Aga menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Dia baru saja membeli rumah sekitar seminggu yang lalu. Rumah nya tak begitu besar tapi cukup nyaman bagi Aga.
Pikiran Aga kini menuju ke Ian yang lebih memilih teman kuliahnya dibanding teman masa kecilnya. Teman yang dulu selalu melindunginya. Memberikan apa yang dia mau. Sampai Aga hampir memberikan seluruh hidupnya agar persahabatan mereka tetap utuh. Tapi, Ian kini berusaha meruntuhkan benteng pertemanan mereka itu. Ian kini ingin mengahkhiri status mereka. Mungkin, Ian ingin mereka menjadi orang yang kenal di dunia kerja saja, tak lebih.
Tak bisa dibohongi, Aga merasa cemburu ada yang perhatian ke Aga lebih dari rasa perhatiannya. Dia mau, hanya dia yang boleh memberikan perhatian lebih ke pria itu. Kalau masalah perasaan, Aga adalah orang yang sangat posesif. Seperti saat dia pacaran dengan Ara dulu. Dia tak mau ada pria lain yang boleh mendekatn ke gadis itu.
Aga mengambil ponselnya. Dia melihat lockscreen nya menampilkan dua anak kecil yang tersenyum bahagia. Foto itu masih Ian simpan di album foto yang sempat ia bawa ke London waktu itu. Di sana, senyum Ian sangat indah. Setiap kali Aga ada masalah, dia akan melihat lockscreen itu. Ia tak pernah menggantinya sejak masih kuliah di London. Ara pernah melihatnya dan ingin mengubahnya. Saat tau Ara mengubahnya, Aga marah besar.
Saat Ini Aga mulai bingung mengapa dia sangat menyayangi sahabatnya itu. Dia bahkan tak ingin kehilangan pria manja yang satu itu. Di matanya Ian adalah pria manja dan nyusahin. Sementara di mata orang lain, Ian adalah pria yang cuek dan dingin. Walau begitu, Aga tak pernah merasa aneh dengan sifat Ian yang seperti memiliki dua kepribadian.
Ponsel berdering. Aga langsung terbangun saat melihat orang yang menelponnya. Dia masih kesal melihat kedekatan Ian dengan temannya. Tapi, mau bagaimana pun, Aga tak bisa mengabaikan pria itu.
"Kenapa?" tanya Aga saat mengangkat panggilan itu.
"Mo-mobilku... Mobilku mogok" jawab Ian sedikit ragu.
"Di mana?" Aga berdiri dan mengambil kunci mobilnya saat Ian memberikan lokasi. "Tunggu, jangan kemana-mana."
Ian hanya berdehem.
Aga bergegas langsung keluar dari rumah dan menuju ke jalan yang diberitahu Ian. Di sana sedikit gelap. Ian bisa saja terluka. Aga lupa, kalau Ian bisa bela diri. Tapi, seperti yang dikatakan tadi, di mata Aga, Ian tetaplah pria manja yang nyusahin. Buktinya, sekarang. Kerjanya hanya nyusahin Aga saja.
Tak lama, Aga sampai di lokasi. Ia melihat Ian duduk di trotoar dengan mobil yang kap depannya sudah terbuka.
"Udah bisa?" Tanya aga yang dijawab dengan gelengan Ian.
"Aku udah cek businya, masih bagus, akinya juga sama, aku bingung apa yang rusak," Ian bangkit dan melihat bagian mesin mobilnya.
"Coba nyalain," suruh Aga. Ian langsung masuk ke dalam mobil. Ia langsung menyalakan mobilnya. Tapi tetap saja tidak bisa.
Ian keluar dengan ragu-ragu. Dia baru sadar sesuatu setelah baru melihatnya. Matanya menatap Aga yang masih mencari kesalahan di mobil sahabatnya itu. Tak sangaja tatapan mereka saling beradu.
"Kenapa?" tanya Aga.
"Bukan mesinnya," jawab Ian. Dia tersenyum. "Ternyata bensinnya, aku lupa ngisi."
Mendengar jawaban itu. Aga langsung menghela napas. Lihatkan, Ian tetap pria yang nyusahin. Dia dengan sabar menutup kap mobil Ian dan menatap pria itu.
"Ya udah, naik ke mobilku, udah malam, pom bensin udah tutup, ngisinya besok aja."
"Trus, mobilku gimana? ditinggal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ian & Aga [end]
Teen FictionTentang sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Juga tentang kerinduan yang tak kunjung tersampaikan. Copyright © 2020