Welcome

7.9K 1.2K 188
                                    

"Evelin."

"IYA MAA?" sahut gue ke Mama.

Gue sedang memotong rumput-rumput di kebun rumah. Sudah lama gue enggak mengerjakan hal kayak gini semenjak mengurusi kelulusan dan kuliah kemarin.

Karena bulan ini sampai dua bulan ke depan jadwal gue kosong, jadi gue melakukan hal-hal yang dulu sering banget gue lakukan. Bareng Kak Ten juga tentunya.

"Ayah sama Mami Ten nanti jam 11 sampai di bandara," ucap Mama yang tiba-tiba sudah ada di belakang gue.

"HAH?" refleks gue.

"Berasa keong Mama, kamu HAH-in."

Kok? Mendadak banget? Kak Ten enggak bilang apa-apa loh?

"Ya, pokoknya nanti mereka kesini. Kamu cepat siap-siap. Bau tuh kamu belum mandi," setelah mengatakan itu, Mama segera kembali ke dalam.

Aduh.. Gue kenal Maminya Kak Ten tuh enggak yang kenal-kenal banget. Cuma kirim pesan doang biasanya. enggak pernah telfon. Karena mahal kan kalau telfon ke luar negeri.

Gimana ya nanti gue ngomongnya? Ayahnya Kak Ten sih lancar bahasa indonesianya. Kalau Maminya Kak Ten yang orang Thailand tulen sih.. seingat gue dulu rada patah-patah kalau ngomong pakai bahasa Indonesia.

Bentar, latihan dulu.

"Sawadikhrap.."

"Eh salah-salah. Cewek pakai kha."

"Sawadikha─ KAN BISA BAHASA INDONESIA SIH, GIMANA DEH?"

"Halo tante, nama saya Evelin.."

"LIN BEGO! ITU MAMI, UDAH TAU NAMA LO GUBLUK!"

"Gini, gini deh. Halo Mami.. saya pacarnya Ten─ YA EMANG ADUH EVELIIINNN!"

"AH ENGGAK TAU LAH liat nanti aja."

Gue dengan segera membersihkan tangan lalu mengambil ponsel gue dan mencari satu nama pada kontak gue,
Chittagong.

Demi apapun itu dia yang minta buat ganti nama kontaknya jadi kayak gitu.

"Halo?" sapa gue.

"Iya? Kenapa sayang?" jawab Kak Ten di ujung sana.

"Ayah sama Mami mau kesini?"

"Ini udah disini, nih. Di apart."

"HAH? SERIUS???"

"Hahaha, enggak.. belum. Nanti jam 11 sampai bandara."

"Kok enggak bilang sih???"

"Maunya sih surprise gitu kata Mami. Tapi kamunya udah tau berarti Mama udah kasih tau."

"Kalau Mama tadi enggak bilang, terus aku enggak tau dan habis itu kalian kesini dan aku-nya belum mandi kan enggak lucu!"

"Kamu enggak mandi juga tetep cantik kok, wangi. Apalagi kalau bangun tidur, you look very hot."

"Halah bajul."

Kak Ten malah tertawa di ujung sana.

Tiin! Tiin!

Gue menengok ke arah pagar rumah. LAH ITU MOBILNYA KAK TEN?!

"Sayang.. bukain pagernya. Ini ada Ayah sama Mami juga," kata Kak Ten di telepon.

TEN ANJEEEENG! GUE BELUM MANDI SIALAN!

Enggak peduli sama urusan pagar rumah, gue buru-buru masuk ke dalam rumah terus naik ke kamar buat mandi.

BUKA AJA SENDIRI, TEROBOS AJA SEKALIAN PAGERNYA PAKAI MOBIL LO!











🌻











"Mamiiiiiiiii," seakan lupa dengan kebingungan gue tadi sebelum mereka datang, tanpa di duga ternyata respon gue berbanding jauh. Begitu gue selesai mandi dan turun ke ruang tamu, gue langsung berhambur ke pelukan Mami.

Selama ini kita cuma saling kirim pesan aja, Mami seru orangnya. Dan ketika gue ketemu langsung, rasanya udah kayak yang akrab banget.

Dan Mami membalas pelukan gue dengan sama eratnya. Mami ini mukanya awet muda deh, masih sama kayak dulu pertama kali ketemu waktu nyerahin Kak Ten ke Mama sama Papa.

"Mami doang yang dipeluk, aku enggak."

Gue dan Mami refleks menoleh ke sumber suara, siapa lagi yang cemburuan kayak gitu kalau bukan Chittapon? Ini Mami nya sendiri aja dicemburui. Gue membalas ucapan Kak Ten dengan mencibirnya.

Papa dan Ayah Kak Ten lagi ngobrol berdua di sofa seberang. Mama baru datang dengan membawa minuman buat mereka.

"Kayak tamu aja sih Ma," kata Kak Ten.

"Protes mulu. Enggak usah minum kalau enggak mau," balas gue ke Kak Ten.

Ujung-ujungnya adu mulut lagi kita cuma karena hal sepele, masalah Mama menyiapkan minuman. Enggak beneran berantem, tapi tau sendiri kan gimana gue sama Kak Ten?

"Ini kalian tuh pacaran ini kayak gini nih modelnya?" tanya Mami.

Mama malah ngomporin Mami dengan bilang kalau kerjaan kita tiap hari memang ribut mulu.

"Gitu mau nikah kalian," balas Mami.

"Ihhhh Mamiiiii," rengek Kak Ten.

"Tapi Ten udah enggak manja lagi sama suka ngadu kayak dulu tuh," sahut Mama.

Kak Ten tersenyum lembar. Di jidatnya seakan-akan tertulis 'Iyalah, kan mau nikah.'

"Hilih!"

Perdebatan kita berakhir karena interupsi dari Ayah Kak Ten. "Kalian bisa nikah sekitar dua sampai empat tahun lagi setelah lulus. Sekarang kita bicarakan tentang pertunangan kalian, katanya Ten udah melamar Evelin ya?"

"Pakai cincin donat kata Evelin," lanjut Ayah.

Kak Ten mengangguk, begitu juga dengan gue. Cincin donat, haha.

Ayahnya Kak Ten ini orangnya tegas dan to the point. Beda sama Papa yang lebih ke humoris meskipun tetap tenang pembawaannya. Seperti sekarang ini.

"Kasihan tuh si Ten, udah enggak kuat pengen cepat ngerasain kawin,"goda Papa.

Kak Ten yang terbawa arus humor Papa, menanggapi ucapan Papa dengan entengnya. "Hahaha, enggak apa-apa Pa. Udah ngerasain kok, enggak bakal kaget nanti."

Semua pasang mata langsung tertuju ke Kak Ten. Menatap Kak Ten dengan pikiran yang ada di kepala mereka masing-masing. Gue bisa melihat Kak Ten mengerutkan dahinya sebelum sadar dengan apa yang diucapkannya barusan.

Fix!

Gue rasa kayaknya IQ gue lebih tinggi daripada Kak Ten deh.


Brother Or Boyfriend ✓ | Ten [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang