***
Isma.
Mas Radit kembali berulah. Dia datang dan mengatakan aku harus berpisah dengan Mas Raihan karena kecacatan suami siriku itu.
Aku mulai tidak suka dengan sikapnya yang suka merendahkan orang lain, apalagi sampai mengungkit kekurangan mereka.
Dulu saat bersama, aku tidak merasakan sikapnya yang demikian, hanya saja setelah berpisah, aku baru tahu sifat itu ada dalam dirinya.
Mungkin kelakuannya kali ini karena merasa takut Mas Raihan tidak bisa menjagaku sebaik-baiknya orang normal. Salahnya sendiri yang membiarkan kesalahpahaman diantara kami menjadi boomerang yang mengharuskan kami berpisah. Walau aku juga andil dalam perpisahan ini, tetapi kembali kesifat alamiah wanita, yang berbunyi, kaum hawa selalu benar. Mana mau aku disalahkan?
"Kenapa? Melamun lagi?" Tanpa sadar Mas Raihan sudah berdiri di sampingku.
Aku berdiri. "Mas lama di sana?"
"Hanya dua hari pulang-pergi. Mana tega Mas meninggalkan kamu sendirian di rumah?"
Aku hanya mengulas senyum sekilas.
"Hati-hati di rumah. Jangan terlalu banyak melamun. Setelah acaranya selesai, Mas langsung pulang." Aku mengangguk pelan.
"Mas berangkat ya!" katanya sambil mengelus puncak kepalaku pelan.
Aku agak berjengit kaku. Sentuhan pertamanya setelah kami menikah.
"Assalamualaikum!" katanya sambil menuju pintu depan.
"Mas?" Aku mengangsurkan salim yang di balas tatapan kagetnya, tetapi hanya sebentar setelahnya dia tersenyum dan mengulurkan tangan yang langsung kujabat.
"Waalaikumsalam."
Sejenak dia berbalik dan melambai sebelum masuk ke dalam kendaraan travel yang akan membawanya ke Wonosobo, tempat Ibu Ida-Ibunya Mas Raihan berasal.
Aku kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tengah kembali menekuri acara televisi yang sedang menyiarkan gosip selebriti.
Anganku kembali menerawang pada kejadian kemarin saat Mas Radit datang. Akhirnya dia menyerah dengan keadaan Mas Raihan, tetapi dia memaksaku menerima uang nafkah dan rumah yang menjadi harga kekonyolan kami dulu.
Terpaksa, aku iakan. Mungkin akan berguna untuk masa depan anak kami kelak, sedangkan aku tidak mungkin menerimanya karena kini Mas Raihan sudah menanggungku sepenuhnya, kami suami istri walau belum seutuhnya.
***
Aku kembali mendesis. Rasa kencang dan mulas kembali melanda.
Aku sudah sering mengalaminya. Kata bidan yang kukunjungi itu adalah kontraksi palsu menjelang persalinan. Cara untuk membuatnya nyaman hanya dengan mengusap perut yang kencang sehingga kembali normal. Hpl-ku masih dua mingguan lagi jadi tidak mungkin aku melahirkan malam ini.
Hingga tengah malam, rasa mulas dan perut kencang kian menjadi, bahkan kini intensitasnya menjadi sering. Aku gusar, bagaimana ini, kalau aku hendak melahirkan sedangkan kini aku sendirian?
Rasa sakit itu kian terasa menajam. Aku tidak kuat, membuat jemari ini dengan refleks mendial nomor Mas Radit.
Panggilan pertamaku, dia abaikan. Merasa kesal dan mulas yang berbarengan melanda, kembali kudial nomornya.
Tersambung dan di terima walau di sertai makian.
"Sudah malam woy, besok pagi 'kan bi ...."
"Mas ... sa-sakit ... To ...," ucapku sudah cepat karena dia langsung saja mematikan sambungan panggilan.
Huft! Aku harus minta tolong kepada siapa? Rumah Mas Raihan agak jauh dari tetangga, terletak menghadap sawah yang justru bersebelahan dengan pemakaman desa.
![](https://img.wattpad.com/cover/238759791-288-k294613.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
RomanceNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...