42. Dia Kembali

62 15 105
                                    

Seminggu berlalu setelah perbincangan mereka, lebih tepatnya setelah ketiga sahabat Hauraa itu mengetahui prihal perjodohannya. Itu artinya, ujian akhir semester pun telah usai. Kini, mereka hanya menunggu hasil. Ada dua perasaan yang saling bertalu-talu di lubuk hati mereka. Antara bahagia dan juga sedih.

Bahagia karena sebentar lagi mereka akan resmi lulus, bahkan tinggal menghitung hari. Itu artinya, sebentar lagi mereka akan pulang dan bertemu dengan sanak saudara yang telah mereka tinggalkan beberapa tahun ini. Yang lebih menggembirakan lagi, mereka akan segera berkumpul bersama orang tua dan sabahat-sahabat mereka. Ah, sungguh tidak sabar jika membayangkan hal itu.

Namun, rasa sedih juga tak dapat dipungkiri. Bagaimana tidak? Dengan mereka lulus, itu artinya mereka akan berpisah. Tidak dapat ditepis, rasa tak ikhlas pasti menggrogoti hati mereka. Bagaimana mereka hidup bersama dalam waktu beberapa tahun terakhir, susah senang bersama, tidur bersama, makan bersama, belajar bersama, salat bersama, semua selalu bersama. Rasa kehilangan tentu ada.

"Sehabis dari sini, kalian jangan melupakan aku, ya!" pinta Ayra. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Hei, ada apa? Kita belum perpisahan loh." Aisha menyahut sembari tersenyum. Menurutnya, terlalu cepat mengatakan kalimat itu sekarang.

"Tau ah, lebay! Pasti nanti saat perpisahan dia menangis," ejek Sella. "Kalian berdua juga," ucapnya sembari menatap Hauraa dan Aisha secara bergantian.

Hauraa tak bergeming. Netranya menatap kosong ke arah papan tulis. Nampaknya, ia tidak menyimak pembicaraan ketiga sahabatnya ini.

"Ra?" panggil Aisha pelan.

"Bukan aku!" sahut Hauraa tidak nyambung. Hal itu tentu saja membuat Ayra dan Sella ikut menatapnya. "Oh, maaf," lirih Hauraa saat tersadar dari lamunannya.

"Kamu belum menemukan jawabannya?" tanya Ayra yang mendapatkan anggukan dari Hauraa. Hal itu membuatnya menghela napas. Aisha dan Sella pun tak bersuara, kedua gadis itu lebih memilih diam.

Jika seminggu yang lalu Aisha dan Ayra memberi dukungan bahwa Hauraa harus menerima perjodohan ini, tetapi tidak dengan sekarang. Mereka ikut bimbang akan permasalahan yang sedang melanda Hauraa.

"Aku harus apa?" lirih Hauraa.

Pada posisi saat ini, kedua pilihan itu sangat memusingkan baginya. Menerima yang telah lama menetap, atau yang baru saja singgah?

"Aku tahu ini pilihan sulit. Tapi ... entah kenapa hatiku mengatakan bahwa kau harus menerima perjodohan ini." Aisha mulai mengeluarkan pendapatnya.

"Lalu, Kenny bagaimana?" celetuk Sella. Pertanyaanya itu membuatnya mendapatkan pukulan dari Aisha. Bukannya membantu mencari solusi atau membantu memecahkan kegundahan sahabatnya, ia malah semakin memperkeruh suasana. Dasar gadis payah!

"Ustaz Zain bukan orang biasa. Sholeh, tampan, mapan pula. Lihatlah! Seberapa banyak gadis yang berharap bisa menjadi pendamping beliau?" Aisha menjeda ucapnya sembari melirik Sella.

"Sedangkan kau? Kau malah mendapatkan kesempatan itu dengan sangat mudah. Ini bukan kebetulan, Hauraa. Ini takdir. Allah telah menakdirkan kau bersamanya." Aisha kembali melanjutkan ucapannya.

"Kapan ke kantinnya nih? Lapar tauk!" Lagi-lagi Sella merusak suasana.

"Bukan waktunya memikirkan isi perut, Sella! Kau tidak lihat Hauraa sedang dilanda kebingungan yang bersangatan?" Aisha menatap Sella tajam.

"Salah lagi," gumam Sella cemberut.

"Terima sajalah!" Aisha kembali bersuara mengutarakan pendapatnya. Hauraa pun menatap Aisha sendu.

BIRU [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang