The Coldest Boy 12

320 24 0
                                    

Hening malam menemani hati rapuh seorang cowok yang kini tengah melamun di balkon kamarnya, ditemani dinginnya hembusan angin sepoi-sepoi yang bertiup menerpa kulitnya. Tatapannya kosong, matanya menatap jauh menerawang ke depan dengan sesekali bayang-bayang kejadian sore tadi kembali terputar dalam ingatannya.

Tok tok tok...

Suara ketuk pintu dari luar terdengar sampai ke gendang telinga pemilik kamar, namun tak digubrisnya karena otak masih belum mau diajak bekerja sama dengan tubuh sehingga membuatnya enggan untuk beranjak. Rendra masih asik dengan pikirannya yang sebenarnya tidak seharusnya ia pikirkan. Itu semua hanya akan menambah rasa sakit di hatinya.

“Ndra...” panggil seseorang dari luar kamar terdengar pelan dan lembut, hingga suaranya hampir tak bisa didengar oleh orang yang dipanggilnya.

Tak ada sahutan dari Rendra, Bi Harum pun memutuskan untuk membuka pintu kayu bercat putih itu yang ternyata tidak dikunci. Bi Harum membuka pintu kamar Rendra perlahan, membukanya semakin lebar kemudian memasuki kamar tuan mudanya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri sejak bertahun-tahun lamanya.

Keadaan di dalam kamar begitu gelap. Hanya diterangi oleh lampu tidur yang tidak begitu terang ditambah dengan cahaya dari luar jendela.

Keadaan kamar yang terlihat begitu rapi seperti biasanya itu terasa begitu sepi. Bi Harum mengedarkan pandangannya yang kemudian mendapati pintu balkon terbuka. Segera Bi Harum melangkah menuju balkon sampai pada akhirnya, didapatinya Rendra tengah duduk melamun di sana.

“Ndra...” panggil Bi Harum lembut.

Rendra yang kini bisa mendengar suara itu dengan jelas, akhirnya tersadar dari lamunannya, kemudian menoleh ke samping kanannya dan mendapati Bi Harum berdiri di sana. Tak lama, hanya beberapa saat, setelah itu ia kembali mengalihkan pandangannya ke depan.

Bi Harum tersenyum lembut menatap mata sendu cowok itu. Wajahnya terlihat tenang seperti biasanya. Ia tidak pernah memperlihatkan kesedihannya. Ia tak pernah terlihat bersedih. Yang ia lakukan selalu saja berpura-pura tegar seakan semua baik-baik saja. Namun itu semua tak mampu membohongi perasaan wanita paruh baya yang sudah mengasuhnya sejak ia masih kecil.

“Kamu sudah makan, Nak?” Tanya Bi Harum dengan nada keibuan.

Rendra hanya menjawabnya dengan gelengan kepala pelan.

“Kamu makan, ya. Bibi udah masak ayam goreng kesukaan kamu tadi.”

“Aku gak nafsu makan, Bi.”

“Tapi Bibi belum lihat kamu makan dari pagi.”

“Tadi siang aku udah makan di luar.”

“Oh iya, kamu kan pergi ke luar pagi tadi. Gimana kencan kamu?” tanya Bi Harum dengan nada menggoda.

“Kencan apa sih, Bi?”

“Gak usah malu-malu gitu. Kamu gak mau kenalin perempuan itu sama Bibi?” tanya Bi Harum dengan nada yang sama seperti sebelumnya.

“Kalau ada, pasti aku kenalin,” jawabnya santai dan tentunya dengan wajah dinginnya.

“Ya udah, kalau gitu Bibi bawain makan ke sini, ya. Tadi kan kamu makannya siang, sekarang makan malam, beda lagi,” ujar Bi Harum penuh perhatian.

Tak ingin berdebat, Rendra pun mengangguk pelan mengiyakan tawaran ibu asuhnya itu.

“Ya udah, sebentar, ya.” Bi Harum hendak pergi, namun suara Rendra membuatnya mengurungkan niat untuk pergi.

“Bi...” panggil Rendra membuat Bi Harum kembali menghadapnya.

“Ada apa, Ndra?”

“Bisa tolong sekalian panggilin Rishan ke sini?” pinta Rendra.

BOY OF WINTER [END] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang