7. Kisah Andita

3.4K 703 40
                                    

Jasmine terbangun dan mendapati ayahnya masih setia berada di sisinya, tersenyum menyambut Jasmine yang baru saja bangun dari tidurnya.

"Pagi, sayang," sapa papanya.

"Pagi, pa," jawab Jasmine tersenyum berseri.

"Makan, ya? Papa suapi." Setio mengambil piring makanan yang telah diantarkan oleh perawat ke kamar Jasmine.

"Papa nggak kerja?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Jasmine. Pertanyaan reflek karena ayahnya yang selalu sibuk setiap paginya, tak sempat sekadar menyapa, apalagi bercakap ringan.

"Papa izin hari ini. Papa sudah minta orang kepercayaan papa buat ambil alih pekerjaan sementara," jawab Setio sambil tersenyum, seolah-olah mewajarkan pertanyaan Jasmine barusan.

"Tapi, kan, ada banyak hal yang harus papa urus buat perusahaan?" tanya Jasmine ragu-ragu.

Setio menggeleng. "Kamu jauh lebih penting bagi papa daripada perusahaan-perusahaan itu, Jasmine."

Perlahan, senyum Jasmine merekah. Senyum yang begitu bahagia. Entah kapan terakhir kali ia tersenyum seperti ini. Ia bahagia karena pada akhirnya ia benar-benar bisa berdamai dengan ayahnya. Ternyata benar, penyakit ini adalah harga yang harus ia bayar untuk bisa hidup bahagia bersama ayahnya.

"Sini, papa suapi, ya?" ujar Setio sambil mengisi sendok dengan masakan rumah sakit.

Jasmine mengangguk patuh, bagai anak kecil yang belum bisa makan sendiri dan harus disuapi oleh ayah dan ibunya.

Secara telaten, ia suapkan sendok demi sendok ke mulut Jasmine.

Di balik pintu rumah sakit, di sela-sela kaca pintu, tanpa Jasmine dan Setio sadari, Andita telah berdiri menyaksikan semua kejadian mengharukan pagi ini. Kejadian yang begitu menghangatkan hatinya, membuat titik air matanya turun begitu saja karena terharu.

Kejadian inilah yang ia harapkan akan terjadi bertahun-tahun yang lalu, bahkan sebelum ia menikah dengan Setio.

***

Andita memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke tempat lain. Ia tak ingin mengganggu momen mengharukan itu.

Dengan satu buah tas berisikan baju ganti yang ia bawakan untuk Setio, maka melangkahlah ia ke taman rumah sakit yang terasa begitu sejuk pagi ini.

Burung-burung beterbangan kesana kemari sambil menyanyi di pagi hari, membuat suasana taman terasa begitu nyaman. Beberapa orang berjalan di sekitar taman, menikmati hawa pagi. Ada yang sedang melepas penat, ada juga yang sedang terapi jalan di tengah nyamannya suasana. Rumput masih terasa basah setelah disiram pagi tadi, membuat suasana semakin terasa segar.

Andita duduk di salah satu bangku taman yang kosong. Ia menyandarkan dirinya. Tak ia rasakan lelah dan kantuk yang hinggap akibat tidak tidur semalaman. Hanya sesekali ia tertidur, itu pun tak sampai lima menit sebelum akhirnya ia kembali terjaga selama berjam-jam.

Jika ditanya, apakah ia menyayangi Jasmine? Jawabannya adalah sangat. Ia sangat menyayangi Jasmine bahkan sebelum ia dekat dengan Setio.

Ia menyayangi Jasmine lebih dari sekadar anak tirinya. Jasmine adalah salah satu pasien paling berharganya. Pasien dengan penuh kemisteriusan di dalam gejolak emosinya. Tak ada yang pernah memahami apa yang benar-benar dirasakan oleh Jasmine saat itu, termasuk ayahnya sendiri. Hanya ia dan Oma, yang benar-benar memahami apa yang ia rasakan. Pikirannya pun melayang pada kejadian tujuh tahun yang lalu, ketika ia pertama kali bertemu dengan Jasmine.

***

Jakarta, tujuh tahun lalu.

Seseorang datang ke rumah praktiknya saat petang sudah muncul.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang