The Coldest Boy 8

445 31 0
                                    

Rendra berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit karena kembali dirinya merasakan pusing yang teramat sangat menyakitkan luar biasa di kepalanya. Kepalanya berdenyut seakan ingin meledak. Rendra berjalan gontai untuk menemui dokternya.

Rendra memegangi kepalanya yang terasa sangat berat. Rasanya ia ingin pingsan di tempat saat itu juga, namun tentu harus ia tahan. Rendra menghentikan langkahnya. Rasa pusing dan denyut pada kepalanya semakin membuatnya tak mampu berjalan. Hentakan kakinya yang menghantarkan sedikit getaran pada kepalanya, semakin membuat kepalanya berdenyut nyeri.

“Mas, gak apa-apa, Mas?” Seseorang menghampiri Rendra.

Rendra hanya menggelengkan kepalanya lemah menjawab pertanyaan laki-laki di dekatnya itu.

“Saya antar aja, mau?” ucap laki-laki itu menawarkan dirinya.

Tak ada pilihan, mau tidak mau Rendra menerima tawaran laki-laki itu dengan anggukan kepala pelan daripada dirinya harus pingsan saat itu juga. Laki-laki itu pun membantu Rendra menemui dokternya.

“Rendra,” ucap seorang pria yang memakai jas putih khas seorang dokter.

Dokter dengan nama Aldo yang bertuliskan di jas putihnya itu menghampiri Rendra yang tengah dipapah oleh laki-laki tak dikenal tadi.

“Abang kenal sama orang ini?” tanya laki-laki tak dikenal tadi yang sepertinya mengenal dokter bernama Aldo itu.

“Dia pasien Abang selama beberapa minggu ini,” jawab Aldo. “Kalau gitu langsung antar dia ke ruangan Abang sekarang!” ujarnya, kemudian membantu membawa Rendra ke ruangannya.

Setelah sampai di ruangan Aldo, Rendra langsung diperiksa. Tak perlu menjelaskan apa-apa karena Rendra sudah menjadi pasiennya selama beberapa minggu terakhir ini seperti yang ia katakan sebelumnya.

Rendra duduk di atas ranjang setelah ia merasa cukup membaik. Rasa sakit di kepalanya perlahan menghilang meski kepalanya masih terasa berat dan sedikit pusing.

“Kamu harus lebih hati-hati, Rendra. Sedikit benturan saja bisa berpengaruh sama otak kamu. Kamu akan merasa pusing dan sakit luar biasa di kepala kalau kamu gak bisa jaga tengkorak kamu.” Aldo mulai berbicara. Rendra hanya mendengarkannya. “Kalau ada apa-apa, kamu segera hubungi saya.” Rendra masih bergeming.

Hening sesaat. Tak ada yang bersuara. Aldo sibuk menulis sesuatu di mejanya, sementara Rendra masih di tempat yang sama.

“Yang tadi siapa?” tanya Rendra membuka suara. “Dokter kenal?”

“Tadi itu Rizal, keponakan saya,” jawab Aldo.

“Kok manggilnya abang?”

Aldo terkekeh. “Saya kan masih muda, dan saya belum menikah. Usia saya sama dia juga nggak beda jauh. Jadi lebih nyaman dipanggil abang aja. Masa saya dipanggil om. Kan gak cocok,” jelas Aldo panjang lebar.

“Kenapa belum nikah?”

“Belum ada jodohnya.”

“Udah ada, tapi belum ketemu,” ucap Rendra membenarkan.

“Itu kamu tahu. Ngomong-ngomong, Rizal bakal pindah sekolah mulai hari Senin. Kamu bakal satu sekolah sama dia,” kata Aldo. “Kamu sekolah di SMA Semesta Jaya, kan?”

BOY OF WINTER [END] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang