33. Titik Akhir

4.2K 509 79
                                    

Jasmine memegang kepalanya yang mendadak terasa sangat pusing. Ia memegang erat pegangan kursi rodanya. Rumah kaca pagi ini tiba-tiba terasa berbeda seiring dengan pandangannya yang kabur.

Andita yang menyadari hal itu menjadi khawatir. Tangannya dengan cepat memegang kedua bahu Jasmine.

"Jasmine?" panggil Andita.

Jasmine menoleh ke arah Andita. Ia akhirnya berhasil menguasai rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya.

"Jasmine, kamu nggak papa? Muka kamu pucat," tanya Andita khawatir.

"Nggak papa, kok, ma," Jasmine menggeleng pelan sembari tersenyum, mencoba meyakinkan Andita.

"Kamu yakin? Kita masuk dulu aja, ya? Biar bunganya mama yang siram," tanya Andita lagi.

Lagi-lagi Jasmine menggeleng. "Jasmine beneran nggak papa, kok, ma," jawab Jasmine. "Jasmine cuma haus aja."

Andita menghela napas. "Ya sudah, kamu tunggu di sini dulu, ya. Biar mama ambilkan kamu minum."

"Makasih, ma," jawab Jasmine. Kemudian ia menarik dan memeluk Andita erat.

Terkejut dipeluk tiba-tiba, Andita terpatah-patah membalas pelukan itu.

"Jasmine sayang mama," bisik Jasmine.

Andita tersenyum. "Mama juga sayang sama Jasmine."

Andita akhirnya melepas pelukan Jasmine. "Tunggu, ya," ucapnya sembari mengelus pipi Jasmine yang pucat.

Jasmine pun mengangguk.

Andita berjalan masuk ke dalam rumah dengan sebuah senyuman yang tak lepas dari wajahnya. Suasana Bandung pagi ini terasa lebih indah dari biasanya. Ia bahagia, terlalu bahagia bahkan.

Andita kembali ke rumah kaca hanya berselang beberapa menit kemudian, dengan membawa segelas minuman.

"Ini, sayang, ucapnya pada Jasmine.

Hening.

Andita berjalan mendekati Jasmine di kursi rodanya. "Ini mama bawakan minum-"

Ucapannya terhenti begitu melihat Jasmine yang telah terkulai tak sadarkan diri di kursi rodanya.

"Jasmine!" Andita segera berlari ke arah Jasmine. Lupakan gelas yang ia bawa, lupakan senyum yang menghiasi wajahnya tadi. Gelas itu jatuh begitu saja, pecah seperti kebahagiaannya saat ini. Ia segera mendekap tubuh Jasmine.

"Jasmine? Bangun, nak," panggil Andita. Tak terhitung berapa kali sudah dirinya memanggil nama Jasmine. Diguncangnya tubuh Jasmine berkali-kali, namun tetap tak ada reaksi, mata itu tetap terpejam. "Mas Setio! Oma!" teriak Andita kalut, memanggil bantuan.

Tak lama berselang Setio datang, berlari terburu-buru. Ia pun segera mendekati Jasmine yang terkulai tak sadarkan diri.

Oma menyusul tak lama kemudian, ikut mendekat.

Tanpa banyak bertanya, Setio segera mengangkat tubuh anaknya itu, membawanya ke rumah sakit. Rasa panik dengan cepat menyelimuti keluarga ini.

Andita menyusul di belakangnya. Menangis sambil berkali-kali melafalkan doa di dalam hatinya. Kebahagiaan yang baru saja ia rasakan itu terenggut begitu saja. Suasana Bandung tiba-tiba terasa begitu dingin, menambah sempurna ketakutan bagi keluarga ini.

***

Telepon Evan berdering. Nama Tante Andita muncul di layar ponselnya. Evan mengerutkan dahinya, firasatnya mendadak tak enak. Tak biasanya Tante Andita menghubungi dirinya langsung seperti ini. Hal yang membuat mereka saling menghubungi selama ini hanyalah Jasmine.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang