🍂🍂🍂
Pagi harinya Dito benar-benar membawa Isma bekerja di Jogjakarta. Mereka berangkat hari minggu untuk melihat rumah kontrakan juga menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Ternyata tempatnya tidak terlalu buruk dirasa Isma, walaupun udaranya tidak jauh beda dengan di Salatiga. Agak panas bila siang hari, tetapi bagi Isma tidak masalah.
Isma pernah mengalami yang lebih extreme dari sekedar cuaca yang panas. Dia pernah keluar masuk hutan untuk menyadap getah pada saat harusnya mata masih terlelap. Pernah juga menyebrangi rawa-rawa dengan membawa getah untuk di bawa pulang, itu sangat berat. Jangan lupakan bau getah yang cukup menyengat.
Bagi Isma kehidupannya di Jawa terasa lebih nyaman bila di bandingkan saat di Sumatra.
Setiap hari kerja, Dito selalu membawa Isma. Dia tidak mau istrinya merasa bosan tinggal di rumah kontrakan sendirian. Selain di kantor, Dito juga kadang harus memantau keadaan lapangan. Maklum, usaha yang di rintisnya belum punya nama besar jadi dia dan rekanan bisnis harus lebih giat melobi perusahaan yang ingin mendirikan bangunan atau perorangan yang ingin membutuhkan jasa mereka.
Kadang terbersit rasa iba melihat Isma harus duduk berjam-jam di warung kecil yang berdiri dadakan setelah proyek di mulai, namun Isma mengaku bahwa dia baik-baik saja membuat Dito yakin, istrinya adalah pasangan tepat untuk diajak melalui suka duka kehidupan.
"Mau ikut enggak?" tanya Dito yang pagi menjelang siang hari ini harus menemui seorang klien di dalam sebuah gedung yang belum selesai di bangun. Gedung itu di rancang oleh Dito sehingga dia bertanggung jawab penuh agar pembangunannya sesuai harapan si pengguna jasa perusahaannya.
"Lama tidak?" Dito menggeleng. "Aku tunggu di sini saja, ya! Tuh, ada yang jualan angkringan aku tunggu di situ saja, ya!" Isma menunjuk salah satu warung dengan terpal biru sebagai peneduh.
"Iya. Tunggu di sana, jangan ke mana-mana!" Isma mengangguk patuh.
Hampir dua jam berlalu, Dito baru selesai berbincang dengan klien-nya sedangkan Isma masih terlibat obrolan dengan penjual angkringan yang ternyata seorang ibu yang masih memiliki balita berusia satu tahunan.
"Pulang, yuk!" ajak Dito kepada Isma.
"Sudah selesai, Mas?" tanya Isma yang duduk di amben (dipan) sederhana di dalam warung dan masih bermain dengan balita berjenis kelamin perempuan anak penjaga warung angkringan itu.
"Sudah."
"Ih, lucunya."Isma menoel pipi gembul balita itu sebelum bangkit dari tempatnya duduk.
"Sudah pingin ya, Mbak?" tanya Si Mbak penjaga warung melihat Isma seakan terpesona dengan anaknya.
"Heem," jawab Isma sambil mengangguk sedangkan Dito hanya mampu tersenyum dengan keluwesan Isma yang mau bergaul dengan siapapun.
"Semoga lekas di kasih rejeki nggeh, Mbak," kata Si Mbak lagi.
"Amin," sahut Dito dan Isma hampir berbarengan.
"Kami permisi ya, Mbak!" kata Dito.
"Monggo, silakan, Mas, Mbak. Kalau ke sini lagi jangan lupa mampir."
"Pasti," jawab Isma sambil kembali menoel pipi balita yang menggemaskan itu.
"Assalamualaikum," salam Isma.
"Waalaikumsalam," jawab si penjual angkringan.
"yuk!" ajak Dito sambil menggamit pinggang istrinya, posesif dan mengajaknya ke tempat mobil terparkir.
"Mampir jum'atan sebentar ya!" Isma hanya mengangguk.
"Kita bawa boleh kali ya, Mas?"
"Siapa?" tanya Dito.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
RomanceNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...