CHAPTER SATU

2K 218 103
                                    

bruk!


"lihat! si gendut jatuh!"

"makanya punya badan jangan gendut-gendut!"

"hahahaha!"

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, anak laki-laki berusia 10 tahun itu pun berusaha keras untuk bangkit. Sekujur tubuhnya telah dipenuhi dengan banyak luka, anak itu meringis, ingin sekali rasanya ia menangis sekencang mungkin.

Namun, ia segera mengurungkan niatnya. Anak itu mengingat pesan penting dari sayang ayah, "anak laki-laki tidak boleh cengeng, anak laki-laki itu harusnya menjadi seseorang yang kuat dan juga pemberani!"

Anak itu meraih tas ransel dan buku-buku mililknya nya yang telah berserakan entah kemana, ia buru-buru merapikan semua barangnya dan pergi dari hadapan ketiga anak laki-laki yang baru saja mengejek dan mencaci makinya.

"eh gendut, mau kemana?!"

"sini dulu lah!"

Anak lelaki itu mengangkat wajahnya dan mulai memberanikan diri untuk menatap ketiganya, "tolong biarin aku pulang, eomma dan appa ku pasti menunggu di rumah.."

"hahaha, masa bodo! emangnya kita peduli?"

"siniin uang sakumu!"

Anak lelaki itu menggeleng, "aku gak punya uang.."

"jangan bohong! kamu kan babi yang kerjanya cuma makan dan makan! mana mungkin gak punya uang saku?!"

Anak lelaki itu sudah pasrah, ia tak dapat lagi menghindar, ia biarkan saja ketiga anak laki-laki itu mendorong dan merogoh sakunya sepuas mereka.

"hiks.."

"eh, si gendut nangis!"

"hahahaha anak laki-laki kok cengeng!"

Tawa dan cacian terus-menerus melewati indra pendengeran anak itu, ia berusaha untuk bangkit, namun ia begitu lemah dan hanya mampu menangis.







"hey kalian!!!"

bruk!

"aw!!" salah satu anak lelaki itu pun tersungkur ke tanah.

"yak! pergi kalian semua!" seorang anak lain pun muncul ditengah-tengah ketiganya.

Anak itu membuang bola basketnya dan menatap tajam ke arah mereka.

"tch, siapa dia?!" celetuk salah satu anak.

Rupanya dia adalah seorang anak perempuan. Anak perempuan itu berpenampilan sangat tomboy, ia hanya memakai kaus oblong berwarna hitam, dan memiliki potongan rambut persis seperti anak laki-laki, "pergi sana! ngapain masih disini?"

"lo siapa?!"

"gue temennya dia!" anak perempuan itu menunjuk ke arah anak lelaki yang sedari tadi dikucilkan oleh ketiganya.

"tch, gue gak percaya! minggir sana! anak cewek gak usah ikut-ikut an!"


bruk!

Belum selesai anak lelaki itu berbicara, tubuhnya sudah kembali tersungkur ke tanah, teman-temannya yang lain yang ingin membantunya pun justru menerima perlakuan yang serupa, "kalian bertiga mau pergi atau gue kasih satu pukulan lagi?"

Ketiganya kembali bangkit dan berdecak, "dasar cewek gak jelas!"

Anak perempuan itu menarik kerah ketiganya dan menatapnya dengan tajam, "apa lo bilang?"

𝙈𝙮 𝘿𝙚𝙖𝙧𝙚𝙨𝙩 𝙀𝙣𝙚𝙢𝙮 [ 𝘙𝘺𝘶𝘫𝘪𝘯 & 𝘓𝘪𝘢 ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang