4. Titik Mula

3.8K 770 212
                                    

Jasmine duduk di sudut kasur kamarnya. Hanya duduk diam, sambil menatap keluar jendela kamarnya. Kepalanya terasa begitu sakit sejak ia bangun pagi ini. Tidak, hari ini Jasmine sama sekali tidak bangun kesiangan. Ia justru bangun lebih pagi akibat sakit kepala yang datang tiba-tiba.

Pukul enam pagi. Sudah satu jam lebih ia berusaha meredakan nyeri di kepalanya. Wajahnya tampak begitu pucat. Beberapa macam botol obat telah ia minum untuk menghilangkan rasa sakitnya, tetapi hasilnya nihil. Sakit kepala itu tetap ada, bahkan tidak berkurang sama sekali dari kepalanya.

Seseorang mengetuk pintu kamarnya pelan.

"Non Jasmine? Ayo bangun, nanti kesiangan," ucap Bi Samih dari depan pintu kamar Jasmine.

Hening. Tak ada jawaban yang dikeluarkan oleh Jasmine. Ia masih berusaha untuk bisa menenangkan pusing yang semakin sering melandanya ini.

"Non Jasmine? Bangun, non!" suara Bi Samih semakin keras. Terdengar suara Bi Samih yang akan membuka pintu kamar Jasmine, tetapi tidak bisa karena terkunci

Jasmine menghela napas panjang. "Iya, Bi. Jasmine sudah bangun," jawab Jasmine lemah.

"Oke, Non. Bibi tunggu di bawah, ya. Sarapannya sudah siap," balas Bi Samih sembari meninggalkan pintu kamar Jasmine.

Jasmine bangkit dari kasurnya perlahan. Sakit di kepalanya mulai berkurang. Sedikit demi sedikit. Mungkin efek dari obatnya mulai bekerja. Atau mungkin sakit itu yang mulai bosan dengannya.

Setelah bersiap, Jasmine memakai lip tint dan mengenakan cardigan biru mudanya. Ini cukup untuk menutupi wajah pucat serta berat badannya yang semakin menyusut. Ia melihat ke pantulan dirinya di cermin, memastikan sekali lagi bahwa ia sudah tampak sempurna. Sudah tidak ada lagi wajah pucatnya tadi pagi. Ia pun membawa tasnya dan berjalan turun ke meja makan.

Meja makan, seperti biasanya, terasa dingin ketika ada ayahnya.

Setio hanya menatap Jasmine sekilas sebelum kembali menyantap sarapannya. Tidak ada sapaan pagi yang hangat. Tidak pernah ada selama beberapa tahun terakhir.

Jasmine duduk di seberang Setio, mengambil makanan yang telah disiapkan oleh Bi Samih.

"Telat lagi?" tanya Setio dingin, setengah menyindir. Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut ayahnya pagi ini.

Jasmine menjawab dalam diam.

"Sekolah macam apa kamu?" tanya Setio sama dinginnya.

Lagi-lagi Jasmine hanya diam. Ayahnya tak tahu sakit yang menahannya beranjak dari manapun. Ayahnya juga tak tahu insomnia yang menyerangnya hampir setiap malam. Yang ayahnya tahu hanyalah Jasmine yang sering bangun kesiangan. Jasmine yang pemalas.

"Sudah, mas," lerai Andita. "Jasmine, kamu lekas habiskan makanan lalu berangkat, ya," lanjut Andita pada Jasmine.

Jasmine hanya diam. Tanpa menyelesaikan makannya, ia segera bangkit. Tak nyaman berlama-lama di sini. Ia mengambil tasnya dan tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia pergi.

***

Terik menerpa pagi ini. Pukul 7 pagi. Jelas Jasmine masuk ke jajaran anak terlambat lagi.

"Kenapa terlambat?" tanya Pak Bowo yang selalu setia menjaga gerbang sekolah.

"Kesiangan, Pak," jawab Jasmine singkat.

"Kamu setiap hari kesiangan, mau jadi apa nanti, hah?" tanya Pak Bowo.

Tak berniat menjawab, Jasmine hanya diam saja.

"Sana! Berdiri di barisan anak telat," pinta Pak Bowo.

Jasmine pun menuruti perintah Pak Bowo dan berjalan ke barisan anak telat yang sayangnya seluruh barisannya terkena terik matahari.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang