15. Sakit hati.

1.4K 97 44
                                    

🌸🌸🌸

Segala tindakan pasti akan mendapatkan balasan. Resiko itu bisa baik atau malah sangat buruk. Ilmu tabur-tuai seyogyanya dapat menjadi tolak ukur kita saat ingin melakukan satu perbuatan. Baik-buruknya hasil tercermin dari apa yang kita tanam.

Begitupun yang dipanen seorang Radito Purnama sekarang. Balas dendam yang diagungkannya justru menjerumuskannya dalam kesakitan dan sesal. Bukan kepuasan yang selalu ia angankan, tapi kesakitan baru menjadi tambahan hadiah dalam penyesalannya.

Tidak ingin hanya merenungi, ada banyak hal yang harus dia kejar saat ini. Maaf ibunya dan juga Isma menjadi prioritas. Dito berdiri dan meninggalkan kafe dalam keadaan yang amburadul, bahkan beberapa tatapan sinis seperti mencaci dia dapatkan dari pengunjung kafe.

Tidak ada yang harus di sesali. Dito siap melangkah maju apapun yang akan ia dapatkan nanti. Entah perpisahan atau kekasihnya masih mau bertahan, Dito sudah menyiapkan hati dan diri menghadapi putusan gugatan perpisahan cinta Isma. Mungkin dia akan kembali terluka, tetapi seiring berjalannya waktu rasa itu akan terendap jua.

Dia juga tidak ingin lepas tanggung jawab begitu saja. Mungkin suatu hari nanti setelah keadaan mereda, dia akan melakukan tes DNA untuk mengetahui kepastian siapa Dita sebenarnya.

Dito kembali pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian setelah insiden tamparan dan guyuran yang didapatnya di kafe. Selesai mandi dan menyalin baju, Dito mengambil dua buah koper berbeda ukuran dari atas lemari pakaiannya.

Dito mengepak beberapa setelan baju kerja miliknya yang dimasukkan ke dalam koper besar. Rencanaya, dia akan berangkat dan pulang kerja dari dan ke rumah ibunya. Selain merawat orang tua, dia juga ingin merekam kecantikan istrinya agar bisa menjadi obat rindu bila perpisahan memang harus terjadi.

Tidak lupa juga, Dito harus mengepak beberapa baju Isma. Istrinya tidak membawa baju saat kemarin mereka ke rumah Hanna.

Perlahan kaki Dito melangkah masuk ke dalam ruangan yang dulu dia desain untuk kamar anak laki-lakinya. Dominasi warna biru dan perabotan yang tidak mencolok, dia kreasikan di kamar itu.

Dia terus memindai setiap sudut ruangan. Tak banyak berubah, hanya bertambah satu buah meja rias sederhana yang hanya berisi sisir dan hand body di depan cermin.

Terusik, Dito mendekat untuk menelisik.

Tangannya mulai membuka laci demi laci di meja rias tersebut. Laci pertama, tidak ada yang istimewa atau benda berharga yang di simpan istrinya, hanya sebuah buku tabungan yang di dalamnya terdapat kartu ATM pemberian Dito awal-awal menikah.

Dito melanjutkan membuka laci selanjutnya dan hatinya merasa sakit lagi. Sebuah buku KIA saat kehamilan anak mereka yang belum mau hadir dan cincin pernikahan mereka, Isma letakkan di sana.

Dito duduk di tepian ranjang dan memindai cincin itu. Cincin yang dia beli asal-asalan karena mepet dengan tanggal pernikahan, tetapi ada yang terasa menarik dari cincin itu sekarang. Ukiran nama Ismara yang bersanding dengan nama Radito menjadi sangat menyenangkan hatinya.

Dito memasukkan cincin itu ke dalam dompet. Mungkin suatu hari nanti dia akan membuatkan tempat khusus menyimpan cincin Isma ini, pikirnya.

Dito melangkah menuju lemari pakaian. Membukanya dan hanya helaan yang mampu dia lakukan untuk melampiaskan rasa sesak.

Baju Isma bisa di hitung dengan jari, bahkan ada satu gamis yang lengannya di jahit tangan. Dito semakin merutuki kebodohannya. Dia selalu memberikan uang berlebih untuk kebutuhan belanja, tetapi tidak pernah memikirkan kebutuhan istrinya. Bukan hanya pangan dan papan, istrinya juga perlu sandang yang nyaman dikenakan.

Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang