34. Jasmine dan Biola Tua (Extrachap)

4K 490 51
                                    

Please play musiknya, ya. Biar makin dapet feelnya ❤️

🌹🌹🌹

Satu bulan setelah kepergian Jasmine.

Sore hari, warna jingga keemasan sedang mewarnai Jakarta. Polusi kembali mewarnai hari-harinya. Evan perlahan mulai kembali menata hidupnya. Dengan bantuan Gary, sahabatnya, ia mulai kembali meneruskan mimpinya.

Semoga semester baru di tahun kedua sekolahnya ini mampu memberikan angin segar pada tujuan dan mimpi Evan.

"Jasmine nggak akan suka lo seperti ini, Van," tegur Gary di bukit kala itu.

Beberapa hari setelah Jasmine pergi, hampir setiap hari Evan berkunjung ke bukit itu. Berteriak, memaki, memarahi takdir, menyiksa dirinya sendiri.

Iya, Jasmine tak akan suka dengan sikapnya yang menyerah begitu saja. Jasmine tak akan suka dengan dirinya yang terus berkubang dalam kesedihan. Mau tak mau, ia harus terus berjalan. Menapak langkah demi langkah untuk kembali bangkit.

Dan kini, meskipun masih hancur, Evan telah berhasil menata kembali rencana-rencana masa depannya. Ia memutuskan untuk banyak aktif pada kegiatan akademis sekolah. Meskipun tak ikut olimpiade, ia tetap banyak terlibat dan membantu berbagai kegiatan olimpiade itu. Mulai dari mengajarkan anak baru hingga menjadi teman diskusi Pak Roni bersama dengan Gary.

Ia telah memantapkan langkahnya pada mimpinya. Tak ingin membuat Jasmine kecewa. Tak ingin segala usaha Jasmine berakhir sia-sia seiring dengan kepergiannya.

"Thanks ya, Gar," ucap Evan seusai latihan olimpiade.

"Sama-sama," jawab Gary. "Thanks buat apa, btw?"

"Buat nggak mukul gue karena udah bikin lo jalan kaki dua jam ke bukit."

Gary tertawa dalam dengusannya. Ia tahu bukan itu maksud dari makasih yang Evan ucapkan.

"Buat sabar ngurusi gue," jawab Evan akhirnya.

Gary menepuk bahu Evan pelan. "Gue lakuin itu juga untuk Jasmine, kok. Gue udah janji ke dia untuk nggak biarin lo ngelepas mimpi lo."

Evan tersenyum getir. Bahkan disaat terberatnya, Jasmine masih sempat menitipkan pesan pada Gary untuk menjaganya.

"Besok di depot biasa," ujar Gary. "Traktir gue."

Evan hanya mampu tertawa melihat tingkah Gary yang selalu memiliki cara aneh untuk menghiburnya. Entah akan seaneh apa sikap Gary pada pacarnya kelak.

***

Evan berjalan menyusuri trotoar pertokoan kuno di ibu kota. Langkahnya berhenti di sebuah toko yang tak lagi asing baginya.

Toko musik tua.

Perlahan, Evan melangkah masuk ke dalam bangunan kecil nan kuno dari toko musik tersebut. Ia perhatikan baik-baik setiap detail yang ada di toko musik ini.

Tak ada yang berubah sejak terakhir kali ia menjejakkan kakinya ke sini. Lantai toko itu masih sama abu-abu tuanya, kipas anginnya pun masih berputar pelan, begitu pula dengan alat musik itu.

Langkah Evan terhenti pada sebuah biola tua. Biola yang pernah Jasmine mainkan.

Tangan Evan perlahan menyusuri permukaan biola yang dingin tersebut. Ia yakin, tak ada orang lain yang menyentuhnya setelah Jasmine. Tak ada orang lain yang mampu memainkannya sebaik Jasmine. Biola itu seolah hanya ingin bermain dengan Jasmine.

Evan kembali menarik napasnya panjang. Perasaan perih itu kembali menghampirinya. Ia rindu Jasmine. Ia rindu melihat Jasmine yang memainkan biola ini, tersipu malu setelahnya.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang