16. Janji Terikrar

2.5K 531 45
                                    

Evan berjalan menyusuri tapak kerikil di hadapannya, bersama dengan Irina. Senja telah muncul di ujung barat, menemani mereka di pemakaman hari ini.

Sehari setelah Evan memberitahukan kunjungannya ke pemakaman Nana, serta keputusannya untuk mulai mengejar mimpi sebagai dokter, ia membuat janji dengan ibunya untuk mengunjungi Nana. Berdua saja. Memberikan waktu bagi Evan untuk melepaskan beban di hatinya bersama ibunya.

Irina duduk bersila di hadapan sebuah pusara bertuliskan Alina. Disentuhnya batu nisan itu seolah ia sedang mengelus wajah anaknya.

Evan ikut bersila di sisi ibunya. Membersihkan satu-dua daun kering yang jatuh di atas tempat Nana tertidur.

"Nana pasti bahagia melihat kamu akhirnya bisa menerima kepergian dia, Van," ucap Irina. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia sangat merindukan anaknya. Tak peduli seberapa ia mencoba melepas kepergian anaknya, mengikhlaskannya, kerinduan itu masih saja kuat. Masih sama kuatnya dengan hari dimana anaknya pergi.

Evan mengangguk pelan. Dipeluknya ibunya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang bebas mengelus pusara adik yang begitu ia sayangi itu. "Maaf ya, Na, karena kamu jarang ketemu kakak. Maaf juga karena kakak sering banget bikin mama papa sedih."

Irina mengelus tangan Evan yang memeluknya. "Kakak kamu, sudah memutuskan kembali mimpinya, Na. Kamu selalu mau lihat kakak kamu menjadi dokter, kan?" tanya Irina bergetar. "Sebentar lagi kamu akan mampu melihatnya, Na. Kakak kamu ingin menjadi dokter lagi."

Tangis perlahan pecah di antara Evan dan Irina. Mereka merengkuh satu sama lain. Melepaskan seseorang yang begitu mereka sayang memanglah bukan hal yang mudah, namun waktu terus berlalu, hidup terus berjalan. Satu-satunya pilihan yang mereka punya hanyalah terus menjalani hidup.

"Kakak janji akan bahagiain mama, papa, dan juga Juna, Na. Kamu yang tenang di sana, ya. Kamu jaga diri kamu sampai kita bertemu lagi suatu saat nanti.," ucap Evan.

Angin menyapu dedaunan yang gugur di tanah, seolah ingin membawa seluruh kenangan buruk pergi. Perlahan, mereka berjalan meninggalkan area pemakaman ditemani cahaya matahari yang semakin jingga.

***

"Gimana kemarin?" tanya Jasmine pada Evan.

Jasmine kembali mengikuti 'les privat' Evan setelah sehari sebelumnya tertunda karena Evan yang ingin kembali mengunjungi pemakaman Nana.

"Apanya yang gimana?" tanya Evan pura-pura tak paham. Ia kembali menatap buku di hadapannya. Mencoba menerka materi apa dan bagaimana caranya menyampaikan materi itu pada Jasmine.

"Ke pemakaman Nana," jawab Jasmine.

"Oh. Nggak gimana-gimana," jawab Evan pendek, masih berkutat pada buku di hadapannya.

"Sudah lega, atau masih marah, atau masih sedih, atau gimana gitu?" pancing Jasmine.

"Hmm," jawab Evan singkat.

"Van!" protes Jasmine. Ditariknya buku matematika itu dari hadapan Evan.

"Apa?" tanya Evan mencoba menyabarkan diri. Nih anak, udah dibantu ajarin malah ngelunjak! batinnya.

"Gima... Lo nggak tidur semalaman?" tanya Jasmine begitu menyadari ada yang salah dari wajah Evan.

"Tidur," jawab Evan singkat.

"Lo bener-bener nggak tidur semalaman?" tanya Jasmine lagi.

"Tidur," jawab Evan singkat.

"Oke, lo beneran nggak tidur semalaman," jawab Jasmine setelah mengamati lamat-lamat wajah Evan. "Nggak usah belajar dulu, ya? Mending fokus sama diri lo dulu."

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang