Hari masih sangat gelap, namun kini Rendra sudah berpakaian sangat rapi. Tidak formal, hanya saja ia mengenakan pakaian yang biasa ia pakai. Celana bahan berwarna hitam, kaus putih polos, dan tentu saja jaket hitam kesukaannya. Kini kepalanya sudah tidak lagi dililit perban. Luka di kepalanya tidak begitu kelihatan karena tertutupi rambut hitamnya. Setelah melaksanakan sholat subuh, Rendra berniat untuk pergi ke rumah Pak Surya menemui si kecil Dea seperti biasanya, mengingat ini adalah hari Minggu.
Rendra berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya dengan tatapan kosong. Ia melirik kalender kecil yang terletak di atas meja belajarnya dengan wajah datar. Sebuah perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuhnya, merasuki hatinya. Ia benar-benar harus mencari kenyamanan untuk bisa melupakan hal yang selama ini menjadi virus kebencian di hatinya.
Rendra yang saat itu hendak pergi, menghentikan langkahnya ketika indera pendengarannya menangkap suara isakan dari dalam kamar Reva. Suara isak tangis dari dalam kamar sang ibu membuat Rendra segera melangkah mendekati pintu bercat putih itu. Rendra mendekatkan telinganya ke daun pintu untuk memperjelas pendengarannya.
Di dalam kamarnya, Reva masih duduk di atas sajadah dengan masih mengenakan mukena. Ia menatap bingkai foto di tangannya dengan penglihatan buram karena matanya yang berkaca-kaca.
“Pa, hari ini tepat sepuluh tahun setelah kepergian Papa. Tapi sampai sekarang Mama masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Papa.”
“Maafkan Mama, Pa. Sampai saat ini, Mama juga masih belum bisa menerima Rendra sepenuhnya. Malah semakin hari rasa benci Mama semakin besar terhadapnya.”
“Apa Papa marah sama Mama? Apa Papa kecewa sama Mama?”
Rendra tak kuasa menahan tangisnya. Ia menunduk menempelkan dahinya dan meletakan telapak tangannya di daun pintu. Air mata mulai jatuh menetes, setetes demi setetes dan semakin mengalir deras. Rendra menangis... Tanpa suara.
Hatinya kembali tercabik perih. Namun kali ini bukan karena ucapan benci yang Reva lontarkan melainkan suara isak tangis Reva yang terdengar begitu memilukan di telinganya. Ingin sekali rasanya ia menggapai wanita itu, menariknya ke dalam pelukannya guna memberikan ketenangan pada sang ibu.
Namun tidak. Bukan ide bagus jika Rendra melakukan itu. Hal itu justru akan semakin menambah rasa sakit Reva dan semakin membuat wanita itu menangis. Semenderita itukah Reva dengan kehadiran Rendra di hidupnya?
Haruskah Rendra pergi?
“Maafin Rendra, Ma,” gumam Rendra lirih.
***
Sesuai dengan rencana mereka kemarin, Nizar datang ke rumah Pak Surya di pagi hari sekali setelah sebelumnya ia menjemput Ega dan Direy. Tentu saja Iska juga.
Keempat orang itu segera menemui Bu Yanti dan Pak Surya untuk memberitahukan rencana mereka yang mendadak ini. Sedangkan Dea? Gadis kecil itu masih tertidur dengan manis di atas ranjangnya yang nyaman, berpetualang di alam mimpi.
Setelah memberitahu Pak Surya dan Bu Yanti mengenai rencana mereka, kedua orang tua itu setuju untuk ikut membantu membuat kejutan untuk Rendra. Mereka juga baru tahu hari ulang tahun Rendra, mengingat cowok itu memang tidak banyak bercerita. Lagipula untuk apa Rendra memberitahu orang lain tentang hari ulang tahunnya? Itu bukan hal penting bagi Rendra.
Mereka pun mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Nizar, Direy, Iska, pergi membeli perlengkapan untuk membuat kue dan beberapa barang untuk hiasan ulang tahun. Sementara Ega menyiapkan tempat bersama Pak Surya dan Bu Yanti.
Hanya butuh waktu kurang dari satu jam, mereka sudah mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan. Untung saja mall sudah buka sejak pukul 7 pagi.
Kini mereka sudah sibuk dengan tugas yang sudah ditentukan. Iska dan Bu Yanti sibuk membuat kue di dapur. Ega, Direy, dan Pak Surya sibuk mendekorasi halaman belakang rumah, tempat mereka akan memberi kejutan untuk Rendra. Sementara Nizar saat ini sedang berusaha menghubungi Rendra dengan ponselnya. Entah kenapa cowok itu tak kunjung mengangkat panggilan darinya. Tidak mungkin jika Rendra belum bangun padahal hari sudah agak siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOY OF WINTER [END] - REVISI
Teen FictionTAMAT - Tahap REVISI... Jadi sorry kalau masih ada beberapa typo di dalamnya 🤙🏻 BOY OF WINTER (Judul awal The Coldest Boy) Genre: slice of life, drama, persahabatan "Sendiri itu kenyamanan... Dan Hening itu kedamaian." ~ Rendra Al Bahira. *** Blur...