5. Sejuta Rahasia

3.6K 784 271
                                    

Jasmine benci bau ini. Bau obat yang tercium begitu kental. Bau ini adalah bau yang sama yang mengiringi kepergian ibu kandungnya. Ia membenci segala sesuatu yang mengingatkannya pada kejadian itu. Ruangan serba putih itu seketika terasa suram.

Jemari Jasmine mengetuk-ketuk meja dokter di hadapannya sambil menunggu dokter selesai membaca dan mencatat pada kertas-kertas di hadapannya.

Dokter Aryo, dokter yang telah menangani Jasmine beberapa bulan terakhir ini, melepaskan kacamatanya. Ia mengusap wajahnya yang terlihat begitu lelah. "Kamu sudah bilang ke orang tua kamu?" tanyanya.

Jasmine menggeleng pelan.

Sebuah desahan panjang terdengar dari dokter Aryo. "Jasmine, penyakit kamu bukan penyakit main-main, Nak. Orang tua kamu harus segera tahu tentang hal ini agar tindakan medis bisa segera diberikan."

Jasmine meremas tangannya. Berbicara dengan orang tuanya bukanlah perkara mudah. Ayahnya adalah orang yang begitu sibuk, sempatnya hanya memarahinya karena tak bisa sekolah dengan benar. Bagaimana reaksi ayahnya jika mengetahui penyakitnya? Sungguh, ia tak ingin merepotkan siapapun.

"Apa perlu saya yang bicara langsung ke papa kamu?" tanya dokter Aryo.

Jasmine menggeleng cepat. Tidak, itu adalah pilihan yang lebih buruk.

"Lalu kapan, Jasmine? Ini bukanlah perkara sepele," desak dokter Aryo.

"Apa nggak bisa beri saya obat saja, dok. Obat dengan dosis paling tinggi, sebanyak apapun itu, pasti akan saya minum," tawar Jasmine.

Dokter Aryo kembali mendesah panjang. "Jasmine, obat itu tak akan pernah menyembuhkan penyakit kamu. Saya sudah jelaskan sejak awal, kan? Obat-obat itu bukanlah solusi di sini," jelas dokter Aryo.

Jasmine menundukkan kepalanya. "Akan saya coba bicarakan secepatnya, dok," jawab Jasmine akhirnya. Sepertinya 'berkomunikasi' adalah satu-satunya jalan keluar di sini.

Dokter Aryo mengangguk. "Kalau susah untuk mengatakannya, kamu bisa minta tolong saya. Kamu tahu, kan, seberapa dekat hubungan saya dengan ayah kamu?"

Jasmine mengangguk, meskipun jauh di dalam hatinya, ia memasukkan tawaran itu sebagai pilihan terakhir. Jujur, ia tak ingin orang tuanya tahu tentang hal ini dari orang lain. Ia hanya ingin menyampaikan hal ini dari dirinya sendiri.

***

Jasmine membuka pintu rumahnya perlahan, berharap tidak ada orang yang menunggunya di balik pintu.

Pukul 9 malam. Sudah lewat jauh dari jam seharusnya dia pulang sekolah.

"Dari mana kamu?" suara dingin menyambutnya tepat setelah ia sampai di ruang keluarga.

Jasmine terdiam sebentar. "Belajar kelompok, Pa," jawabnya berbohong.

"Jangan bohong kamu! Kalau kamu belajar sampai malam, mana mungkin nilai kamu sekarang jelek semua?" bentak Setio.

"Sudah, mas. Kasihan Jasmine. Dia pasti kelelahan habis belajar seharian," balas Andita. Ia mengelus pelan pundak Setio agar amarahnya tidak semakin menjadi.

Jasmine hanya menunduk sambil menghela napas panjang.

"Jasmine sudah makan?" tanya Andita lembut.

Jasmine mengangkat kepalanya sedikit. "Jasmine nggak lapar, Te."

"Kamu itu, sudah diperhatikan masih saja nggak puas. Mama kamu sudah menyiapkan kamu makanan," tegur Setio lagi.

"Sudah, mas. Cuma masalah makanan," lerai Andita.

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang