19. Pernyataan Balik

2.3K 516 70
                                    

"Jasmine?" panggil Alya menyusul Jasmine masuk ke dalam kelas. Seperti biasa, ia habis dari perpustakaan. Bersembunyi, seperti yang diajarkan oleh Evan. Dengan cara itu, Alya tak lagi diganggu oleh anak-anak yang suka memalak jawabannya. Perlahan, ia mulai mampu untuk membela dirinya sendiri.

Jasmine menoleh. Bel masuk baru saja berbunyi, ia dan beberapa anak lain hampir saja telat dan mendapat hukuman dari Pak Bowo.

"Kemarin kamu kenapa? Kamu sakit lagi, ya? Sudah periksa ke dokter?" tanya Alya beruntun.

"Gue nggak sakit, Al," jawab Jasmine bohong.

"Terus?" tanya Alya bingung.

"Gue ke Bandung," karang Jasmine.

"Oh," ucap Alya akhirnya meski ia tak sepenuhnya percaya pada jawaban Jasmine barusan.

Sesampainya di bangku, Jasmine tak sengaja melihat ke arah Evan. Tanpa ia sangka, Evan juga sedang balik menatapnya.

Suasana canggung kembali menyelimuti mereka ketika tatapan mereka bertemu. Dan tak sampai sedetik kemudian, mereka saling melemparkan tatapan ke arah lain. Menghindari satu sama lain.

Tak ada lagi komunikasi di antara mereka sejak Evan menyatakan perasaannya pada Jasmine dua hari lalu. Entah karena takut atau canggung satu sama lain.

"Kenapa, Jess?" tanya Alya menyadari perubahan sikap Jasmine barusan.

Jasmine hanya menatap Alya sekilas lalu duduk begitu saja di bangkunya tanpa menjawab pertanyaan Alya.

Evan tersenyum tipis. Ada kebahagiaan tersendiri melihat Jasmine. Ia merasa lebih semangat dari biasanya.

"Ngapain lo senyum-senyum?" bisik Gary.

"Nggak, gue nggak senyum," bantah Evan.

"Senang bisa lihat dia lagi?" lanjut Gary.

"Diem, lo! Jangan sok tahu," bantah Evan.

Gary tak melanjutkan lagi ucapannya. Ia hanya tertawa. Sahabatnya ini benar-benar dimabuk cinta.

***

Tuk... tuk... tuk...

Jasmine mengetukkan tangannya ke meja, sementara Evan terus membolak-balikkan bukunya tanpa ada perhatian yang ia berikan pada lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Mereka sama-sama hanyut pada pikirannya masing-masing.

Suasana canggung yang menyelimuti mereka jelas membuat ketidaknyamanan di kelas ini. Terlebih, tak ada orang lain di kelas ini yang mampu menolong mereka untuk mencairkan suasana.

"Van."

"Jess."

Mereka memanggil satu sama lain secara bersamaan. Seolah memecahkan keheningan untuk keheningan yang lain.

"Eh, kamu dulu aja," ucap Jasmine.

"Nggak penting, kok. Kamu dulu aja," jawab Evan mempersilakan.

"Ng, sebenarnya aku nggak tahu mau ngomong apa, sih," jawabnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"M-maksudnya?"

"Mm, yah," Jasmine masih menggaruk kepalanya itu. "Suasananya canggung aja. Jadi aku manggil kamu supaya ada suara," jawab Jasmine gugup.

Evan tersenyum tipis mendengar jawaban Jasmine, padahal di dalam hatinya ia sudah tertawa geli melihat sikap Jasmine. Ini kali pertamanya menatap Jasmine tampak begitu gugup.

"Kalau kamu?" tanya Jasmine.

"Eh?" Evan berdeham pelan. "Hm, masalah apa yang aku bilang kemarin lusa," ucapannya terhenti. Sebenarnya ia bingung apa yang harus ia katakan saat ini. "Mungkin bisa kamu abaikan aja."

Melodi untuk Jasmine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang