadap Arkha. Pertemuan berikutnya justru membuat Arra jatuh hati karena sikap Arkha yang tiba-tiba berub...