Ian memotong buah apel yang sempat Aga belikan untuk bi Inem. Ian sedikit tenang melihat senyuman bi Inem yang kembali lagi.
"Bi Inem mau pulang aja, bosen di sini," ucap bi Inem.
"Gak boleh! apa kata dokter? bi Inem belum boleh pulang! Lagian kan, enak di sini, bi Inem bisa nyantai tanpa bersihin rumah terus kan?" Ian menyuapkan satu potongan apel ke mulut bi Inem.
"Yanto mana?" tanya bi Inem.
"Dia ke rumah, mau ganti baju sekalian mandi, Ian yang suruh, dari kemaren belum mandi dia tuh!"
Bi Inem tertawa. Melihat kedekatan Ian dan Yanto sangat membuat hatinya senang. Meskipun Yanto tidak bisa lulus SD, setidaknya, masih ada Ian yang terus membantu Yanto sampai saat ini.
"Andai kamu anak bibi, pasti bibi seneng banget."
Ian menghela napas. Dia meletakkan pisaunya di atas piring. Matanya menatap bi Inem. "Kan udah jadi anak bibi, ingat pesan mama? kalau mama gak ada, siapa yang harus jaga Ian?"
Bi Inem tak menjawab. Dia hanya tersenyum melihat Ian. Seandainya dia punya anak seperti Ian, mungkin dia semakin bahagia. Punya Yanto dan Ian yang sama-sama pekerja keras.
"Tenang aja, besok kalian gak bakal capek lagi kok ngusurin bibi," ucap bi Inem dengan lembut. Dia mengusap lembut pipi Ian.
"Siapa bilang kami capek? gak ada yang capek," jawab Ian.
Tak lama kemudian, muncul Yanto yang langsung menyapa bi Inem dan Ian di sana. Ia langsung menuju bi Inem dan memeluk ibunya itu.
"Gimana? udah baikan?" tanya Yanto.
"Udah, besok udah bisa pulang," jawab bi Inem.
Ian kembali menyupkan potongan apel ke mulut bi Inem. Ia seperti benar-benar punya dua anak.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ian tertidur di sisi ranjang sambil menggenggam tangan bi Inem. Di sisi ranjang yang lain ada Yanto yang juga tertidur. Suasana sangat sunyi.
Tiba-tiba, Ian terbangun. Ia merasa seperti ada yang aneh. Tangan yang ia genggam terasa sangat dingin. Bahkan dinginnya sangat berbeda. Seketika, Ian langsung melihat wajah bi Inem yang terlihat pucat.
"Bi," panggil Ian. Yanto yang mendengar suara Ian langsung terbangun dan melihat keadaan ibunya itu.
"Bi, Bi Inem," panggil Ian lagi dengan suara yang mulai bergetar. "Bi Inem denger Ian gak bi?" Ian tetap berusaha sambil mengusap lembut tangan dingin bi Inem.
"Bu, ibu," sahut Yanto yang langsung mengusap wajah bi Inem. "Bu!" panggilnya lagi dengan tangisan yang tak bisa ia tahan.
"BU! BANGUN, INI YANTO!! IBUU!!! IBUUUU!!" Yanto yang dengan emosional menggoyang-goyang tubuh bi Inem. Sayangnya, bi Inem sama sekali tak merespon.
"Bi, jangan tinggalin Ian bi," Ian tak bisa lagi menahan tangisnya. Sementara Yanto, ia langsung berlari keluar kamar.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Suasana rumah sakit sudah sangat sunyi. Tapi Yanto tetap berlari dan mencari salah satu suster yang masih terjaga.
"Suster, ibu saya suster," ucap Yanto saat bertemu dengan salah satu perawat.
Suster tersebut langsung berlari menuju ruangan bi Inem. Suster itu adalah suster yang merawat bi Inem selama seminggu. Wajahnya terlihat terkejut. Bahkan tadi siang, bi Inem masih tersenyum saat ia memeriksa keadaannya.
Sampai di kamar bi Inem, suster itu langsung melihat keadaan bi Inem. Ia melihat monitor pasien dan melihat gelombang detak jantung bi Inem yang lurus. Suster langsung keluar dan memanggil dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ian & Aga [end]
Teen FictionTentang sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Juga tentang kerinduan yang tak kunjung tersampaikan. Copyright © 2020