21. Kesempatan

111 46 133
                                    

VOTE DULU SEBELUM MEMBACA! WKWK
--------
  

"Mau kemana?" tanya Hauraa saat sudah berada di luar kelas. Karena, sejak Kenny menariknya paksa keluar, laki-laki tersebut tak juga mengeluarkan suara.

"Mau lo apa sih?" Hauraa menyentakkan tangannya, guna melepas genggaman Kenny. Namun nihil, genggaman Kenny jauh lebih kuat tentunya.

"Gak usah bacot! Ikut aja!" Matanya menatap Hauraa datar.

"Iya, tapi kemana?"

Tanpa berniat menjawab pertanyaan Hauraa, Kenny malah melanjutkan langkahnya. Jangan lupakan tangannya yang sedari tadi menggenggam pergelangan Hauraa.

"Tadi kenapa bilang gitu di kelas?" tanya Hauraa sambil mengikuti langkah Kenny dengan terpaksa.

"Suka-suka gulah," jawabnya tanpa menoleh.

"Kan lo ud_"

"Disini rupanya." Ucapan Hauraa terpotong begitu saja saat seorang wanita berambut keriting sebahu, dengan sorot mata tajam tengah menatap nyalang mereka.

Nia pun mendekat. Hauraa meneguk salivanya dengan susah payah. Nah, kan ketemu Bu Nia lagi, batinnya.

Sedang Kenny, tak ada terlihat rasa gugup sama sekali. Seakan ia menyambut kehadiran Nia dengan senang hati. Beda halnya dengan Hauraa. Semakin Nia mendekat, semakin gugup pula ia.

"Bukannya ke ruang kepsek malah di sini, Pak Purnomo dan orang tuamu sudah menunggu kamu sejak tadi." Matanya menatap Kenny tajam. Lalu, sedetik kemudian beralih menatap Hauraa. "Ini juga, kenapa di sini? Mulai belajar ngebolos kamu?"

Hauraa yang mendapat pertanyaan seperti itupun hanya diam tertunduk. Ia tak berani untuk menjawab.

"Ibu mah, bacot." Nia yang mendengar ucapan Kenny pun membelalakan mata.

"Udah gak usah ngelotot gitu, saya tau kok mata ibu itu gede', so jan di gede'-gede'in lagi. Makin jelekkk!" Akhlakmu Ken, itu guru lo.

"KAM_"

"Udah, ngamuknya entaran aja. Udah gedek saya liat muka Ibu," sela Kenny memotong ucapan Nia. Ia tahu bahwa guru yang sudah berumur di depannya itu akan memulai aksi bacotnya.

Nia yang mendengar ucapan Kenny tersebut pun menggenggam tangannya kuat, wajahnya sudah memerah.

"Ken, yang sopan!" bisik Hauraa.

"Udah, ayok ke ruang kepsek," ajaknya menatap Nia tanpa merespon bisikan Hauraa.

   -----

"Yang tidak berkepentingan keluar!" titah Purnomo tak terbantahkan.

Mendengar printah mutlak dari kepala sekolah, Hauraa pun bangkit dari duduknya.

Namun, dengan cepat Kenny menarik pergelangan tangannya, alhasil Hauraa kembali terduduk.

"Saya di sini jika dia di sini," katanya menatap kepala sekolah yang tengah berdiri tersebut, sekilas ia melirik Hauraa yang duduk di sampingnya.

"Tidak bisa!" tolak Purnomo tegas.

"Ya udah." Kenny bangkit dari duduknya, lalu beranjak pergi.

"Kenny!" bentak Reza, papa Kenny.

"Ya sudah, kamu," ucap Purnomo menunjuk Hauraa yang sedari tadi diam. "Boleh di sini," sambungnya lagi.

Mendengar keputusan Purnomo tersebut, Kenny pun kembali duduk.

"Saya kira tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Seperti yang telah saya katakan pada Bapak tadi, anak Bapak tidak bisa ikut ujian akhir semester ini," ujar Purnomo tegas

Reza menghembuskan nafasnya, ia sudah tahu sejak awal bahwa ini akan terjadi. Apalagi yang akan terjadi pada anaknya jika tidak diskor? Ah,
sudahlah, lupakan saja. Memiliki anak titisan seperti Kenny memang membawa mala petaka baginya.

"Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi Pak? Kenny bisa tidak naik kelas jika tidak mengikuti ujian."  Hauraa yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Tidak bisa!" tegas Purnomo. "Dia sudah sangat keterlaluan," sambungnya.

"Tidakkah Bapak mau memberi peluang untuk Kenny memperbaiki semuanya?"

"Tidak ada yang perlu untuk diperbaiki. Jika memang pada dasarnya buruk, bagaimanapun akan tetap buruk." Reza menatap Purnomo sangar. Apa katanya? Pada dasarnya buruk? Oh, secara tidak langsung Purnomo telah menghina Reza.

Beda halnya dengan Reza, Kenny sama sekali tidak terusik oleh perkataan Purnomo. Ia lebih memilih memandang wajah cantik yang ada di sampingnya saat ini.

"Seorang guru harusnya memberi semangat untuk muridnya berubah lebih baik. Bukan malah memperkeruh keadaan. Jika orang buruk selalu dianggap buruk, kapan mereka akan baik?" tanya Hauraa dengan sedikit keberanian yang ia punya.

"Bagaimana mungkin Bapak bisa melihat sisi kebaikan orang tersebut, sedang di mata bapak mereka tetaplah buruk dan akan selalu buruk, tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki diri," sambungnya lagi.

"Tidak ada kesempatan bagi murid seperti dia." Purnomo menunjuk Kenny.

"Sang pencipta saja maha pemberi kesempatan bagi umatnya, kenapa Bapak yang umatnya malah tidak mau memeberi kesempatan pada sesama?"

Purnomo terdiam sejenak, menatap Nia yang sedari tadi duduk di sampingnya. Sedang Nia hanya diam membalas tatap Purnomo.

"Lalu, apa maumu?" tanya Purnomo akhirnya.

"Beri kesempatan untuk Kenny memperbaiki semuanya Pak," pinta Hauraa

"Saya tidak yakin!" sahutnya cepat. "Bagaimana jika dia membuat ulah lagi? Siapa yang akan bertanggung jawab?" sambungnya.

Mengingat bagaimana aksi Kenny kala marah membuat Purnomo was-was, ia tak mau mendapat sasaran wali murid korban Kenny lagi.

Tidak ada yang bergeming. Semua diam. Reza selaku orang tua Kenny juga diam. Ah sudahlah, ia sudah sangat muak terhadap anaknya tersebut.

"Ayo siapa?" tuntut Purnomo. "Kau mau bertanggung jawab, hah?" tanya Purnomo pada Hauraa.

"Iya," jawabnya tanpa memandang Purnomo.

Seketika Purnomo tertawa. "HAHA."

"Jangan bercanda dalam hal ini Hauraa!" Wajahnya terlihat lebih serius. "Kamu tau akibat dari keputusanmu ini, ha?" tanyanya tajam. "Nilaimu bisa saja saya turunkan jika dia membuat ulah lagi," sambung Purnomo.

"Saya siap Pak," jawabnya yakin.

Reza yang sedari tadi memandang Hauraa pun menajamkan pandangannya, tatapan yang tak dapat diartikan. Kenny? Ah, dia juga tak habis pikir, kenapa Hauraa sebegitu gigihnya mempertahankan dia untuk tetap bisa mengikuti ujian besok. Sedang dia sendiri saja masa bodo.

"Saya tidak bisa," ucap Purnomo. Hauraa adalah murid teladan seantero Mekar Jaya. Bagaimana mungkin ia bisa merelakan nilai anak didiknya itu turun hanya demi mmeempertahankan murid seperti Kenny?

"Sa-"

"Terkecuali ada yang berani bertanggung jawab juga selain kamu, semisal Bu Nia?" sambung Purnomo seraya menatap Nia.

"Saya tidak bisa Pak," jawab Nia cepat. Tentu Nia akan menolak mentah-mentah. Siapa yang bersedia coba? Menerima kesanggupan tersebut sama saja mencari masalah.

"Saya bersedia," sahut seorang wanita yang baru saja menyembul dari balik pintu.

Seketika semua yang berada di ruangan tersebut mengalihkan pandangannya pada sumber suara.

  -------

Hmmm, sampai sini dulu ya 😅

Makasih buat yang udah nyempetin waktunya buat baca BIRU.
Yayaa sayang kalian 😘😘😘

Jangan lupa vommentnya ya😊

Oya, ajak juga temen-temen kamu mampir ya, wkwk

Baybay 👋

See you😘

15

BIRU [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang