18. Sebuah Pernyataan

2.3K 514 55
                                    

"Evan," sapa Andita begitu melihat Evan di depan pintu kamar Jasmine.

"Sore, tante. Saya mau jenguk Jasmine."

"Jasmine-nya baru saja tidur, sih. Tapi kalau kamu mau jenguk nggak papa, kok," jawab Andita.

"Oh, kalau gitu nggak usah, tante. Biar Jasmine istirahat dulu aja," tolak Evan halus.

"Nanti biar tante sampaikan ke Jasmine kalau kamu datang," jelas Andita.

"Iya, makasih, te," balas Evan. "Bagaimana keadaan Jasmine?"

"Sudah baikan. Mungkin besok atau lusa dia sudah bisa pulang," jelas Andita.

Evan mengangguk lega. "Kalau gitu saya balik dulu, te. Cepat sembuh untuk Jasmine, ya."

"Makasih, Evan. Kamu juga hati-hati, ya," balas Andita.

Evan pun berpamitan dan kembali berjalan menyusuri koridor rumah sakit, menuju mobilnya. Setidaknya, hatinya sudah lebih lega begitu mengetahui keadan Jasmine yang sudah membaik.

"Evan?" sapa Irina yang berdiri di hadapan Evan.

Evan berdiri diam melihat ibunya. Ibunya memang bekerja sebagai dokter spesialis anak di rumah sakit ini, namun ia hanya tak menyangka bisa berpapasan seperti ini.

"Kamu ngapain di sini?" tanya wanita itu.

"Jenguk teman, ma," jawab Evan.

"Oh," Irina mengangguk. "Kamu sudah makan?"

Evan menggeleng. Ia baru saja menyadari bahwa perutnya sedang berteriak karena belum makan sejak pagi. Satu hal yang tidak ia suka adalah ketika stres ataupun ada masalah, napsu makannya hilang entah kemana.

"Ya sudah, ayo temani mama makan. Kebetulan mama juga mau makan siang," ajak Irina.

"Jam segini banget mama makan siangnya?" tanya Evan. Ia melirik jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul empat sore.

"Iyalah. Ada banyak pasien yang masih harus mama urus," jawab Irina. Ia melangkah melewati Evan menuju cafetaria rumah sakit.

"Kalau maag mama kumat, gimana?" tanya Evan. Ia berbalik sambil mengikuti langkah Irina.

"Tadi mama sudah makan roti buat ganjal perut," jawab Irina.

"Oh," sahut Evan. Tapi jelas ia tak percaya dengan ucapan Irina itu.

"Mau mama panggilkan papa juga?" tanya Irina.

Evan menggeleng. "Papa pasti lagi sibuk," tolak Evan.

"Kalau dia tahu anaknya lagi di sini, ya pasti disempatin, lah," balas Irina.

Evan kembali menggeleng. Ia tahu seberapa sibuk papanya sebagai dokter bedah di rumah sakit ini, dan ia tak ingin mengganggu.

"Ya sudah. Kamu mau pesan apa?" tanya Irina. Mereka telah tiba cafetaria.

"Terserah mama," jawab Evan.

Irina tersenyum. "Nasi rendangnya satu, soto ayamnya satu, ya, Pak." Ia tahu pasti apa makanan favorit anaknya satu ini selain siomay, nasi rendang.

***

"Siapa yang sakit? Gary?" tanya Irina membuka percakapan. Mereka telah duduk di salah satu bangku cafetaria sambil menikmati makanan masing-masing.

"Bukan," jawab Evan.

"Oh? Lalu? Kamu punya teman lain selain Gary, toh?" tanya Irina.

Evan menatap Irina. "Segitunya, ya?" tanya Evan jengkel.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang