11. Masa Lalu yang Menjerat

2.9K 620 83
                                    

Evan menatap rumah mewah di hadapannya. Ini adalah rumah Jasmine. Jasmine mengabarinya melalui chat bahwa ia sudah keluar dari rumah sakit dan sekarang ada di rumah.

Bi Samih berjalan tergopoh-gopoh keluar rumah, membukakan pagar untuk Evan.

"Mas Evan, ya?" tanya Bi Samih dari balik pagar.

Evan mengangguk.

"Masuk, mas," Bi Samih membukakan pagar rumah.

"Makasih, Bi," ucap Evan sopan. Ia pun berjalan mengikuti Bi Samih yang telah mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

Suara dentingan piano menyambut Evan begitu ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah Jasmine. Evan yang masih mengikuti Bi Samih, berjalan melewati ruang tamu. Dan di sanalah ia melihat Jasmine.

Jasmine duduk tegak menghadap piano, menatap setiap tuts-tuts piano dengan tangannya yang bergerak lincah. Sesekali matanya terpejam, menikmati alunan nadanya.

"Maaf, mas, Non Jasmine kalau sudah main piano suka lupa waktu. Biar saya panggilkan dulu," jelas Bi Samih.

"Nggak perlu, bi," cegah Evan. "Biar dia selesaikan dulu main pianonya."

Bi Samih mengangguk menurut. "Ya sudah, mas. Saya tinggal dulu, ya. Oh iya, mas mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, bi," tolak Evan halus.

"Nggak papa, mas. Saya siapkan minum sama cemilannya dulu, ya," ucap Bi Samih yang kemudian beranjak pergi.

Evan menatap Jasmine yang masih asyik memainkan pianonya. Sama seperti Jasmine yang larut pada pianonya, Evan pun larut pada permainan piano Jasmine. Tak sedikitpun ia melepaskan tatapannya dari Jasmine. Ada perasaan yang berdesir di dadanya. Entah apa perasaan itu, Evan juga tak mampu mendeskripsikannya.

Jasmine menyelesaikan permainan pianonya beberapa menit kemudian. Ia mengangkat pandangannya tepat pada dentingan terakhir.

Setelah beberapa detik mengumpulkan nyawanya, yang ikut terbang bersama nada-nada yang menggema di ruangan, Jasmine akhirnya menyadari kehadiran Evan. Ia menatap Evan tersipu.

Evan balas tatapan Jasmine dengan tepuk tangan pelan.

"Udah lama?" tanya Jasmine mencoba menutupi rasa malunya saat ini. Pipinya perlahan terasa panas. Pasti Evan melihat permainan pianonya sejak tadi.

"Lumayan. Ternyata lo bisa main piano?" Ia berjalan mendekati Jasmine.

"Sedikit," balas Jasmine sambil mengangkat wajahnya. Sepertinya pipinya sudah tak sepanas tadi.

"Sehebat tadi dan lo cuma bilang sedikit?" lanjut Evan. Ia kini sudah berdiri tepat di samping piano.

Jasmine kembali menundukkan wajahnya. Pipinya kembali terasa panas. Apa-apaan ini? Tak biasanya ia merasa malu seperti ini. Ia adalah Miss Arrogant yang dinginnya bukan main, bagaimana mungkin bisa malu hanya karena hal sesepele ini?

"Sejak kapan lo bisa main piano?" tanya Evan.

"Empat tahun," jawab Jasmine.

"Gue nggak bisa bayangin-"

"Nggak usah dibayangin! Nggak ada yang minta lo bayangin!" potong Jasmine. Entah mengapa pipinya terasa semakin panas. Ia malu untuk membahas hobinya ini dengan orang lain.

Evan sontak tertawa. "Sedingin-dinginnya lo, lo nggak bisa ngatur pikiran gue."

"Ehem," Jasmine berdeham pelan. "Alya gimana tadi?" tanyanya mengalihkan topik.

"Gue mau bahas lo yang main piano, Jess. Bukan Alya," jawab Evan.

"Gue yang nggak mau!" balas Jasmine ketus. Ia segera beranjak.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang