Best Boyfriend

8K 1.2K 148
                                    

"Besok-besok kalau jemput aku langsung di depan kelas aja sekalian. Enggak usah nungguin di parkiran," ucap gue setelah menutup pintu mobil.

Kak Ten sudah selesai ospek duluan, jadi dia langsung jemput gue di kampus. Selama ini dia enggak pernah tuh yang namanya keluar dari mobil buat nungguin gue. Dari dulu selalu di dalam mobil kalau lagi nungguin gue dimana aja.

Tapi tadi dia malah keluar terus nyandarin badannya ke mobil. Mana pakai celana selutut sama kaos pantai lagi. Sempet-sempetnya dia ganti baju buat tebar pesona di kampus gue?

"Aku tau anak kampus aku banyak yang cantik cewek-ceweknya. Kalau emang mau kenalan, silahkan."

"Di kelas aku ceweknya juga cantik-cantik, baik juga. Kelihatan lebih romantis kalau sama cowok dibanding aku."

"Aku emang enggak bisa apa-apa. Udah nilai pas-pas an, enggak bisa masuk Universitas Negeri, enggak romantis, ngeselin, enggak jel─"

"Heh heh heh heh, kamu kenapa jadi gini sih? Siapa yang ngajarin?" potong Kak Ten.

Kak Ten terlihat memberi isyarat kepada tukang parkir yang sudah siap untuk mengarahkan mobilnya itu.

"Nanti dulu Pak!" teriaknya lalu menutup kaca mobil.

Lalu setelah itu Kak Ten diam tanpa suara sambil menatap gue. Sedangkan gue hanya bisa memalingkan wajah tanpa melanjutkan kalimat-kalimat yang terlintas di kepala gue.

"Enggak dilanjut?" tanya Kak Ten.

"Tuh kan nanya gitu, marah kan?"

"Loh, kamu ini kenapa?" Kak Ten panik karena gue yang tiba-tiba mengeluarkan air mata, nangis.

Gue menepis tangan Kak Ten ketika dia hendak mengusap wajah gue, tapi setelah itu gue malah teriak minta peluk.

Ini kalau yang diluar mobil denger, dikiranya gue diapa-apain kali ya?

"Mau peluk mau tidurrr," rengek gue.

Tangan Kak Ten bergerak mengelus-elus punggung gue dengan lembut. Gue mencegah dia ketika Kak Ten hendak melepaskan rangkulannya.

Tangisan gue semakin pecah karena Kak Ten benar-benar melepaskan pelukannya. Gue menendang-nendang kaki gue seperti anak kecil.

"Lin?" panggil Kak Ten.

"Enggak usah manggil-manggil. Kak Ten enggak sayang aku," jawab gue acuh.

"Tanggal berapa sekarang?" tanyanya.

Gue bersedekap dengan arah pandang menghadap ke kaca mobil, "Enggak tau."

Kak Ten menghela nafas lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Setelah itu tangannya beralih mengacak kecil rambut gue, "Kamu mau dapet. Sekarang udah tanggalnya."

Kok malah dia yang inget? Kok malah dia yang hafal? Gue aja enggak pernah ngitung hari-hari gue lagi dapet, mau itu telat berapa hari atau lebih berapa hari.

"Emang aku itu bodoh. Enggak cocok aku kuliah, buang-buang duit aja. HUAAAAA PENGEN MIE AYAM," tangis gue.

Kak Ten melepas seatbelt-nya kembali lalu meraih tubuh gue untuk dipeluk. Sesekali dia mengecup puncak kepala gue sambil menenangkan gue dengan mood gue yang pengen banget nangis ini.

"Hhhhh.. Aku kangen tapi enggak tau kangen siapa.." isak gue.

"Heh? Kangen siapa kamu???"

"ENGGAK TAU!" teriak gue.

Enggak denger kuping lo tadi gue bilang enggak tau kangen sama siapa, hah?

"Kamu mau apa? Ayo aku anter. Enggak mau disini terus kan? Kita udah berapa lama di dalam mobil, enggak jalan-jalan loh ini daritadi?" elus Kak Ten pada punggung gue.

"Ice cream mau?" tawarnya.

Gue menggeleng, "Mau nikah."

"Hahaha, sabar Lin.."

"Mau lihat sama peluk panda di Tiongkok.." rengek gue.

"Mau naik gajah di Thailand.."

"Iya nanti kalau udah jadi istri Ten ya sayang," jawab Kak Ten.

"Naik Ten aja, bisa tiap hari kok," lanjutnya.

Dasar lelaki!

Karena penasaran, satu tangan gue beralih ke perut Kak Ten. Mengecek sesuatu disana tanpa melepaskan pelukan gue ke dia. "Ini ada 4 kotak apa 6 kotak?"

"Ada 8 tau, nih pegang."

Kurang keras berarti latihannya. Kalau 4 kan fourpack, 6 tuh sixpack, 8 eightpack. Karena ini Kak Ten, harusnya 10 tuh, tenpack. Hehe.

Gue mendadak sedih mengingat perut gue yang gelambir gini. Olahraga perut mulu tapi enggak membentuk ABS sama sekali.

Tapi enggak apa-apa, kata Kak Ten perut gue lucu kok. Chubby tummy, hehe.

"Gimana tadi ospeknya?" tanya Kak Ten tiba-tiba.

"Biasa aja," jawab gue.

"Tadi ketemu Johnny?" tanyanya lagi.

"Hah? Enggak lah. Beda jurusan kita. Johnny anak IT."

"Oh iya sih tadi ketemu pas lagi sama Lisa," ingat gue pada gue.

Kak Ten mengangguk paham. Kalau kalian tanya dia masih meluk gue apa enggak, jawabannya iya. Dia masih meluk gue.

Eh, maksudnya gue yang meluk. Masih enggak rela melepaskan Kak Ten daritadi. Karena Evelin sedang membutuhkan belaian seorang Chittagong hari ini.

"Masa ya, waktu hari pertama ospek kan aku ketemu tuh sama Johnny. Papasan pas mau ke kantin, ya udah deh sekalian bareng. Karena aku belum nemu temen ngobrol juga kan. Aku tanya tuh kenapa dia masuk jurusan IT. Dia bilang mau jadi hacker katanya," cerita gue.

"Sakit mental si Johnny.."

Suasana kampus sudah lumayan sepi. Karena mobil-mobil juga banyak yang sudah pergi dari parkiran. Gue menyadari hal itu, dan ternyata sekarang juga sudah sore.

Pelukan doang sejam.

"Ayo pulang, mampir dulu ke mall. Mau beli tint," ajak gue.

Gue segera memasang seatbelt. Sudah siap dengan senyuman yang mengembang di pipi. Tapi sedikit susah karena mata gue lumayan bengkak yang membuat senyum gue sedikit terpaksa.

"Coba lihat," Kak Ten menarik dagu gue.

Mengamati bibir gue dengan tint yang sudah memudar. Hari ini gue hampir selalu membasahi bibir dengan lidah karena memang cuacanya sedang terik, membuat tint di bibir gue sedikit tersisa.

Kak Ten mencium jari tangannya lalu menempelkannya pada bibir gue.

"Ada yang kurang daritadi."

Gila. Gitu doang aja dia sudah berhasil bikin jantung, hati, dan seluruh organ tubuh gue ambrol rasanya.




Brother Or Boyfriend ✓ | Ten [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang