37. Sakit Aja Terus!

92 35 152
                                    

Heyo.
Sebelum baca, tekan bintangnya ☆ dulu yok🙃

-------

Setelah perjalanan yang dirundung berbagai tanda tanya, akhirnya Hauraa tiba jua di kediaman ustadzah yang katanya memanggilnya, Layla.

Sebagian ustadz atau ustadzah yang mengajar di pesantren Nurul Huda ini memang tinggal di pekarangan asrama santri. Terlebih lagi bagi pengurus, Ustadzah Layla salah satunya. Namun, banyak juga yang tinggal di luar pesantren.

"Dari awal saat mendengar kabar, bahwa kau akan menempuh pendidikan di sini, saya sudah tak sabar untuk mengutarakan hal ini. Hanya saja, beberapa bulan ini saya selalu saja disibukkan dengan berbagai hal." Ustadzah Layla mulai membuka suara sembari tersenyum menatap Hauraa yang tengah menunduk.

Dalam hati, Hauraa semakin penasaran. Berbagai pertanyaan berjejeran hendak diutarakannya. Namun, ia enggan untuk menanyakannya. Ralat! Segan lebih tepatnya.

"Saya dengar, kau juga sangat pintar. Rajin  pula. Sudah berapa banyak hafalanmu, Nak?" Hauraa mencoba memberanikan diri untuk sedikit mengangkat kepalanya. Lalu, tersenyum kikuk.

"Ustadzah berlebihan. Saya tidak sepintar yang orang-orang katakan. Hafalan saya juga masih sedikit. Sangat sedikit malah." Hauraa mulai membuka suara. "Saya sangat jauh berbanding balik dari apa yang Ustadzah bayangkan."

Detik itu juga Layla tersenyum. Anak di depannya ini benar-benar rendah hati.

"Kau mengingatkanku pada Aisyah," ucap Layla. "Sama persis. Selalu saja merendah."

Hauraa menautkan kedua pangkal alisnya. Aisyah? Hauraa jadi teringat ibunya. Kenapa nama itu sama dengan nama ibunya? Ah, Hauraa berlebihan. Memangnya di dunia ini yang bernama Aisyah hanya satu? Ada-ada saja.

"Iya, Aisyah. Ibumu." Layla kembali bersuara sembari tersenyum. Sepertinya ustadzah ini mengetahui apa yang terbesit di pikiran Hauraa.

"Umi?" tanya Hauraa. "Ustadzah mengenal Umi?" Seketika itu juga Layla terkekeh. Membuat Hauraa semakin bingung.

"Iya." Layla mengangguk mengiyakan. "Aisyah itu teman saya sewaktu masih seusia kamu. Teman satu kamar, satu kelas juga. Ah, bukan teman. Lebih tepatnya sahabat. Kita berdua selalu saja bersama." Layla mulai menjelaskan sambil tersenyum. Ia seakan kembali mengingat masa-masa dulu.

"Saat kita sudah lulus, kita masih kerap bertukar pesan dan sesekali bertemu. Namun, saat kita sudah sama-sama berkeluarga. Perlahan kita disibukkan dengan urusan rumah tangga masing-masing. Hanya saja kita masih bisa bertukar pesan hingga sekarang. Meski tak terlalu kerap." Layla terlalu asik menceritakan tentang persahabatannya bersama Aisyah, ibu Hauraa. Hingga melupakan niat awalnya tentang prihal memanggil Hauraa. Biasalah, emak-emak. Kalau cerita lupa segalanya. Wkwk

"Terakhir kita bertemu kapan, ya? Hem, sudah lama sekali. Kau masih kecil waktu itu, masih ingusan." Layla tertawa renyah. Sedangkan Hauraa tersipu malu membayangkan dirinya waktu itu. Membayangkan dirinya yang masih ingusan seperti yang dikatakan Layla. Huh, ia malu.

"Kau pasti lupa. Makanya kau terlihat bingung saat pertama kali bertemu denganku kemarin," sambung Layla di sela tawanya.

Yah, sekarang Hauraa ingat. Pastas saja dulu saat ia tiba di pesantren ini, Layla menyambutnya dengan hangat. Ternyata ustadzah itu mengenal ibunya. Dan, pantas saja Layla mengatakan bahwa ia sudah lama menunggu kedatangan Hauraa. Pasti Layla sudah mengetahui akan kedangan Hauraa melalui Aisyah, ibu Hauraa.

--------

"Tumben masih di kelas?" tanya Hauraa. Ia heran saat mendapati Sella dan Aisha masih berada di dalam kelas. Biasanya, baru saja lonceng istirahat berbunyi Sella sudah kocar-kacir pergi menuju kantin. Alasannya hanya satu, tidak mau mengantri terlalu lama.

BIRU [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang