Sorot mata elang itu tampak menatap kosong ke arah depan. Entah apa yang tengah ada di pikiran cowok itu. Setelah kejadian yang ia lihat tadi, Rendra langsung menuju ke kelasnya, kemudian duduk di bangkunya dan melamun.
“Kalian denger, kan, apa yang dibilang sama Pak Yudi tadi?” Suara Ega, yang sedari tadi membicarakan kejadian di mana Pak Yudi memarahi bahkan sampai menampar Iska.
“Hm, padahal menurut gue Iska nggak salah,” ujar Direy berpendapat dan tentunya sependapat dengan kawannya yang lain, termasuk cowok dingin yang sedari tadi diam melamun tanpa bersuara sedikitpun.
“Yoi,” sahut Nizar setuju.
“Menurut gue Pak Yudi udah keterlaluan banget, sih, sampai nampar Iska segala, padahal cuma masalah spele,” ujar Direy yang dibalas anggukan setuju oleh kedua temannya.
“Kok gue jadi ngerasa bersalah, ya, karena tadi nggak datang buat belain Iska?” tanya Nizar yang sebenarnya ia tanyakan pada dirinya sendiri.
“Iya, gue juga nyesel,” ucap Ega yang merasakan hal yang sama.
“Tadi kenapa kita malah ngikutin si Rendra pergi, ya, bukanya nolongin Iska?” timpal Direy.
Ketiganya langsung memutar kepala menatap Rendra. Rendra yang merasakan hal itu pun menoleh ke arah sahabat-sahabatnya itu dengan wajah santainya, kemudian mengalihkan kembali pandangannya ke depan seakan tak acuh.
“Ren, kok lo tadi malah pergi, bukanya nolongin Iska?” tanya Direy kini pada Rendra.
Rendra tak menjawab, karena tak lama setelah itu, Rizal masuk ke dalam kelas kemudian duduk di bangkunya yang terletak di tengah-tengah. Rendra segera beranjak dari duduknya, kemudian menghampiri Rizal di bangkunya. Teman-temannya yang melihat itu hanya memberikan tatapan bingung pada Rendra. Mata mereka mengikuti pergerakan cowok itu pergi.
Rendra mendudukkan dirinya di bangku Rizal yang kosong karena teman sebangku Rizal tidak ada. Ia menepuk bahu Rizal, membuat cowok itu menoleh ke arahnya.
“Zal, gue butuh bantuan lo.” Rizal menatap Rendra dengan tatapan bingung. Bantuan apa yang Rendra inginkan darinya?
***
“Ren, lo yakin mau ngelakuin ini semua?” tanya Nizar ragu dengan apa yang Rendra rencanakan sebelumnya.
Setelah Rendra meminta bantuan Rizal, kini di sinilah mereka semua berada. Setelah pulang sekolah, semuanya sepakat untuk berkumpul di tempat yang sudah di tentukan. Di jalanan sepi yang terletak tak jauh dari sekolah mereka.
“Ren, apa ini gak terlalu berlebihan?” Nizar yang tadi bertanya tak mendapat jawaban, kini giliran Ega yang bersuara.
“Dia guru, Ren,” ucap Nizar lagi, mencoba membuat Rendra kembali memikirkan tindakannya.
“Gue cuma mau kasih dia peringatan. Gue gak akan sampai ngebunuh dia,” jawab Rendra santai tanpa menatap lawan bicaranya. “Di sekolah dia guru. Tapi di luar sekolah, dia bukan siapa-siapa.”
Mereka terdiam. Tak mau lagi membalas perkataan Rendra yang akan berujung debat dengan orang itu. Mereka tahu apa yang Rendra lakukan tidak akan sembarangan. Rendra pasti sudah memikirkannya matang-matang. Ia tak mungkin mengambil tindakan secara tergesa-gesa. Mereka juga berpikir, apa yang Rendra lakukan sekarang adalah benar. Ia bisa saja melawan ketika di sekolah tadi. Namun hal itu akan sia-sia, mengingat mereka hanya seorang siswa. Dan apa yang Rendra katakan tadi? Di sekolah dia guru. Tapi di luar sekolah dia bukan siapa-siapa.
“Ren, temen-temen gue udah siap,” kata Rizal melapor
“Hm. Kita tinggal tunggu dia datang,” jawab Rendra dingin. “Ingat, kita cuma kasih dia ancaman. Kita gak akan ngelukai dia sedikitpun!”
KAMU SEDANG MEMBACA
BOY OF WINTER [END] - REVISI
Fiksi RemajaTAMAT - Tahap REVISI... Jadi sorry kalau masih ada beberapa typo di dalamnya 🤙🏻 BOY OF WINTER (Judul awal The Coldest Boy) Genre: slice of life, drama, persahabatan "Sendiri itu kenyamanan... Dan Hening itu kedamaian." ~ Rendra Al Bahira. *** Blur...