2. Kenalkan, Evan

5.3K 883 208
                                    

Evan menguap lebar ketika melihat seseorang masuk ke kamarnya dan mengobrak-abrik meja belajarnya.

"PR lo?" tanya Gary.

Iya, orang yang masuk dan mengobrak-abrik kamarnya sepagi ini adalah Gary. Sudah menjadi rutinitas bagi Gary untuk memalak jawaban PR Evan, apalagi di tengah musim olimpiade seperti sekarang yang membuatnya sibuk dengan soal-soal lain.

"Bangun, Van! PR lo mana?" tanya Gary lagi sambil mengguncang tubuh Evan.

Salah satu tangan Evan menyembul keluar dari balik selimut sambil memegang beberapa buku tulis.

"Lo sembunyiin PR lo?" tanya Gary curiga.

"Ya enggaklah! Gila kali. Gue kerja di kasur semalam." jawabnya dengan mata setengah terpejam.

Gary segera menyahut PR-PR Evan tanpa memedulikan penjelasan Evan. Setelah memastikan buku yang dibawanya sudah benar, Gary pun segera berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Evan mendengus pelan. Memang sahabatnya satu ini tak berakhlak. Namun entah mengapa, masih saja ia mau berteman dengan Gary.

Sebenarnya tujuan Gary itu baik. Ia hanya ingin memastikan sahabatnya masih mau belajar. Karena jika tidak, entah akan bagaimana kehidupan sekolah Evan. Tidur di kelas, tidak mau mendengarkan guru, tidak kerja PR. Setidak niat itu ia di sekolah.

Gary jelas tahu apa yang membuat Evan seperti sekarang. Ada rasa bersalah di masa lalu yang masih belum bisa juga ia lepaskan. Sudah ratusan kali ia berusaha untuk membuat Evan kembali semangat mengejar tujuan dan mimpi-mimpinya, namun usahanya akan selalu berujung sia-sia.

Mungkin akan ada orang lain yang mampu membuat Evan memaafkan dirinya sendiri di masa lalu. Suatu hari.

Evan beranjak dari kasurnya. Tidak menaruh buku PR di meja belajarnya memang sebuah penyesalan. Jika saja semalam ia tidak terlalu malas untuk menaruh buku-buku itu kembali ke meja belajar, maka tidurnya pagi ini tak mungkin terganggu.

Pukul enam. Setengah jam menjelang bel masuk sekolahnya. Evan berjalan keluar kamarnya, menuju meja makan. Perutnya terasa keroncongan.

"Evan? Tumben sudah bangun?" tanya ibunya, Irina, begitu Evan tiba di meja makan. Tangannya dengan lincah mengoleskan selai-selai di atas roti dibantu dengan Mbak Ina, asisten rumah tangga di rumahnya.

"Diganggu Gary," jawab Evan singkat sambil mengambil roti tawar yang telah dioles selai.

"Oh," jawab mamanya. "Besok mama minta dia ganggu kamu lagi aja," lanjut Irina sambil kembali mengoleskan selai ke roti.

Evan hanya menjawab ibunya dengan dengusan pelan. Dilahapnya roti tawar dalam beberapa gigitan saja, kemudian diambilnya lagi satu roti tawar lain.

"Pagi, ma!" sapa Arjuna, kakak Evan, yang datang dengan peluh di wajahnya sehabis jogging pagi. Ia membasuh beberapa peluh di dahinya dengan tangan, mengabaikan handuk kecil yang masih tersampir di lehernya.

"Pagi, Juna," sahut Irina.

Dengan seluruh keringat yang masih membanjiri tubuhnya, Arjuna pun duduk di sebelah Evan. Mengabaikan tatapan jijik yang dilontarkan adiknya.

"Kerjaan lo tiap pagi memang bikin rumah bau, ya?" tanya Evan keki.

"Olahraga, Van," sahut Arjuna tanpa mempedulikan perasaan dongkol adiknya. Ia pun ikut mengambil roti yang baru saja dioles oleh Irina.

"Juna, mandi dulu!" tegur Irina reflek. "Jangan duduk di meja makan kalau lagi keringatan!"

Arjuna tertawa kecil. "Siap, bos," jawabnya beranjak berdiri sambil tetap membawa roti tawar yang telah dipegangnya.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang